Alih Fungsi Hutan dan Kerugian Negara
Alih fungsi hutan rentan dengan kerugian Negara dan melanggar hukum. Mampukah Negara mengunakan hukum memberantas perambahan hutan? Menekan kerugian Negara? Negara tak boleh kalah dengan perambah hutan. Tekat itu patut ditagih dan semoga bukan cuma janji klise semata. Harapan itu membuncah tatkala Pemerintah bertekat mengedepankan langkah penegakan hukum untuk perkebunan dan pertambangan yang merambah kawasan hutan di Kalimantan Tengah. Langkah serupa juga bakal berlanjut di provinsi lain yang memiliki kasus perambahan hutan. Positioning itu adalah kesimpulan rapat koordinasi Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan Ketua Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum Kuntoro Mangkusubroto (Kompas, 2 Februari 2011). Sikap yang harus didukung, dikawal dan ditagih masyarakat.
Langkah penting mengatasi, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor P.10/Menhut-II/2010 tentang Mekanisme dan Tata Cara Audit Kawasan Hutan, tertanggal 1 Pebruari 2011.
Diwartakan dari 15,4 juta hektar kawasan hutan di Kalimantan Tengah, ada 3,8 juta hektar perkebunan yang belum memiliki izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Masalah serupa juga membelit bisnis pertambangan yang tidak memiliki izin penggunaan kawasan hutan di konsesi seluas 3,7 juta hektar.
Menhut menegaskan, ”Kami tidak ragu-ragu dalam penegakan hukum di sektor kehutanan. Selama tahun 2010 kami menangani 96 kasus kehutanan dan telah divonis 4 kasus, salah satunya melibatkan warga negara asing”.
Pemerintah patut tegas karena soal hutan itu menimbulkan kerugian Negara yang tidak sedikit. Yang jika diserap menjadi APBN seharusnya bisa lebih menyejahterakan rakyat. Bagaimana tidak, kerugian negara dari 352 perusahaan dengan konsesi seluas 4,6 juta hektar, baru 67 perusahaan seluas 800.000 hektar yang memiliki izin pelepasan. Adapun pertambangan, dari 615 perusahaan berizin usaha dengan konsesi seluas 3,7 juta hektar, hanya 9 perusahaan seluas sedikitnya 30.000 hektar memiliki izin penggunaan kawasan. Perambahan ini telah merugikan negara sedikitnya Rp 158,5 triliun. (Kompas, 2 Februari 2011).
Penyebabnya? Bisa dimulai dari euforia otonomi daerah membuat para kepala daerah ugal-ugalan menerbitkan izin usaha bagi investor di kawasan hutan. Pengusaha semestinya mengurus izin pelepasan kawasan hutan kepada Menteri Kehutanan, namun banyak yang lalai dan langsung bekerja. Jika fakta hukum ini dilanjutkan, kerugian Negara juga menjadi tangungjawab mereka?
Berbagai fakta, aneka data
Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di Batu Licin, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, 2 April 2010 melakukan inspeksi dan menyaksikan langsung “kolam” lahan hutan eks penambangan batubara yang gundul dan tidak direklamasi. Mengacu Permenhut Nomor P.10/Menhut-II/2010, Menhut sangat serius menangani audit kawasan hutan. Buktinya, segera Menhut mengirimkan surat Nomor S 95/Menhut-IV/ 2010 tanggal 25 Februari 2010 ke semua gubernur. Surat yang juga ditembuskan kepada Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepala Kepolisian Negara RI, Jaksa Agung RI, dan Menteri Lingkungan Hidup RI.
Isi surat Menhut Nomor S 95/Menhut-IV/ 2010 meminta Semua gubernur wajib menginventarisasi penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kehutanan dan langkah penegakan hukum yang telah diambil. Gubernur harus memerintahkan kepala dinas provinsi dan kabupaten yang membidangi kehutanan, pertambangan, perkebunan, dan perikanan untuk mendata penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan nonkehutanan. Gubernur melaporkan langkah-langkah penegakan hukum selama ini. Gubernur dapat melaporkan hasil inventarisasi menggunakan formulir lampiran surat melalui Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dengan tembusan kepada Ketua KPK, Kepala Polri, Jaksa Agung, dan Menteri LH.
Diwartakan pula, penegasan Menhut bahwa Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah wajib menginventarisasi dan mengekspos penggunaan kawasan hutan di luar sektor kehutanan. Kalau tidak, (areal investasi yang melanggar regulasi kehutanan) akan di-police line. Fakta-fakta lain dari Ditjen PHKA, yang melakukan investigasi dan operasi penertiban reguler di Sumatera, Riau, dan Kalimantan. Di Sumatera Utara di temukan 16 perusahaan yang melanggar ketentuan UU No.41 Tahun 1999. Di Kalteng, ada 960.000 hektare kawasan hutan yang dialih fungsikan untuk usaha nonkehutanan tanpa izin pelepasan kawasan. Di Kaltim diketahui 150 perusahaan melakukan perambahan kawasan.
Tantangan, serta pertanyaan yuridis dan praktis yang muncul untuk mensukseskan kebijakan Menhut. Bagaimana efektifitas dan dukungan politik dari aparatur penegak hukum dan Gubernur serta Bupati/Walikota untuk mengamankan kebijakan Menhut?
Audit Kawasan Hutan
Bisakah kawasan hutan menjadi nonhutan, bagaimana menilai akurasi teknis dan justifikasi normatif juridisnya? Saat ini sudah tersedia Permenhut Nomor P.10/Menhut-II/2010 tentang Mekanisme dan Tatacara Audit Kawasan Hutan, yang menjadi regulasi pemeriksaan status kawasan hutan. Untuk maksud audit kawasan hutan (AKH) itu, diterbitkan Surat Menhut surat Nomor S 95/Menhut-IV/ 2010 tanggal 25 Februari 2010 yang mewajibkan semua gubernur menginventarisasi penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan nonkehutanan dan langkah penegakan hukum yang telah diambil.
Audit Kawasan Hutan (AKH) penting mencegah meluasnya alih fungsi hutan secara ugal-ugalan sehingga merugikan negara. AKH itu juga untuk mengakomodir usulan perubahan kawasan hutan untuk pembangunan sektor nonkehutanan, seperi minyak dan gas ataupun pemekaran wilayah. Selain itu, karena masih terjadinya tumpang tindih kawasan dan konflik-konflik pemanfaatan ruang di kawasan hutan.
Akan tetapi, agenda AKH dengan Permenhut Nomor P.10/Menhut-II/2010 itu semestinya diarahkan untuk kepastian hukum dan penegakan hukum. Tidak hanya alat monitoring dan evaluasi penutupan kawasan hutan, serta dasar analisis tim terpadu untuk penyelesaian konflik pemanfaatan ruang kawasan hutan. Akan tetapi diarahkan sebagai bukti dan alasan penegakan hukum proses “pro justisia”, dan dasar menghitung kerugian Negara.
Namun harapan itu mesti digenjot dengan komitmen dan kerja keras rimbawan dan stakeholder kehutanan. Hasil yang diperoleh dari AKH sebagai bukti dan alasan penegakan hukum dan bukti bagi sektor kehutanan untuk kepastian kawasan hutan. Tak cuma untuk proses penegakan hukum, AKH harus konsisten dengan kepastian kawasan hutan dan transparansi serta untuk memastikan kepatuhan hukum pemegang izin usaha kehutanan, misalnya penerbitan Izin usaha pemanfaatan hutan tanaman ataupun Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Ironisnya, 95% permohonan IPPKH diajukan dengan persyaratan tidak lengkap sehingga banyak perusahaan migas yang belum mengantongi IPPKH.
Berdasarkan Surat Kemenhut No. S.246/Menhut-VII/2011, hanya 5 perusahan migas yang memegang IPPKH [Majalah Indo Petro, Juli 2011, h.6].
Namun AKH bukan langkah pamungkas, karena harus diikuti dengan akurasi, profesionalitas dan prohukum dalam menerbitkan izin-izin kehutanan, termasuk IPPKH. Menduplikasi dibentuknya Tim Terpadu untuk masalah hilir kisruh kehutanan, patut jika dalam penerbitan izin-izin kehutanan meminta pertimbangan multi stakeholder kehutanan dengan Tim Pertimbangan Perijinan Kehutanan, termasuk masyarakat, akademisi dan NGO.
Untuk mendukung moratorium perambahan hutan dan litigasi yang tangguh, dengan AKH pihak Kemhut akan dibekali data hukum yang sahih dan kuat sebagai bukti jika dilakukan litigasi di pengadilan. Disinilah urgensi audit hukum terhadap seluruh izin-izin kehutanan untuk menilai kepatuhan, perambahan, tumpang tindih dan/atau pelanggaran.
Selain itu, asistensi dan supervisi terhadap Pemerintah di daerah untuk AKH juga tak kalah penting. Tak cuma mencegah perambahan hutan, kebijakan peningkatan usaha kehutanan yang harus dipantau secara berkala dan intens untuk memastikan kepatuhan hukum dan tidak menguapnya pendapatan Negara yang sah dari usaha kehutanan.