Amaliah Konstitusional IDI: Menyelam Tak Sekadar Berenang
Saya paling bersyukur ikut serta misi jelajah “menyelam” IDI menjaga profesi kedokteran. Dengan upaya hukum “ujian pertama” judicial review UU Tenaga Kesehatan, dan “ujian kedua” Pihak Terkait judicial review UU 29/2004 dan UU 20/2013. Yang mencatatkan jejak advokasi IDI. Menjadi jejak sejarah profesi kedokteran paska 14 tahun UU 29/2004.
UU 29/2004 produk era reformasi yang kompak diadvokasi tokoh-tokoh kedokteran negeri ini. Itulah UU yang mengubah rezim Surat Izin Dokter (SID) yang berlaku seumur hidup ke Surat Tanda Registrasi (STR) yang berlaku 5 tahun saja. Dari berbasis administarasi ke berbasis kompetensi.
Hasil amaliah konstitusional IDI itu mengokohkan norma dan pakem “sosiologi” kedokteran. MK memutuskan konstitusionalitas Satu IDI sebagai aturan tak berbatas (infinity rules). Eksistensi KKI menjaga misi guiding profesion and protecting the peoples. Memurnikan profesi dokter dan dokter gigi sebagai Tenaga Medis yang sempat mutan ke Tenaga Kesehatan. Akibat over mandatory rezim UU Tenaga Kesehatan.
Apa hikmah yang dipetik bangsa ini? Banyak bung! Bahwa IDI (pun demikian PDGI dan KKI), terbukti institusi yang terlalu penting peran dan fungsinya untuk dinihilkan. Bahkan patut mengorganisir rapih energi IDI sebagai konkritisasi darma bakti IDI.
Hikmah lain? IDI di masa depan patut mengambil porsi besar peran aktif-progresif dalam legislasi hukum perihal kesejahteraan kesehatan. Sebagai “roadmap” darma bakti IDI kepada cita-cita Proklamasi dan UUD 1945. Juga, aplikasi peran IDI selaku Agent of Development dan Agent of Change yang eksplisit dalam Mukaddimah AD IDI.
Tak berlebihan IDI aktif menyiapkan arah politik hukum dan paket program legislasi hukum nasional bidang kesehatan. Itu sudah dimulai dengan langkah PB IDI dibawah dwi-kepemimpinan Prof.IOM dan Dr.Mohammad Adib Khumaidi, Sp.OT yang ajukan perubahan bahkan penggantian UU 20/2013.
Itu langkah konstitusional. Keliru besar, ahistoris dan mengggelikan jika gegabah menudingnya langkah salah. Jangan rabun sejarah, sebab 14-an tahun lalu kaum dokter kompak serempak mengusung RUU Praktik Kedokteran sampai ketuk palu penghalalan UU 29/2004.
Sebaliknya, jika ada anomali dalam norma Undang-undang atau produk legislasi hukum nasional, apalagi tak melibatkan profesi kedokteran, maka patut jika PB IDI demikian pula majelis-majelis dalam rumah besar Satu IDI terus menggiatkan amaliah konstitusional. Jelajah menguji norma anomali dan desruptif bagi kesejahteraan kedokteran. Dengan argumentum a contrario, pembaca mudah menilai apa cap pada upaya delegitimasi Satu IDI?
Pada dua aras itu IDI patut menjadikan agenda amaliah konstitusional sebagai keputusan Muktamar demi Muktamar. Kalau jejak Hippokrates mengetuk pintu rumah setiap orang untuk menyembuhkan penyakit pasien, maka amaliah konstitusional IDI ialah jejak darma bakti pada cita-cita kesejahteraan kesehatan.
Kalau ikhtiar dokter untuk menyembuhkan bak lakon berenang, amaliah konstitusional IDI ialah jelajah menyelam menjaga ekosistem bawah laut, menikmati molek taman laut dalam, dan memungut mutiara berharga dasar samudera. Kalau profesi kedokteran adalah samudera, kiranya IDI tak hanya berenang akan tetapi jelajah menyelam. Selamat Muktamar IDI ke-30, Samarinda, 23-28 Oktober 2018. Tabik.
(Muhammad Joni, SH., MH: Advokat dan Komunitas Sahabat Dokter).