Lima Belas Alasan Rumah Inti Tumbuh
Saya masih harus sabar menanti ketuk palu pak Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Sejak awal Januari 2012, selaku kuasa hukum APERSI, Asosiasi Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia, dipercayakan menguji pasal 22 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2011. Sebut saja “ayat lantai rumah”. Soal luas lantai rumah minilal 36 M2 itu, memang masih menunggu putusan MK, tetapi implikasinya sudah merambat kepada anjloknya pembangunan rumah sejahtera.
Putusan ini memang amat dinantikan bagi masa depan pencapaian perumahan rakyat. Putusan ini menentukan derajat defisit perumahan alias backlog. Yang pasti, hak konstitusional atas rumah yang dijamin Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, tak boleh terhambat dengan norma Undang-undang. Tapi faktanya, pemerintah menurunkan target pembangunan perumahan bagi masyarakat berperpenghasilan rendah (MBR)dari 600 ribu unit kini menjadi hanya 130 ribu unit saja.
Awal tahun ini, APERSI mengajukan gugatan pengujian material ketentuan Pasal 22 ayat (3) UU Perumahan dan Kawasan Permukiman (“UU Nomor 1 tahun 2011”) yang berbunyi, “Luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi”.
Alasan utamanya, menghambat hak konstitusional atas rumah yang dijamin Pasal 28 H ayat (1), Pasal 28 H ayat (4), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.
Secara faktual dan sosial, bahkan juridis konstitusional, masih perlu rumah mungil bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), termasuk pasangan muda yang memulai menata hidup baru. Daripada menumpang atau tak memulai, lebih baik memiliki rumah mungil, yang bisa diperluas sepanjang masa alias rumah tumbuh.
Berikut ini bebara alasa masih perlunya rumah mungil alias type 21 yang masih digandrungi pasar.
1. Keterbatasan daya beli MBR. Dengan keterbatasan daya beli kelompok MBR, ketersediaan rumah dengan luas lantai 21meter persegi yang masih bisa dijangkau oleh kelompok MBR sesuai dengan pendapatan yang dimilikinya;
2. Kebutuhan keluarga/pasangan baru rumah type 21 yang bias tumbuh (rumah tumbuh), bukan type 36. Kelompok MBR yang didalamnya termasuk pasangan yang baru menikah yang membina keluarga sendiri dan untuk mandiri yang apabila dengan 2 (dua) orang ataupun ditambah 1 (satu) orang anak, sehingga menjadi 3 (tiga) orang penghuni rumah, masih memadai dengan luas lantai minimal 21 meter persegi. Apalagi setelah pasangan tersebut mempunyai kemampuan dan penghasilan yang meningkat dapat mengambangkannya menjadi lebih luas lagi atau yang dikenal dengan konsep rumah tumbuh.
Menurut pengamat perumahan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar bahwa “keluarga muda tidak perlu rumah seluas 36meter persegi tetapi membutuhkan rumah tumbuh . Seiring dengan peningkatan pendapatan dan perkembangan keluarga, rumah itu bias dibangun sendiri secara bertahap” (vide harian Kompas, “Luas Rumah Direvisi”, Jumat, 25 November 2011).
3. Pedoman teknis RS Sehat. Luas lantai rumah minimal 21 bersesuaian dengan perhitungan dalam ketentuan Pedoman Teknis Rumah Sederhana Sehat (RS Sehat) yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 403/KPTS/M/2002. Berdasarkan ketentuan tersebut, kebutuhan luas lantai minimum bangunan untuk rumah sederhana sehat (RS Sehat) adalah:
Untuk 3 (tiga) jiwa, maka,(a) Unit rumah minimal luas lantai 21,6 meter persegi.(b) Luas lahan minimal 60meter persegi.
Untuk 4 (empat) jiwa, maka Unit rumah minimal luas lantai 28,8, dan Luas lahan minimal 60meter persegi.
4. Rumah type 21 masih dibutuhkan pasar. Rumah dengan luas lantai atau type 21 mater persegi adalah masih dibutuhkan oleh pasar perumahan khususnya kelompok MBR.
Kebutuhan rumah dengan type 21 masih cukup besar di daerah daripada masyarakat bertempat tinggal di kolong jembatan. Hal ini yang disuarakan kalangan Real Estate Indonesia (REI) Sulawesi Selatan (vide AntaraNews, “Masyarakat Sulsel masih butuh rumah type 21”, 9 Mei 2010).
Pembatasan rumah sederhana minimal 36meter persegi akan memberatkan pengembang kecil yang membangun rumah tipe 21meter persegi. Pasar tipe 21 masih sangat besar dan perlu diserap dengan ketersediaan rumah (vide Bisnis Indonesis.com, “Kemenpera kaji batasan rumah tipe 36”, 03 November 2011, 21:16 WIB).
5. Lebih membuka akses memperoleh rumah dan menghambat tinggal pada permukiman kumuh. Pembangunan rumah dengan luasa lantai minimal 21 meter persegi selain diperlukan dan pasarnya membutuhkan, dan hal itu menjadi faktor memperbesar akses kelompok MBR untuk keluar dari masalah perumahan dan keluar dari permasalahan permukiman kumuh di perkotaan yang setiap tahun meningkat luasnya.
Pada tahun 2004 luas permukiman kumuh 54.000 hektar, menjadi 57.800 hektar pada tahun 2009 (vide Kementerian Perumahan Rakyat RI, “Rencana Strategis Kementerian Perumahan Rakyat Tahun 2010-2014”, dalam Zulfi Syarif Koto, “Politik Pembangunan Permahan di Era Reformasi – Siapa Mendapat Apa?”, LP3I dan Housing and Urban Development Institute (HUD), Jakarta, 2011, hal. 62).
6. Menurunkan eskalasi backlog. Pembangunan perumahan dengan type 212 tersebut akan memperudah akses membeli rumah dan karenanya memperlambat eskalasi becklog, sebaliknya apabila dipatok dengan minimal luas lantai 36meter persegi akan menghambat pembangunan perumahan dan serapan dan komitmen kelompook MBR membeli rumah.
7. Luas lantai 36meter persegi hambat program rumah murah. Pembangunan perumahan dengan luas lantai minimal 36meter persegi menghambat gerak dan target pembangunan rumah sederhana sehat, oleh karena menghambat pengembang dan daya serap kelompok MBR. (vide EksposNews, “Program rumah murah Sumsel terganjal aturan Kemenpera”, Rabu, 11 Januari 2012).
Selain itu, akan menghambat laju pertumbuhan pembangunan rumah oleh pengembang rumah murah (vide Waspada Online, “Januari 2012, penjualan rumah tipe 21 dihentikan”, 26 Desember 2012). Padahal kontribusi pengembang dan masyarakat membangun rumah adalah bagian terpenting dari target pembangunan rumah.
8. Akses memperoleh fasilitas bebas PPN. Luas lantai rumah minimal 21 meter persegi bukan cuma terjangkau dan harga murah akan tetapi memperoleh fasilitas bebas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sesuai Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 31/PMK.03/2011, kebijakan pembebasan Pajak Pertambahah Nilai (PPN) untuk Rumah Sederhana (RS) dan Rumah Sangat Sederhana (RSS) adalah rumah yang perolehannya secara tunai ataupun dibiayai dengan fasilitas kredit, baik bersubsidi ataupun tidak bersubsidi, atau melalui pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, yang memenuhi ketentuan:
(a) Luas bangunan tidak melebihi 36m2 (tiga puluh enam meter persegi);
(b) Harga jual tidak melebihi Rp. 70.000.000,- (tujuh puluh juta rupiah);
(c) Merupakan rumah pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal, dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 tahun sejak dimiliki;
Sehingga akses mem[peroleh rumah murah oleh kelompok MBR makin besar, dan sebaliknya jika dengan luas lantai 36meter persegi atau lebih tidak akan memperoleh fasilitas bebas PPN, sementara kelompok MBR tidak mampu membeli rumah apalagi tanpa fasilitas tersebut.
9. Membuka akses memperoleh FLPP. Dengan membeli rumah sederhana type 21 maka masih mungkin bagi kelompok MBR memperoleh FLPP, oleh karena itu akses memperoleh rumah makin ringan. Namun apabila dibatasi luasa lantai minimal 36 meter persegi, maka tidak terjangkau kelompok MBR, dan selsanjutnya tak dapat mengakses fasilitas FLPP, padahal dalam UU APBN ditebntukan FLPP sebagai subsidi yang diberikan kepada rakyat atau kelompok MBR.
10. Mengatasi kelangkaan dan mahalnya lahan/tanah. Pembangunan rumah murah dan sejahtera untuk kelompok MBR selain dibutuhkan dan sesuai daya beli pasar kelompok MBR, namun hal tersebut juga sesuai dengan fakta kelangkaan dan mahalnya harga tanah, sehingga menjadi faktor naiknya harga rumah yang bias dijangkau kelompok MBR.
11. Bersesuaian dengan indikator hak atas rumah. Rumah tipe 21 dengan luas lantai 21 meter peresegi selain merupakan kebutuhan pasangan baru dan sesuai daya beli kelompok MBR. Hal ini secara juridis-formil bersesuaian dengan pedoman teknis luas lantai rumah (vide Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 403/KPTS/M/2002), akan tetapi juga bersesuaian dengan aspek HAM atas rumah yakni indikator (a) keterjangkauan daya beli (affordability); (b) ketersediaan pelayanan (availability); (c) kesempatan memperoleh rumah (accessibility), dan tentunya (d) masih layak dan nayaman untuk kelompok pasangan muda yang suatu masa bisa mengembangkannya atau sebagai rumah tumbuh (habitalility).
12. Aspirasi memperoleh rumah murah, untuk cegah kelompok MBR tidak menikmati hak atas rumah. Kebutuhan rumah tipe 21 bukan saja masih sesuai dengan kebutuhan pasar akan tetapi merupakan bagian dari aspirasi yang berkembang untuk memperoleh rumah dan bersesuaian dengan kebijakan yang sedang dikembangkan pemerintah daerah seperti rumah murah di Sumatera Selatan.
Dengan kondisi seperti itu, tak heran jika Kementerian Perumahan Rakyat menilai Indonesia berada dalam kondisi darurat perumahan sehingga dibutuhkan nintervensi pemerintah (vide Bisnis Indonesia, “Indonesia di kondisi darurat perumahan”, 13 Desember 2011). Akan tetapi dalam keadaan darurat perumahan justru regulasi dan norma Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2011 justru makin menghambat akses MBR dan karenanya semakin membuat darurat perumahan di Indonesia.
Menurut Zulfie Syarif Koto, berdasarkan data dan fakta yang ada beliu menyimpulkan bawah “…pembangunan perumahan rakyat hingga dalam perjalanan panjang b65 tahun Indonesia merdeka, ternyata masih lebih banyak dinikmati oleh masyarakat menengah atas”. (vide
Zulfi Syarif Koto, “Politik Pembangunan Permahan di Era Reformasi – Siapa Mendapat Apa?”, LP3I dan Housing and Urban Development Institute (HUD), Jakarta, 2011, hal. 48).
13. Tidak adil dengan perlakuan rumah susun padahal rumah susun tidak bias dikembangkan atau bukan rumah tumbuh. Sesuai kebutuhan dan keadilan hukum. Pembangunan rumah dengan luas lantai minimal 36meter persegi hanya diberlakukan bagio rumah tunggal dan rumah deret, namun tidak diberlakukan bagi rumah susun. Oleh karena itu, untuk rumah susun dapat dibangun dengan luas lantai 21 meter persegi. Padahal, secara teknis rumah susun tidak bisa dikembangkan menjadi/seperti halnya rumah tumbuh, sehingga dengan demikian adanya ketidakadilan dalam norma hukum Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2011 tersebut.
14. Rumah tipe 21 sesuai dengan semangat dan norma Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 2011. Secara kua-juridis, Pemerintah wajib memenuhi kebutuan rumah bagi kelompok MBR sudah ditegaskan dalam Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2011. Bahkan wajib memberikan kemudahan pembangunan dan perolehan rumah, namun dengan adanya Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2011 justru kontraproduktif dalam pembangunan perumahan khususnya kepada kelompok MBR;
15. Rumah tipe 21 sesuai dengan asas perumahan dan permukiman dalam UU Nomor 1 tahun 2011. Dengan adanya rumah tipe 21 akan membuka akses kelompok MBR memperoleh rumah dan sesuai daya belinya. Berdasarkan asas perumahan dan kawasan permukiman dalam UU Nomor 1 Tahun 2011 adalah berasaskan kepada: (b) keadilan dan pemerataan; (e) keterjangkauan dan kemudahan sebagaimana Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 2011.