Amanat Konstitusi Merumahkan Rakyat

Dalam kebudayaan manapun, tidak terbantahkan rumah sebagai tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar manusia, yang kemudian diformulasi  sebagai hak setiap orang untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau (adequate and affordable shelter for all). Konsideran “Menimbang” huruf b dan d UU Nomor 1/2011  menggunakan frasa “layak dan terjangkau”.

Hak atas rumah sebagai tempat tinggal menjadi hak semua orang (for all), yang berarti diberikan kepada “setiap orang” sebagaimana frasa dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Demikian pula Pasal 40 UU Nomor 39/1999 dan konsideran “Menimbang” huruf a UU Nomor 1/2011. Frasa yang dipergunakan “setiap orang berhak bertempat tinggal”.

Dengan demikian pemenuhan hak atas rumah tidak semestinya  memiliki norma pembatasan (restriction) yang tidak lain adalah diskriminasi terhadap rakyat ataupun subjek hukum  dalam hal perlindungan dan pemenuhan  hak atas rumah sebagai tempat tinggal.

Asas non diskriminasi merupakan asas yang universal dan ada pada hampir setiap instrumen HAM. Pengertian diskriminasi  Pasal 1 butir 3 UU  Nomor 39/1999   termasuk pembatasan  dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan perkara Nomor X/PUU-X/2012, diskriminasi tersebut dimaksudkan apabila dalam norma Undang-undang terdapat subjek yang berbeda dalam perlakuan hukum.

Berdasarkan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, pengakuan hak konstitusional atas rumah sebagai tempat tinggal diakui eksplisit, sebagaimana berbunyi   “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Sebagai hak asasi manusia (HAM), hak bertempat tinggal juga  eksplisit pada Pasal 40 UU Nomor 39/1999 yang berbunyi  “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”. Selanjutnya  konsideran “Menimbang” huruf a UU Nomor 1/2011 menggunakan frasa “…setiap orang berhak …bertempat tinggal”.

Dari ketiga rujukan hukum tersebut,   norma hukumnya  adalah mengakui (recognized), melindungi (protected), menjamin (ensured), dan tentunya memenuhi  hak bertempat tinggal sebagai hak dan  melekat kepada setiap orang.
Pemenuhan hak atas rumah sebagai tempat tinggal sebagai kewajiban Pemerintah selaku eksekutif yang menjalankan Undang-undang. Oleh karena itu,  pemenuhan hak atas rumah tentu wajib  kepada setiap orang, bukan hanya bagi kelompok tertentu saja dan mengucilkan  (exclution) kelompok lain. Jika hal itu terjadi menimbulkan  diskriminasi dan ketidakadilan, dan kua juridis hal itu bertentangan dengan asas “keadilan dan pemerataan” yang diakui dalam Pasal 2 huruf b UU Nomor 1/2011.

Soal ketidakadilan  pembangunan perumahan disitir  Zulfie Syarif Koto,  yang  berdasarkan data dan fakta menyimpulkan “…pembangunan perumahan rakyat hingga dalam perjalanan panjang 65 tahun Indonesia merdeka, ternyata masih lebih banyak dinikmati oleh masyarakat menengah atas” (Zulfi Syarif Koto, “Politik Pembangunan Perumahan di Era Reformasi – Siapa Mendapat Apa?”, LP3I dan Housing and Urban Development Institute (HUD), Jakarta, 2011, hal. 48.

Konsep hak-hak insani, yang dikenal umum sebagai HAM, dalam pendapat al Ghazali menyebutkan al-Kulliyat/al-Maqashid al-Khamsah, atau 5 (lima) hak-hak dasar universal, yaitu (1) berhubungan dengan perlindungan jiwa dan tubuh (Hifdz an-Nafs); (2) berhubungn dengan perlindungan akal (Hifdz al-Aql); (3) perlindungan atas agama/keyakinan (Hifdz  ad-Din); (4) perlindungan atas harta benda (Hifdz al-Mal); (5) perlindungan atas kehormatan dan keturunan (Hifdz al-Irdl wa al-Nasl). Hal ini dikemukakan Masdar Farid Mas’udi, “Syarah Konstitusi UUD 1945 Dalam Perspektif Islam”, Pustaka Alvabet dan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), Jakarta, 2011, hal. 141-142.

Dalam teori hukum Islam,  kelompok hak-hak insani tersebut dikelompokkan 3 (tiga) tingkatan, yakni pertama hak-hak yang bersifat dlarury (primer/dasar) yakni hak yang jika tidak dipenuhi atau diingkari bisa berakibat kebinasaan, misalnya hak atas pangan, papan dan sandang pada tingkat primer, subsisten, yang jika tidak dipenuhi bisa mengakibatkan kematian. Memenuhi hak primer ini bersifat wajib atau mutlak, menyangkal hak primer ini hukumnya haram dengan sanksi hukum yang optimal.

Akan tetapi, dalam pemenuhan hak atas rumah sebagai tempat tinggal, UU Nomor 1/2011 lebih  menitikberatkan regulasinya terhadap kelompok masyarakat berpenghasilan rendah  atau MBR. Dikaitkan dengan pemenuhan hak  bertempat tinggal sebagai HAM dan hak konstitusional bagi setiap orang, maka terdapat norma hukum yang membedakan “setiap orang” yang kemudian dikerucutkan hanya kepada MBR, yang secara ekonomis lebih beruntung dari warga miskin.   Hal ini muncul dalam ketentuan Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1/2011 yang berbunyi “Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR”.

Dalam kaitan dengan ketentuan Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1/2011 yang berlaku bagi kelompok MBR saja, tentunya tidak termasuk kelompok lebih tidak mampu atau warga miskin.  Andai dilakukan  klasterisasi masyarakat Indonesia menurut pendapatannya, terbagi atas 3 (tiga) kelompok, yaitu (a) masyarakat berpenghasilan menengah (MBM) dengan penghasilan antara Rp.2,5 s.d 4,5 juta, sekitar 10% s.d 20%; (b) masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan penghasilan antara Rp.1 juta s.d kurang Rp.2,5 juta, sekitar 20% s.d 30%; (c) masyarakat miskin dengan penghasilan kurang Rp. 1 juta, sekitar 60% s.d 70% (Zulfi Syarif Koto,  hal. 109).

Oleh karena Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1/2011 hanya mengikat Pemerintah untuk memenuhi hak atas rumah bagi kelompok tertentu saja, yakni kelompok  MBR.  Pemerintah tidak wajib  memenuhi kebutuhan rumah bagi warga masyarakat  yang tinggal di tempat yang tidak layak dan manusiawi atau warga miskin yang jumlahnya masih besar di Indonesia. Dengan demikian, ada kelompok warga masyarakat selain kelompok MBR yang  tidak dapat memperoleh hak atas rumah.

Warga yang tinggal tak memiliki rumah (homeless) tinggal di  emperan toko, di  kolong jembatan, di bawah jalan tol, pinggiran rel kereta api, pada fasilitas  umum, lahan rawan bencana.  Berdasarkan statistik kesejahteraan rakyat tahun 2008, diperoleh (1) sebanyak 11,95% rumah tangga masih menghuni rumah dengan lantai tanah; (2)  ada 10,6% rumah tangga dengan dinding belum permanen; (3) ada  3,61% rumah tangga tinggal di rumah beratapkan daun; (4) ada  21,1% rumah tangga belum dapat mengakses air bersih; (5) ada  8,54% rumah tangga masih belum mendapatkan sambungan listrik; (6) ada  22,85% rumah tangga masih belum memiliki akses terhadap jamban, dalam Renstra Kemenpera 2010-2014, dikutip  Zulfi Syarif Koto, hal.56. Sekitar 8 juta rumah tangga di Indonesia  belum menempati rumah layak huni yang sebagian besar adalah kelompok MBR (“Inforum” Edisi 3 Tahun 2010, hal. 12-13.

Leave a Reply