77 Malam Bersama Rembulan: Anotasi dan Alegori ‘AAPR’
Tiga tahun lalu aku menulis kalimat tak panjang ini, yang tergeleak di rak credenza gagasan. “Merasakan ketajaman malam, tak sendirian. Berdua dengan rembulan, bertemali dengan pemilik malam. Kalimat, paragraf, dan postulat berguyuran ringan”.
Patik berusaha lagi mengerti diksi-diksi yang tersembunyi. Agar tak lipu dan berkarat korosi. Yang hakiki makna eloknya belum ditambang elaborasi.
Patik tersentak hampir teriak. Betapa tidak. Salah satu kegunaan malam, ya…itu tadi, guyuran kalimat menjadi tulisan, turun lebih gurih dan ringan. Seperti hujan turun cepat ke bumi, wangi rumput basah merebak ke sana ke mari.
Untungku apa bersahabat dengan malam. Labaku berapa terpesona dengan rembulan? Banyak sekali kawan. Untuk mematut diri, kataku menjawab sendiri di lekuk hati. Trialog aku, malam dan rembulan, kusampaikan ke sudut negri lewat tulisan anotasi sekufu opini.
Aku tak hendak peduli. Siapa mereguk wangi setanggi dan membawa pulang serumpun inspirasi. Dari tetiap diksi dalam opini.
Biarkan saja terendus ke siapa saja, entah tua ataupun muda, entah suka seni sastra atau hampir suka. Yang suka fisika atau matematika. Pasti ada anasir seni eksotika dikandungnya, seperti alkisah matematika. Quodnon artinya karena jika maka, usah ragu kepada kata-kata bertenaga, nikmati saja sebagai destinasi wisata semesta.
Begitulah efek tulisan malam. Selalu membawa pesan intrinsik pemilik alam melalui jasa sang malam.
Jauh sebelum aku berkenalan dengan rembulan, malam adalah sahabatku paling menenteramkan. Sahabat hebat perentap penat. Sahabat menambang kata dan posulat. Juga diksi, roman alegori, juga tendens dan kalimat munajat.
Kalau raja penyair T.Amir Hamzah dalam ‘Nyanyi Sunyi’ tak urung mengeritik sepi namun berkawan dengan sunyi. “Sunyi itu duka/Sunyi itu kudus/Sunyi itu luka/Sunyi itu lampus”.
Bagiku nyanyi malam itu benih “magnum opus” berkecambah, berputik dan berbenang sari.
Bagiku nyanyi malam itu saat tepat dikunjungi inspirasi. Terpuas imaji mendengar sunyi, terbuai mimpi darmawisata hati. Jejakkan kaki di planet tepi galaksi melalui imaji. Menulis opini dalam hati.
***
Aku menulis karena ada malam. Yang mengunjungi diriku membawa inspirasi paling baru. Yang patut disambut dengan tulisan runtut. Tugas malam mulia, dia meluruskan logika dan rasa yang kala siang tadi berpuntal kusut dihantam sengkarut.
Malam adalah sekolah hati. Maktab mengkaji jatidiri dalam sendiri. Menulis puisi dan pesan dari akademi tepi galaksi. Diikat sebagai opini.
Walau dalam sajian ringan dan renyah, inspirasi tak pernah butut. Sesisip pelajaran ikhwal ayat-ayat hukum dibalut sebagai norma pembenar dan asas pematut.
Tugasku untuk misi memudahkan pembaca norma. Membangun kesan baru. Agar rupa-rupa soal hukum bukan lagi dibaca dengan kening mengkerut. Hukum bukan melulu dianggap hal ikhwal orang sedang dilanda takut.
Tugasku mengusung postulat hukum adalah bahagia. Literasi hukum yang disajikan sebagai bacaan membahagiakan. Mengikuti tujuan hukum ala Jeremy Bentham. Hukum adalah jalan temukan sebesar-besar kebahagiaan.
***
Majelis pembaca. Inilah reportasi bertitel Ketajaman Malam Berdua Rembulan. Mendarat sebagai opini tulisan. Selama 77 malam, berdua dengan rembulan, bertemali dengan pemilik malam.
Kalimat, paragraf dan postulat berguyuran ringan. Menjadi 77 opini tulisan. Buku “Ayat-Ayat Perumahan Rakyat” (“AAPR”) siap sedia diberikan sebagai souvenir tanda cinta kepada aku dan dia sang setanggi hati: keluarga kecil kami Republik Firzuni. Demikianlah Epilog “AAPR”: sebuah anotasi dan alegori.