Alasan MK Batalkan Ayat Lantai Rumah

Hukum itu waras alias logis. Kesan itu yang muncul pada benak saya tatkala khusuk mendengar titah Hakim Mahkamah Konstitusi membacakan Putusan perkara Nomor 14/PUU-X/2012.  Hukum yang tak logis pasti ditolak dan tak hendak dijalankan, walau di atas kertas sah berlaku dan formil menjadi Undang-undang. Kaum yang sinis menyebutnya macan kertas. Mungkin begitu nasib sebuah ayat dalam Pasal 22 ayat (3) UU No.1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Ayat itu membatasi luas lantai rumah minimal 36 meter persegi, atau aplikasinya tipe 36. Untuk mudahnya sebut saja ayat lantai rumah. Konkritnya, ayat itu menolak hadirnya tipe 27, 21, 18. Benarkah ayat lantai rumah efektif? Benarkah ayat lantai rumah itu norma yang waras?

Alih-alih menyejahterakan rakyat. Ayat lantai rumah  justru menghambat   Pemerintah  sendiri memenuhi pembangunan perumahan rakyat. Buktinya?  target pembangunan perumahan rakyat  dianjlokkan drastis  dari 600 ribu unit menjadi 130 ribu unit saja.  Mengapa? Hal ini berkaitan pula dengan  melemahnya daya beli  kelompok MBR.  Dikuti pula  peningkatan  harga rumah sejahtera sesuai zonasi  dengan terbitnya Peraturan menteri Perumahan Rakyat Nomo 13/2012.  Kausal  semua itu adalah  norma ayat lantai rumah.

Dengan alasan itu, pelaku usaha dalam bidang perumahan rakyat yang tergabung dalam Asosiasi Perumahan dan Kawasan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) berkeyakinan  ayat lantai rumah  itu menjadi kausal  melorotnya prestasi perumahan rakyat yang ditandai dengan meroketnya defisit perumahan atau  backlog yang semula 13,6 juta menjadi 48,96 juta unit rumah.

Untuk mempertahankan hak konstitusional bertempat tinggal yang dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, Dewan Pengurus Pusat APERSI mengajukan permohonan pengujian materil atas Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam permohonan pengujian materil atas Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 tersebut, Dewan Pengurus Pusat APERSI menyusun dan mengajukan beberapa alasan dalam positanya yakni:

  1. Ada sejumlah 57 juta penduduk miskin dan hampir miskin, tidak mempunyai rumah, kelompok MBR  yang besar namun  belum mempunyai rumah yang layak.
  2. Masih meluas dan besarnya kelompok marginal yang bertempat tinggal tidak manusiawi.
  3. Kenaikan harga rumah yakni Rumah Sederhana (RS) dan Rumah Sangat Sederhana (RSS)  sekitar 1500 persen dalam kurun 1997/1998 s.d 2009/2010.
  4. Pemilik tanah dengan luas kecil tak dapat membangun rumah.
  5. Persyaratan   luas lantai 36 meter persegi menaikkan komponen harga tanah dalam membangun rumah, dan tak terjangkau kelompok MBR
  6. Daya beli kelompok MBR  stagnan namun harga rumah meningkat dengan adanya syarat luas lantai minimal 36 meter persegi.
  7. Efek domino  timbulnya hambatan hak atas rumah termasuk tidak diterbitkannya Ijin Mendirikan Bangunan (IMB).
  8. Resisten bagi target nasional pembangunan perumahan untuk MBR.
  9. Tidak aplicable dan tidak feasible dan inkonsisten dengan/untuk kebijakan pembebasan PPN.
  10. Memicu semakin tinggi akumulasi dan eskalasi backlog.
  11. Memicu semakin luas lingkungan permukiman kumuh dan menghambat akses memperoleh rumah.
  12. Menciderai HAM untuk memperoleh  tempat tinggal atau rumah.

Persidangan  atas permohonan pengujian materil itu berlangsung panjang, yang secara kualitatif mengerucut kepada perbedaan pandangan dalam aras keterjangakauan (affordability)  ataukah  aras kenyamanan yang dipakai sebagai rasio legis dalam ayat lantai rumah Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011, tentunya dengan memperhatikan realitas sosial kebutuhan dan kemampuan kelompok MBR.

Terhadap permohonan pengujian materil Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 yang diajukan DPP APERSI tersebut, MK telah membuat putusan dengan pertimbangannya berkenaan dengan:

  1. Hak bertempat tinggal sebagai hak konstitusional setiap orang [Pasal 28H ayat (1) UUD 1945], untuk merealisasikan tujuan negara “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia”.
  2. Penyelenggaraan pembangunan perumahan merupakan upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia,
  3. Wajar dan bahkan  keharusan,  pemabangunan perumahan  memenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain, syarat kesehatan dan kelayakan serta keterjangkauan oleh daya beli masyarakat, terutama MBR;
  4. Pasal 22 ayat (3) UU 1/2011  mengandung norma pembatasan luas lantai rumah tunggal dan rumah deret berukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi,  tidak sesuai dengan pertimbangan keterjangkauan  daya beli sebagian masyarakat, terutama MBR;
  5. Melarang  membangun rumah tunggal atau rumah deret yang ukuran lantainya kurang dari ukuran 36 (tiga puluh enam) meter persegi,  berarti  menutup peluang  masyarakat yang daya belinya kurang atau tidak mampu;
  6. daya beli masyarakat, harga tanah, dan biaya pembau berbeda.  Menyeragamkan luas ukuran lantai secara nasional tidaklah tepat.
  7. Hak milik pribadi [Pasal 28H ayat (4) UUD 1945] juga adalah salah satu HAM.  Suatu tempat tinggal, misalnya rumah, dapat berupa rumah sewa, dapat juga berupa rumah milik pribadi.

Berikut ini dikutip bunyi pertimbangan MK dalam perkara aquo sebagai berikut:

“[3.10.3] Bahwa hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak asasi manusia dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia [vide Pasal 28H ayat (1) UUD 1945]. Salah satu tujuan dibentuknya negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia [vide alinea IV Pembukaan UUD 1945].

Terkait dengan hak warga negara dan berhubungan pula dengan salah satu tujuan dalam pembentukan negara dimaksud maka negara berkewajiban untuk melakukan upaya-upaya dalam rangka mewujudkan terpenuhinya hak warga negara tersebut.

Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman merupakan salah satu aspek pembangunan nasional, pembangunan manusia seutuhnya, sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan terpenuhinya hak konstitusional tersebut, yang juga merupakan pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang memiliki peran strategis dalam pembentukan watak dan kepribadian warga negara sebagai upaya pencapaian salah satu tujuan pembangunan bangsa Indonesia yang berjati diri, mandiri, dan produktif.

Sebagai salah satu upaya pemenuhan hak konstitusional, penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman adalah wajar dan bahkan merupakan keharusan, manakala penyelenggaraan dimaksud harus memenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain, syarat kesehatan dan kelayakan serta keterjangkauan oleh daya beli masyarakat, terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah [vide konsiderans (Menimbang) huruf a sampai dengan huruf d serta Penjelasan Umum UU 1/2011].

Terkait dengan syarat keterjangkauan oleh daya beli masyarakat, terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah, menurut Mahkamah, Pasal 22 ayat (3) UU 1/2011, yang mengandung norma pembatasan luas lantai rumah tunggal dan rumah deret berukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi, merupakan pengaturan yang tidak sesuai dengan pertimbangan keterjangkauan oleh daya beli sebagian masyarakat, terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Implikasi hukum dari ketentuan tersebut berarti melarang penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman membangun rumah tunggal atau rumah deret yang ukuran lantainya kurang dari ukuran 36 (tiga puluh enam) meter persegi. Hal tersebut berarti pula telah menutup peluang bagi masyarakat yang daya belinya kurang atau tidak mampu untuk membeli rumah sesuai dengan ukuran minimal tersebut.

Lagipula, daya beli masyarakat yang berpenghasilan rendah, antara satu daerah dengan daerah yang lain, adalah tidak sama. Demikian pula harga tanah dan biaya pembangunan rumah di suatu daerah dengan daerah yang lain berbeda. Oleh karena itu, menyeragamkan luas ukuran lantai secara nasional tidaklah tepat. Selain itu, hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana dipertimbangkan di atas adalah salah satu hak asasi manusia yang pemenuhannya tidak semata-mata ditentukan oleh luas ukuran lantai rumah atau tempat tinggal, akan tetapi ditentukan pula oleh banyak faktor, terutama faktor kesyukuran atas karunia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa;

[3.10.4] Menimbang bahwa sejalan dengan pertimbangan dalam paragraf [3.10.3], hak bertempat tinggal, hak milik pribadi [vide Pasal 28H ayat (4) UUD 1945] juga adalah salah satu hak asasi manusia.  Suatu tempat tinggal, misalnya rumah, dapat berupa rumah sewa, dapat juga berupa rumah milik pribadi.

Seandainya rezeki yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa barulah cukup untuk membangun/memiliki rumah yang luas lantainya kurang dari 36 meter persegi, pembentuk Undang-Undang tidak dapat memaksanya membangun demi memiliki rumah yang luas lantainya paling sedikit 36 meter persegi, sebab rezeki yang bersangkutan baru mencukupi untuk membangun rumah yang kurang dari ukuran tersebut”;

Dengan pertimbangan sedemikian rupa, selanjutnya MK membuat putusan dengan amar berbunyi sebagai berikut:
“Menyatakan:
1.    Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;

1.1.  Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

1.2.  Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya”;

Berdasarkan pertimbangan MK diatas, bahwa hakim MK mengutamakan pertimbangan asas keterjangkauan (affordability) sebagai rasio legis dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan, sehingga berpendapat bahwa Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 bertentangan dengan hak konstitusional bertempat tinggal Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Leave a Reply