11 Menit Jelang Tengah Malam

ADA kolega yang bertanya, mengapa saya membela Dr.Rizky Adriansyah, M.Ked (Ped), Sp.A. subspesialis Kardio?

Saya bisa kasi anda jawaban 1 menit, plus bonus 10 menit menikmati “gizi” narasinya.

Saya hendak membela supreme right: hak hidup anak. Dr.Ryzki itu mendokterkan “jantung” kehidupan anak Indonesia.

Ya.., bukan cuma simpati karena diberhentikan dari RS Adam Malik, satu rumah sakit pendidikan di Medan. Bukan RS USU. RS vertikal itu binaan-bawahan sang Menteri Kesehatan. Sampai disini pembaca bisa pahamkan?

Banyak analisa yang simpati kepada Dr Ryzki Adriansyah yang diberhentikan. Yang mendadak sontak, dan tanpa dasar dari Medan, konon kausal prima-nya karena kuasa Jakarta. Diremote dari Kuningan. Entah apa kali rupanya salah Dr. Ryzki, Tuan Fulan?

Jangan apa kali. Awas tebalek kut. Nanti apa kali pulak.

Sebab itu, bagi amba ikhwal Dr.Rizky bukan soal zig zag hukum tak biasa. Awak soor membela karena dia tak takut “petir” diberhentikan Jakarta via Medan, malah Dr.Ryzki –yang mengampu ilmu spesialis jantung anak (non bedah) nasional sebagai Ketua UKK Jantung Anak IDAI pusat– dikucuri “hujan” simpati. Itulah cara Ilahi Rabbi menaikkan anugerah-tuah pada sosok dokter yang tulus berbakti.

Walau amba acap bela dokter dan organisasi profesi IDI, namun dengan sosok Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Sumatera Utara ini, saya berarsiran cukup beragam: diantaranya sesama Alumni USU, kader-cum-Alumni HMI a.k.a KAHMI, sesama anak Medan; yang karenanya kami lebih ajeg dan makjleb tatkala diformalkan sebagai kuasa hukum dokter spesialis anak dan sub spesialis jantung anak itu. Sub spesialisasi yang jumlahnya masih amat sedikit, bahkan langka menghadapi kasus pasien jantung anak.

Penting dicatat, Dr. Ryzki pionering di RS Adam Malik yang bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran (FK) USU dalan pendidikan profesi dokter spesialis dokter anak. Dr.Ryzki dosen yang berbakti mencetak Sp.A., bahkan subspesialis Anak Kardio: jantung anak!

Saya mengamati dan gali informasi dr.Ryzki. Selain teguh prinsip, berjaringan luas, dokter subsider aktifis ini punya vibes ketokohan yang besar.

Usah heran ternyata dalam karier kedokterannya Dr. Rizky Adriansyah, Sp.A subsp Kardio, sejak 2012 ini sudah lama menyala: berprestasi kemilau dalam jamak layanan kedokteran anak.

Mejelis pembaca, berikut sebagian jejak bakti Dr.Ryzki.

Medio tahun 2015, awal kiprah RS Adam Malik melakukan tindakan intervensi jantung non-bedah penutupan Ventricular Septal Defect (VSD).

Sebelumnya, harus tindakan bedah. Tidak sedikit kasus seperti itu kudu dirujuk ke Jakarta.

Efeknya, tindakan intervensi jantung non-bedah pada anak terus berkembang di RS Adam Malik. Kini, tak perlu dirujuk ke Jakarta.

“Saya mendorong penanganan anak dengan kelainan bawaan lainnya dapat ditangani,” tuturnya. Tak perlu juga menghadirkan dokter asing!

Dia sekretaris tim kembar siam sejak tahun 2016. Tim itu juga berhasil memisahkan kembar siam Sahira dan Fahira, walau dengan faktor resiko tinggi sebab sekaligus operasi jantung bocor di salah satu bayinya.

Dr.Ryzki yang ramah dan enak diajak cerita itu menjadi Ketua Tim Penanganan Kembar Siam sejak 2019.

Great.Ini tim solid yang menoreh prestasi medis anak negeri yang berhasil memisahkan kembar siam Adam dan Haris (2019), Adam dan Malik (2021) hingga Brian dan Drian (2024).

Dahsyat kali dokter Ryzki dan the dream team. Dia langsung menjadi Captaint of the Team.

Mengobati kasus pasien anak dengan riwayat jantung bocor bawaan itu tugas medis nan rumit, Dr. Ryzki andalan dalam mendokterkan pasien jantung bocor bawaan tanpa bedah.

Itu kasus medis yang beresiko tinggi walau sudah bisa dibiayai dengan layanan BPJS Kesehatan.

Coding BPJS Kesehatan tak jadi soal. Pun, soalnya ada pada ketersediaan dan kemumpunian dokter sub spesialis Kardiologi Anak yang tak bayak tersedia, hanya 70 saja.

Cuma 5 orang yang berhidmat di RS Adam Malik, Medan.

Oh, pemilik hujan, lantas mengapa sosok pemilik Clinical Skills yang langka dan diantri banyak pasien pun ditunggu banyak RS vertikal di Republik itu, alamak tega oh tega disisihkan? Bukannya kudu dikembangkan dan diperhatikan.

Bukan pilot, dia lazim terbang ke mana-mana kampus kedokteran dan RS Pendidikan seantero nusantara.

Misinya, apalagi kalau bukan mengampu alias memajukan prodi subspesialis jantung anak agar tumbuh bahagia, bagai kemarau bertemu musim hujan, menjadi prodi primer bahkan menjejak paripurna.

Dia terbang dari Medan ke berbagai penjuru kota. RS Adam Malik jadi saksi, yang semula tak bisa banyak, sekarang menjadi rujukan premium intervensi jantung anak.

Usai kami baku-dapa akal malam-malam di Cikini-Menteng, hari pagi esoknya dia menemui sang guru, Prof Dr. Sukman Tulus Putra, Sp.A, yang juga klien saya. Jelang siang dia terbang ke Kota Batam, bergeser terbang ke Manado.

Di lain masa, kerap pula bersyafar ke Banda Aceh dan lanjut ke kota lain, ya tentu saja ke RS Harkit di Jakarta. Apalagi kalau bukan urusan mengampu ilmu kedokteran jantung anak, medan juang yang dikuasainya, sub spesialisasi jantung anak non bedah.

Canggih kali! Idem ditto tak kalah seperti layanan medis di luar negeri lah.

“Kek mana awak ngatur jadwal”, tanya saya sambil menyeruput kopi sanger di Kafe Premium Edwin di kawasan Menteng, Jakarta.

“Waktu bisa diatur, bang”, ujarnya menirukan kalimat bersayap “semua bisa diatur” yang sempat dipopulerkan Wapres Adam Malik Batubara.

Waktu bisa diatur, kompetensi medis haram dikutak-atik karena berurusan nyawa manusia. Jangan menyalahi pakem kebenaran ilmiah dalam ilmu kedokteran (medical science). Yang berbasis kebenaran ilmiah: Evidence Based Medicine, bukan berbasis testimoni seperti alkisah Ponari pun kasus putusan jujur-berani dari Yang Mulia Majelis Etik IDI –sing biyen iku.

Begitu prinsip yang diajarkan Prof.Dr. Djohansyah Marzoeki, Sp.B., Sp.BP-Rekonstruksi Estetik, klien saya berjuang di MK RI yang menguji Pasal 451 UU Kesehatan.

Ohya, ketahuilah pasal itu norma yang dibuat khusus untuk “genosida” Kolegium kedokteran (38 kedokteran + 9 kedokteran gigi).

Kolegium itu sejak berdirinya adalah institusi akadamis (academic body) yang kudu independen, seperti sifat ilmu pasti (natural science); dan telah berjasa mengampu ilmu kedokteran, tanpa fasilitasi fiskal negara.

Mustinya, negara berhutang jasa kepada Kolegium kedokteran –yang didalilkan Putusan MK RI Nomor 10/PUU-XV/2017 sebagai ‘Academic Body’.

Putusan MK RI a quo setara norma UU, bukan institusi sekelas Ormas, seperti flyer di medsos Kemenkes –yang kena kritik publik dan kini sudah take-down, walau persoalan itu belum bisa dianggap selesai.

Banyak segi yang kami diskusikan dengan Dr.Ryzki. Lebih banyak lagi persuaan pikiran yang tak dicakapkan; walau itu catatan pertemuan “kopi darat” pertama kali.

Trialog malam-malam itu disempurnakan dengan “wawancara” bersama Dr.Hadi Wijaya, MH.Kes., eksponen PB IDI, Host/ pengelola Podcast Kedokteran berlabel KHC (Kang Hadi Consience) dan owner RS Swasta di Tangerang, dan dedengkot Pengurus Pusat ARSSI (Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia).

Alahai diskusi lemak yang usai 11 menit jelang tengah malam itu makin ‘soor kali ah’.

Entah karena legitnya paparan materi Dr. Ryzki menguak profil “seru” bagaimana atlas kapasitas layanan jantung anak, dan serunya berlomba dengan sensasi kopi Aceh: 11 menit jelang tengah malam yang tak hendak cepat-cepat diakhiri. Padahal jadwal saya sidang PTUN Jakarta, pagi hari.

Bukan hanya saya, banyak ortu pasien anak pun ibu-ibu yang soor dengan kemilau kiprah medis yang “tangan dingin” dan tulusnya jenius menyehatkan pasien jantung anak Indonesia.

Ibarat take off pesawat terbang, gurihnya prospek diskusi dan ngopi ditentukan oleh 11 menit: Critical Eleven (CE).

Setelah CE itu, jelajah “terbang” tema wicara aman, nyaman, dan tambah soor –kata yang populer bagi anak Medan sedunia.

Persuaan gagasan dan “cocok kimia” dalam aksi juang yang tak bisa disingkirkan sang “pemilik kedai”.

Lantas mengapa ada yang tak soor? Aneh! Mengapa dia harus disingkirkan, Bung?

Karier medisnya, seperti diakui Dr.Ryzki: karena sokongan full speed dari IDAI dan Kolegium kedokteran anak, yang tak hendak takluk di bawah pengaruh pun utak atik Pemerintah.

Selain karena memang itu pakem universal, juga sudah keputusan forum tertinggi: Konas IDAI.

Bahkan, itu ujud perlawanan mulia atas aturan represif norma Pasal 77 ayat (1) dan (2) PP Nomor 28 Tahun 2024, yang memberi wewenang Menkes auto mengubah kebijakan medis-ilmiah Kolegium.

Kawans, sungguh ini pangkal sebabnya dia disisihkan. Selebihnya dia menolak gagasan Menkes membawa masuk dokter asing, termasuk jantung anak.

Ketahuilah, konsideran UU Kesehatan Omnibus Law telah berubah bak tikungan tajam: dari Public Health menjadi Healt Industry.

Maka bersimaharaja-lela industri kesehatan juncto pemilik kedai kapitalisme layanan kesehatan.

Siapa “pemilik kedai” yang tak soor, kalau bukan “gila” sedikit yang menebar petir dan badai? Hujan mana hujan?

Hujan tak pigi ke mana-mana. Hujan itu rizki mendekati jiwa yang berbakti. Rizki tak khianati bakti.

Jangan takut pada suara petir pemilik kedai, hanya kucur lembut simpati “hujan” yang menumbuhkan bunga di taman kota adalah rizki dari pemilik langit.

Walau beda kota, kami mengulas “ini” dan “itu”, ya..banyak yang setengah rahasia juga lah ya.

Ini CITO, bedah kasus tak cukup sebentar, namun saya langsung kontak kawan jurnalis mendesakkan hak sanggah dr. Ryzki yang dituduh Humas Kemenkes ada masalah disiplin.

Syukur, hak sanggah sudah dinaikkan media besar itu: Kompas.id, esok harinya. Janji sua dengan Komnas HAM dan komisi negara lain sudah diagendakan.

Upaya administratif berupa Keberatan yang merujuk Pasal 77 UU Administrasi Pemerintahan, sudah pula dilayangkan.Tunggu waktu mainnya untuk yang lain lagi, ya.

Juga, trialog kami sempat menandai mana petir, badai dan hujan. Mulai menyusun langkah CITO ke “piala dunia”. Juga, hendak bertanya kepada pakar politik dan hakim MK RI: mengapa doa dan pita hitam pun tega dilarang, pula.

“Kita pakai setelan hitam-hitam saja sekalian”, sindir eksponen IDAI iki sembari spill Agenda 20 Mei 2025 di kampus FK UI.
“Saya ikut”, kataku disambut Ryzki antusias.

Di luar cuaca Menteng-Cikini cerah kali, di malam hujan yang turun tak jadi.

Kami soor bertutur dikawani kopi sanger tak hitam dan disisipi cerita lucu khas ala Medan kota kami, dibumbui kisah romantik-otentik kala berjuang di Alimbas: Adinegoro 15.

Bakat dan “DNA” ketokohan Dr.Ryzki yang telah lama dirawat, kini bersemi di taman nasional.

Bukan gelegar suara petir, hujan lah menyemai pohon bertunas. Pohon bertunas tanpa suara, tapi tiris hujan yang menumbuhkan asa.

Dengan “bonus” sepenggal sejarah tatkala dikucuri kasus ini, “Anda orang besar masa depan kedokteran anak Indonesia bahkan manca negara”, kata amba tak hendak bergurau.

Majelis pembaca. Bagi saya, narasi ini bukan soal mengunggah corak pribadional Dr. Rizky, namun ikhwal loyal mengawal eksistensi profesional dokter anak dalam kerangka IDAI, terlebih karena ada “A”-nya: Anak, mereka adalah putra putri kehidupan, kata Kahlil Gibran yang penyair “konstitusional”.

Pun demi menjaga hak hidup dan hak survival anak sebagai pertimbangan puncak (paramount consideration), seperti Asas Konvensi PBB tengabg Hak Anak.

Kebijakan Kemenkes kudu pro hak anak, sang putra putri kehidupan, bukan karena subyektifitas like and dislike –yang kini tak lagi relevan.

Kawan Ryzki, jangan surut demi reputasi organisasi profesi dokter anak cq IDAI dalam rumah besar IDI. Tak hilang IDAI di bumi, pun kejayaan kolegiumnya yang independen dan tak hendak tunduk pada kuasa tentakel Healt Industry.

Ini spill rahasianya. Itu yang menjadi alasan sebenarnya disebalik surat pemberhentian Dr.Ryzki, yang bahkan wujud fisik alias hard copy suratnya belum diterima sampai hari ini.

Ketahuilah, ada soal besar yang hendak disasar disebalik tekanan melanda IDAI, bukan sesederhana soal kasus individual pada Dr.Ryzki saja. Walaupun menghadapi seorang Dr. Ryzki yang bersemangat patriotik pada jantung anak, aha.. itu bukan soal mudah, tidak pula sederhana, bung.

Menjaga jantung anak adalah menjaga hidupnya kehidupan.
Tekat tak hendak kalah, tersebab ini IDAI, bung!

Ayo dokter Rizky, nyalakan korsa, yakin usaha sampai. Abaikan badai “gila” sedikit.

Syukurlah, opini ini bisa menjawab kolega yang bertanya, dan menebar semangat patriotik menjaga jantung anak.

Dari risalah Hadist, sesiapa yang “menderita” membela anak, haram kulitnya api neraka. Jangan bawa kulit anda ke sana walau hanya 1 menit. Astaghfirullah hal adzim! Tabik.

(Advokat Muhammad Joni, SH.MH)

Leave a Reply