Anak-Anak Korban Perang

Hati seteguh karang sekalipun pasti terguncang tatkala terbit pagi membaca berita utama Republika, yang melaporkan “Aksi keji Israel, 37 Bocah gugur” (Republika, 31-07-2006). Lagi, nasib tragis melanda anak-anak dan warga sipil di Qana, Libanon Selatan menjadi korban entah kali yang ke berapa akibat serangan brutal Israel. Dengan dalih apapun, perang yang sebenarnya urusan orang dewasa, di depan mata warga dunia, telah merengut jiwa anak-anak yang tak berdosa.

Anak-anak adalah zona netral, bukan bagian dari permusuhan (not part of the hostilities), dan bukan peserta perang (non combatan) dari pihak yang bertikai senjata. Berbagai instrumen hukum humaniter internasional, menjamin anak tidak menjadi sasaran perang dan serangan besenjata. Setidaknya, Statuta Roma tentang International Criminal Court (ICC) pasal 8. ayat 2.b.(v)menentukan bahwa kejahatan perang (war crimes), termasuk kejahatan serius penyerangan atau bombardir terhadap desa, kota atau bangunan yang bukan sasaran militer.

Dalam konflik bersenjata internasional sekalipun, anak-anak yang bukan bagian dari permusuhan dilindungi oleh hukum humaniter internasional. Geneva Conventions 1949 maupun Additional Protocols of 1997 memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak. Bahkan, seandainya apabila benar ada anak-anak yang menjadi bagian dari permusuhan (orang dewasa) itu, namun anak-anak tetap tidak kehilangan haknya atas perlindungan khusus.

Namun anak-anak masih menjadi sasaran mesin perang, yang merengut jiwa, menderita cacat permanen, atau menjadi yatim piatu. Wajar saja apabila serentak bangsa di dunia didorong bergerak mengutuk, dan dengan naluri kemanusiaan yang beradab menyatukan warga masyarakat internasional menuding syahwat perang Israel. Padahal, serangan mesin perang Israel bukan kali ini merengut jiwa anak-anak. Wahai Israel, perang telah menjadi kekerasan serius pada anak-anak: putra-putri kehidupan!

Satu serangan atas zona pemukiman sipil di Qana saja sudah mudah menuduh Israel melakukan kejahatan perang. Anak-anak dan warga sipil yang tidak terkait konflik telah nyata menjadi korban bombardir Israel ahad lalu. Dengan istrumen hukum humaniter Geneva Conventions 1949, Additional Protocols 1977, maupun Statuta Rome of ICC, Israel melakukan kejahatan perang.

Penulis sendiri, sepakat dengan Human Rights Watch, LSM internasional hak asasi manusia, yang dengan tegas menuduh serangan Qana yang menewaskan anak-anak dan warga sipil adalah kejahatan perang. Didukung pula pendapat ahli hukum internasional, Avril McDonald menyatakan Israel bisa dicap sebagai pelaku kejahatan perang di Qana, Libanon, karena mereka telah tidak memilah atau membedakan sasaran –yang mengakibatkan anak-anak dan warga sipil menderita korban tewas dan luka-luka.

Jauh sebelum serangan Israel pada anak-anak di Qana, pada tahun 1974, Majelis Umum PBB mengesahkan “The Declaration on the Protection of Women and Children in Emergency and Armed Conflict” (Res. 3318 (XXIX)). Deklarasi ini memberikan perlindungan kepada anak dan perempuan, yakni dari serangan dan pemboman, menggunakan senjata kimia dan bakteri, memenuhi semua konvensi dan semua instrumen internasional, semua usaha untuk menghindari penderitaan anak dan perempuan dalam perang, dan seterusnya.

Sepatutnya PBB mengusut, melakukan respon keras dan menyeret Israel dalam kepatuhan total pada mekanisme PBB melindungi anak-anak dalam perang sekalipun.

Sebagai komisi independen perlindungan anak yang menjunjung hak-hak universal anak, logis saja Komnas Perlindungan Anak berkepentingan menyuarakan hak-hak anak korban perang, dan mendesak Indonesia lebih proaktif mengambil partisipasi. Mengapa? Karena perang telah merusak peradaban dan masa depan anak-anak. Cermatilah data dan informasi berikut ini.

Dari beberapa laporan, konflik bersenjata (armed conflict) berdampak buruk dan permanen kepada anak-anak di seluruh dunia. Badan PBB untuk anak-anak, UNICEF, dalam “State of the World’s Children 1996”, melaporkan dalam periode 1985 – 1995 konflik bersenjata telah mengakibatkan dampak buruk dan permanen pada anak-anak.

Melanie Gow dalam “The Right to Peace – Children and Armed Conflict”, memaparkan 2 juta anak-anak terbunuh, 6 juta mengalami luka seius atau cacat permanen, 12 juta kehilangan rumah (homeless), 1 juta anak menjadi yatim piatu atau terpisah dari otangtuanya, 10 juta menderita trauma psikologis yang serius sebagai dampak perang, 300 ribu anak menjadi serdadu. Sekitar 90 % korban perang adalah masyarakat sipil, utamanya anak dan perempuan. Separuh dari 21 juta pengungsi di seluruh dunis adalah anak-anak, dan setiap tahun antara 8.000 dan 10.000 anak-anak korban ranjau darat (landmines).

Apalagi, dewasa ini perang menggunakan teknologi moderen, sehingga resiko yang membayangi anak-anak semakin kuat. Anak perempuan juga direkrut. Kendati mereka cenderung dipakai untuk memasak atau bahkan “melayani” serdadu di basis. Mereka juga dipergunakan dalam berperang. Misalnya, bekas serdadu anak (perempuan) Kolumbia yang direkrut pada usia 13 tahun biasa menggunakan pistol, AK-47, M-16, R-15, Magnum 357.

Kekerasan semua hak anak

Perang atau konflik bersenjata bukan arena dan domein bagi anak-anak. Akibatnya, dari survey yang dilaporkan pada Majelis Umum PBB, perang pasti menjadi kekerasan setiap hak dari setiap anak. “War violates every right of a child – the right to life, the right to be with family and community, the right to health, the right to development of the personality and the right to be nurtured and protected”.

Seperti peristiwa serangan keji Israel di Qana, Labanon Selatan, anak-anak yang bukan bagian permusuhan itu, mati muda dibombardir pasukan agresor Israel. Perang itu telah mencabut hak hidup anak-anak, hak untuk bersatu dengan keluarga, hak atas pengembangan, hak privasi, hak untuk terlindungi dari kekerasan dan agresi.

Dalam kaitan dengan hak hidup (right to life), baik oleh Konvensi PBB tentang Hak Anak (KHA) maupun oleh hukum humaniter internasional, mengakui hak hidup sebagai hak yang tidak dapat diabaikan. Hak hidup ini, dalam wacana instrumen/konvensi internasional merupakan hak asasi yang universal, dan dikenali sebagai hak yang utama (supreme right). Senada dengan itu, dalam hukum humaniter internasional dikenal pula beberapa hak yang tidak boleh dicabut dalam keadaan apapun, yakni hak hidup (le droit de la vie), dan hak atas integritas fisik dan moral. Hak dimaksud harus dilindungi dalam segala keadaan.

Itulah sebab mengapa melindungi anak-anak korban serangan Israel di Qana, bukan sekadar kejahatan biasa, namun sudah merupakan serangan yang serius terhadap kemanusiaan. Hak hidup yang dijamin dan dilindungi secara universal, telah berakhir diujung mesin perang Israel.

Melindungi anak-anak dari kekerasan, agresi dan bombardir produk permusuhan orang dewasa di sekitar anak, adalah tanggungjawab dan kewajiban kemanusiaan. Meraka bukan peserta perang, mereka bukan bagian permusuhan, mereka non combatan. Jaminlah mereka sebagai zona netral dan kawasan damai. Anak-anak adalah putra-putri kehidupan yang menentramkan.

Oleh : Muhammad Joni, opini ini pernah dimuat harian Republika, saat itu menjabat Wakil Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak; dan Managing Partner Joni & Tanamas

Leave a Reply