Analisa Hukum Kritis Ayat lantai Rumah
Rumus berbelanja yang bijak itu sederhana, membeli yang dibutuhkan dan sesuai kemampuan. Itulah perilaku pasar yang rasional dan berhasil. Andai membeli di luar kemampuan atau karena keterpaksaan atau tiada pilihan lain, itulah bentuk kegagalan pasar (market failure).
Jika Anda mempunyai rencana keuangan ketat, tentu sensitif dengan harga alias kemampuan finansial untuk memenuhi kebutuhan secara rasional. Sebaliknya, perilaku konsumen yang membeli di luar kemampuan finansial, tentu mempunyai sebab musabab eksternal yang mempengaruhi.
Tamsilnya kira-kira seperti ini. Seorang karyawan di tepi Jakarta yang mampunyai anggaran perjalanan rutin dengan bus kota menuju kantornya di kawasan bisnis Kuningan, tentu akan waras tak menyewa taksi setiap hari. Tak pula masuk akal regulasi melarangnya naik angkutan kota apapun. Tak perlu ada hukum birokrasi menghadang perilaku bijak itu, tidak pula masuk akal tatkala regulasi melarangnya naik angkutan kota apapun. Andai logika ini dilanjutkan, maka tidak logis melarang membeli atau membangun rumah dengan luas lantai berapapun asalkan sesuai jangkauan dan kebutuhan. Sesuatu yang logis itu bersifat universal.
Tipe hukum yang membatasi seperti hal diatas termasuk hukum birokratis (bureaucratic law) atau hukum regulasi (regulatory law), yang menurut Roberto M. Urger sebagai “hukum tidak memiliki karakteristik universal kehidupan sosial” [Roberto M. Urger, “Teori Hukum Kritis – Posisi Hukum dalam Masyaakat Modern”, Nusa Media, Bandung, 2008, hal. 65]. Hukum itu harus waras alias logis dan terefleksi sebagai perilaku termasuk pasar. Hukum diakui sebagai sistem norma yang mengutamakan “norm and logic” (Austin dan Kelsen), akan tetapi norma akan kehilangan makna apabila tidak terwujud sebagai sistem perilaku, sehingga antara norma dan perilaku mesti mempunyai relasi interaksionis [Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M., “Teori Hukum Integratif – Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif”, Genta Publishing, Yogjakarta, 2012, hal. 103].
Apabila tidak terjadi relasi interaksionis antara sistem norma dengan sistem perilaku, maka hukum yang dimaksudkan kehilangan makna sebagai sarana rekayasa sosial dan pembangunan manusia. Norma hukum sedemikian bisa jadi terjerumus sebagai penyamaran kepentingan politik (law is politics in disguise) yang merugikan hak-hak subjek hukum.
Tidak ada norma, logika, perilaku maupun nilai yang menolak dalil bahwa rumah sebagai tempat hunian adalah kebutuhan dasar bagi rakyat di setiap strata sosial dan segenap penjuru dunia. Tepat jika dikualifikasi sebagai hak universal yang merupakan kebutuhan dasar 3 (tiga) serangkai, pangan, sandang dan papan, hal mana diakui dalam konsiderans maupun Penjelasan Umum UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Kua juridis-konstitusional, hak bertempat tinggal merupakan hak konstitusional (constitutional rights) yang diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945serta telah pula dihormati dan diakui sebagai hak asasi manusia (human rights) yang diatur dalam hukum positif, maupun dalam instrumen hak asasi manusia (HAM) internasional.
I. Rumah sebagai Hak Asasi Manusia Untuk Semua
Dalam kebudayaan manapun, tidak terbantahkan rumah sebagai tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar manusia, yang kemudian diformulasi sebagai hak setiap orang untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau (adequate and affordable shelter for all) [Lihat Konsideran “Menimbang” huruf b dan d UU Nomor 1/2011 yang menggunakan frasa “layak dan terjangkau”].
Hak atas rumah sebagai tempat tinggal menjadi hak semua orang (for all), yang berarti diberikan kepada “setiap orang” sebagaimana frasa dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, Pasal 40 UU Nomor 39/1999 dan konsideran “Menimbang” huruf a UU Nomor 1/2011. Dengan demikian pemenuhan hak atas rumah tidak semestinya memiliki norma pembatasan (restriction) yang tidak lain adalah diskriminasi terhadap rakyat ataupun subjek hukum dalam hal perlindungan dan pemenuhan hak atas rumah sebagai tempat tinggal.
Berdasarkan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, pengakuan hak konstitusional atas rumah sebagai tempat tinggal diakui eksplisit, sebagaimana berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Sebagai hak asasi manusia (HAM), hak bertempat tinggal juga eksplisit pada Pasal 40 UU Nomor 39/1999 yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”. Selanjutnya konsideran “Menimbang” huruf a UU Nomor 1/2011 menggunakan frasa “…setiap orang berhak …bertempat tinggal”.
Dari ketiga rujukan hukum tersebut, norma hukumnya adalah mengakui (recognized), melindungi (protected), menjamin (ensured), dan tentunya memenuhi hak bertempat tinggal sebagai hak dan melekat kepada setiap orang.
Pemenuhan hak atas rumah sebagai tempat tinggal sebagai kewajiban Pemerintah selaku eksekutif yang menjalankan Undang-undang. Oleh karena itu, pemenuhan hak atas rumah tentu wajib kepada setiap orang, bukan hanya bagi kelompok tertentu saja dan mengucilkan (exclution) kelompok lain. Jika hal itu terjadi menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan, dan kua juridis hal itu bertentangan dengan asas “keadilan dan pemerataan” yang diakui dalam Pasal 2 huruf b UU Nomor 1/2011.
Konsep hak-hak insani, yang dikenal umum sebagai HAM, dalam pendapat al Ghazali menyebutkan al-Kulliyat/al-Maqashid al-Khamsah, atau 5 (lima) hak-hak dasar universal, yaitu (1) berhubungan dengan perlindungan jiwa dan tubuh (Hifdz an-Nafs); (2) berhubungn dengan perlindungan akal (Hifdz al-Aql); (3) perlindungan atas agama/keyakinan (Hifdz ad-Din); (4) perlindungan atas harta benda (Hifdz al-Mal); (5) perlindungan atas kehormatan dan keturunan (Hifdz al-Irdl wa al-Nasl) [Lihat Masdar Farid Mas’udi, “Syarah Konstitusi UUD 1945 Dalam Perspektif Islam”, Pustaka Alvabet dan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), Jakarta, 2011, hal. 141-142].
Dalam teori hukum Islam, kelompok hak-hak insani tersebut dikelompokkan 3 (tiga) tingkatan, yakni pertama hak-hak yang bersifat dlarury(primer/dasar) yakni hak yang jika tidak dipenuhi atau diingkari bisa berakibat kebinasaan, misalnya hak atas pangan, papan dan sandang pada tingkat primer, subsisten, yang jika tidak dipenuhi bisa mengakibatkan kematian. Memenuhi hak primer ini bersifat wajib atau mutlak, menyangkal hak primer ini hukumnya haram dengan sanksi hukum yang optimal.
Akan tetapi, dalam pemenuhan hak atas rumah sebagai tempat tinggal, UU Nomor 1/2011 lebih menitikberatkan regulasinya terhadap kelompok masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR. Dikaitkan dengan pemenuhan hak bertempat tinggal sebagai HAM dan hak konstitusional bagi setiap orang, maka terdapat norma hukum yang membedakan “setiap orang” yang kemudian dikerucutkan hanya kepada MBR, yang secara ekonomis lebih beruntung dari warga miskin. Hal ini muncul dalam ketentuan Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1/2011 yang berbunyi “Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR”.
Dalam kaitan dengan ketentuan Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1/2011 yang berlaku bagi kelompok MBR saja, tentunya tidak termasuk kelompok lebih tidak mampu atau warga miskin. Andai dilakukan klasterisasi masyarakat Indonesia menurut pendapatannya, terbagi atas 3 (tiga) kelompok, yaitu (a) masyarakat berpenghasilan menengah (MBM) dengan penghasilan antara Rp.2,5 s.d 4,5 juta, sekitar 10% s.d 20%; (b) masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan penghasilan antara Rp.1 juta s.d kurang Rp.2,5 juta, sekitar 20% s.d 30%; (c) masyarakat miskin dengan penghasilan kurang Rp. 1 juta, sekitar 60% s.d 70% [Zulfi Syarif Koto, “Politik Pembangunan Perumahan di Era Reformasi – Siapa Mendapat Apa?”, LP3I dan Housing and Urban Development Institute (HUD), Jakarta, 2011, hal. 109].
Oleh karena Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1/2011 hanya mengikat Pemerintah untuk memenuhi hak atas rumah bagi kelompok tertentu saja, yakni kelompok MBR. Pemerintah tidak wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi warga masyarakat yang tinggal di tempat yang tidak layak dan manusiawi atau warga miskin yang jumlahnya masih besar di Indonesia. Dengan demikian, ada kelompok warga masyarakat selain kelompok MBR yang tidak dapat memperoleh hak atas rumah.
Keadaan ini pembatasan dan pengucilan yang merupakan diskriminasi dalam norma hukum. Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan perkara Nomor 14/PUU-X/2012, berpendapat bahwa diskriminasi terjadi pada warga masyarakat apabila “membeda-bedakan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan, atau membeda-bedakan kewajiban warga negara untuk menjunjung hukum dan pemerintahan”.
II. Kritik Hukum atas Norma Ayat Lantai Rumah
Tulisan ini menelaah secara kritis norma hukum Pasal 22 ayat 3 UU Nomor 1/2011 yang berbunyi, “Luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi”. Ketentuan Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011, yang disebut saja ayat lantai rumah itu secara normatif merupakan substansi hukum (legal substance) yang berlaku kepada subjek hukum, baik orang perorangan maupun badan usaha/badan hukum dan tentunya Pemerintah. Ketentuan ayat lantai rumah itu mengikat sebagai hukum positif dan menjustifikasi pembatasan kuantitatif luas lantai rumah dan berlaku secara limitatif hanya untuk lantai rumah tunggal dan rumah deret, dengan ukuran sekurang-kurangnya 36 meter persegi. Mengacu kepada ketentuan Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2001, menimbulkan beberapa pembatasan dan pengucilan, yakni Pembatasan luas lantai rumah hanya berlaku bagi rumah tunggal dan rumah deret paling sedikit 36 meter persegi. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011, berimplikasi kepada:
(a) tidak diperkenankan membangun rumah tunggal dan rumah deret dengan luas lantai kurang dari 36 meter persegi, seperti rumah tipe 18, tipe 21, ataupun tipe 27. Padahal rumah-rumah tipe sedemikian, secara faktual masih dibutuhkan warga masyarakat MBR.
(b) menghambat inisiatif memiliki atau membangun rumah sendiri atau swadaya, yang kemudian membangunnya secara terus menerus atau terus tumbuh sesuai jangkauan dan kemampuan. Sebaliknya, secara teknis rumah susun tidak bisa dikembangkan menjadi/seperti halnya rumah tumbuh, sehingga muncullah ketidakadilan dalam norma hukum Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011. Untuk menghindari ketegangan dan adanya hambatan bagi kelompok MBR memperoleh rumah, Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 tak semestinya dinormakan ke dalam Undang-undang, karena sudah diakomodasi dalam/sebagai regulasi teknis-administratif mengenai rumah tumbuh. Regulasi rumah tumbuh itu mencakup pengaturan luas lantai rumah yang mungkin saja tidak seragam atau berbeda-beda sesuai kebutuhan dan kondisi daerah, indeks kemahalan konstruksi (IKKt) dan indeks kemampuan konsumen (IKKn).
(c) dengan pemberlakuan ayat lantai rumah itu, menghambat akses MBR membeli rumah sehingga mengakibatkan defisit perumahan atau backlogmeningkat yang semula 13,6 juta unit rumah diperkirakan melonjak menjadi 48,96 juta unit rumah [Investor Daily, 7 Agustus 2012]. Ketentuan ayat lantai rumah itu juga mengakibatkan eskalasi harga jual kepada kelompok MBR, sehingga tak terjangkau daya beli kelompok MBR.
Secara praktis, perlu dilakukan analisis menggunakan studi hukum kritis (critical legal studies) atas substansi hukum yang memberikan pembatasan luas lantai rumah untuk rumah tunggal dan rumah deret sebagaimana Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 tersebut. Dengan penormaan Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 tersebut, secara faktual dan sosiologis tidak logis karena memahami rumah seperti personal computer atau laptop yang harus siap secara keseluruhan sebelum dipergunakan, dan karenanya tidak sesuai dengan kenyataan masyarakat ataupun MBR yang masih sulit menjangkau hak atas rumah. Bahkan masih banyak yang tidak mempunyai tempat tinggal (homeless), tinggal di tempat yang tidak lazim dan tidak manusiawi.
Pembentukan ayat lantai rumah dalam UU Nomor 1/2011 yang dimaksudkan sebagai hukum yang menjadi sarana rekayasa sosial (law as tool of social enginerring) bagi pembangunan manusia Indonesia, namun penormaan ayat lantai rumah dalam Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 telah menyingkirkan kelompok masyarakat tertentu yakni MBR dari akses memperoleh rumah. Pembuatan dan penerapan hukum yakni norma Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 yang secara legal-formil dianggap sebagai sarana pembangunan perumahan nasional, namun menghalangi kelompok MBR dan warga miskin memperoleh rumah. Maksud pembentukan hukum sebagai sarana pembangunan telah bergeser, yang menurut teori hukum progresif telah berubah menjadi “dark-enginerring” seperti pendapat Podgorecki dan Olati yang dikutip Satjipto Rahardjo. [lihat Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M., “Teori Hukum Integratif – Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif”, Genta Publishing, Yogjakarta, 2012, hal. 78].
Ketentuan Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 yang membatasi kelompok MBR dan warga miskin memiliki dan membangun rumah dengan luas lantai kurang dari 36 meter persegi, yang berarti adanya ketidaksesuaian antara kebutuhan dan kemampuan sebagai bentuk perilaku masyarakat dalam relasi terhadap rumah dengan norma hukum Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 itu sendiri.
Keadaan ini menimbulkan resiko yakni norma hukum yang tidak efektif dijalankan. Menurut Antony Allot hal itu disebabkan adanya kemungkinan konflik antara arah dan tujuan legislator dengan kebiasaan sosiologis masyarakat (nature of society), dan terjadi kesenjangan antara masyarakat moderen (modern society) dengan masyarakat adat (customary society) [lihat Antony Allot, “The Effectiveness of Law”, dalam Valparaiso University Law Review, Vol. 15, Winter 1981], atau seperti pendapat Romli Atmasasmita, dikarenakan tidak adanya relasi interaksionis antara norma hukum dengan norma kebiasaan sehingga kehilangan makna walaupun ketentuan itu secara legal-formil disahkan sebagai norma Undang-undang.
Perbedaan antara apa yang merupakan norma hukum dengan perilaku masyarakat, secara sosiologi hukum diidentifikasi sebagai indikasi adanya ketegangan sehingga terjadilah hukum yang tidak efektif dan tidak bisa dijalankan. Hukum yang tidak bisa dijalankan itu berkenaan dengan dan disebabkan tidak adanya relasi interaksionis antara sistem norma (system of norm) dengan sistem perilaku (behavior system). Artinya, norma hukum tidak berhasil diterapkan dalam perilaku masyarakat dan realitanya menghambat target birokrasi.
Menurut Yehezkel Dror, adanya kesenjangan antara perilaku sosial masyarakat dengan norma hukum, menciptakan ruang ketegangan (tention), sehingga perlu penyesuaian dengan norma yang baru [Yehezkel Dror, “Law and Social Change”, dalam Vilhelm Aubert (Editor) “Sosiology of Law”,Penguins Books Ltd., Harmondsworth, Middlesex, England, 1969, hal.90]. Salah satu bentuk ketegangan itu terlihat dengan adanya kritik, keberatan masyarakat, pelaku usaha dan pakar perumahan bahkan pengujian materil (judicial review) terhadap norma Undang-undang seperti halnya pengajuan pengujian materil Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dari sisi tipe hukum, Pasal 22 ayat (3) UU nomor 1/2011 yang membuat norma pembatasan yang secara eksplisit menggunakan batasan kuantitatif berupa luas lantai rumah tunggal dan rumah deret (minimal 36 meter persegi), yang semula hanya diatur dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 403/KPTS/M/2002, sangat drastis dinormakan, di tengah defisit perumahan yang masih tinggi dan terus meningkat.
Dalam pandangan tipe hukum birokratis, hukum yang dengan sengaja dibuat membatasi secara drastis tipe rumah minimal 36 meter persegi, merupakan sifat tipe hukum birokratis atau hukum pengatur yang menjadi bagian dari wilayah administrasi terpusat, yang oleh Roberto M. Urger, hukum sedemikian disebut “bukan tercipta secara spontan oleh masyarakat” [lihat Roberto M. Urger, hal 66].
Keadaan sedemikian bisa saja menimbulkan kekuatiran spekulatif bahwa penormaan ayat lantai rumah sebagaimana Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 tergelincir menjadi tempat persembunyian kepentingan kapitalisasi kapasitas fiskal rumah yang terbungkus dalam gagasan kelayakan rumah bagi MBR, namun tidak terjangkau kelompok MBR.
A. Norma Ayat Lantai Rumah versus Asas Keterjangkauan
Dalam pemenuhan hak bertempat tinggal, UU Nomor 1/2011 menganut dan mengakui asas keterjangkauan (affordibility), yang tertuang dalam konsiderans maupun dalam asas UU Nomor 1/2011 tersebut. Asas keterjangkauan yang tertuang dalam Pasal 2 huruf e UU Nomor 1/2011 menjadi rasio legis memahami UU nomor 1/2012, termasuk ketentuan norma Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011. Asas ini secara normatif mempengaruhi dan dititiskan (derifasi) ke dalam pasal-pasal.
Kritik terhadap norma ayat lantai rumah Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 tersebut berkaitan dengan aspek keterjangkauan terhadap rumah sebagai tempat tinggal. Hak atas rumah sebagai HAM yang jika mengacu Penjelasan Komite Hak Ekonomi Sosial Budaya berkaitan Pasal 11 ICESCR mencakup pula asas keterjangkauan.
Hak atas rumah sebagai HAM merupakan kewajiban negara (state obligation) khususnya Pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, yang dilakukan dalam rangka menjamin pemenuhan hak atas rumah yang setidak-tidaknya dapat diukur dengan 6 (enam) indikator termasuk keterjangkauan. Indikator lain adalah (1) sifat kepemilikan haknya (security of tenure), (2) ketersediaan pelayanan (availability), (3) kelayakan sebagai tempat tinggal (habitability), (4) adanya peluang bagi setiap orang (accessibility), (5) kesiapan lokasi dan daya dukung budaya (location and cultural adequacy) [lihatOswar Mungkasa, “Sekilas tentang Perumahan sebagai Hak Asasi Manusia” Majalah Inforum, Kementerian Permahan Rakyat, Edisi 1 Tahun 2010, hal 20-21].
Tambahan pula, jika mengacu kepada instrumen internasional, maka komitmen sebagai masyarakat internasional yang beradab yang menandatangani Deklarasi Rio de Jeneiro, dimana Indonesia senantiasa aktif dalam kegiatan yang diprakarsai oleh United Nation Center for Human Settlements, yang kemudian tertuang pula dalam Agenda 21 dan Deklarasi Habitat II yang mengakui bahwa rumah merupakan hak dasar manusia dan menjadi hak bagi semua orang untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau.
Keterjangkauan juga menjadi asas dalam Millenium Development Goals (MDGs), instrumen yang menjadi indikator pembangunan kesehateraan manusia yang secara eksplisit mengakui indikator keterjangkuan untuk memperoleh rumah bagi semua.
Pada tataran nasional, pengakuan pada prinsip keterjangkauan tertuang dalam konsideran UU Nomor 1/2011, sebagaimana dalam konsideran “Menimbang” huruf b dan d. Tidak hanya dalam konsiderans, batang tubuh UU Nomor 1/2011 juga mengakui asas perumahan dan kawasan permukiman adalah berasaskan kepada: (b) keadilan dan pemerataan; (e) keterjangkauan dan kemudahan sebagaimana Pasal 2 UU Nomor 1/2011.
Lebih aplikatif lagi, rumusan keterjangkauan diterakan sebagai arah pembangunan jangka panjang yang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (“UU No. 17/2007”), diantaranya pada BAB IV.1.5 Butir 19, bahwa “Pemenuhan perumahan berserta prasarana dan sarana pendukungnya diarahkan pada (1) penyelenggaraan pembangunan perumahan yang …. terjangkau oleh daya beli masyarakat …”.
Secara formil asas keterjangkauan ini dan aturan mengenai luas lantai rumah bukan hal baru dalam regulasi perumahan di Indonesia, namun materi muatannya masih diatur dalam peraturan teknis dan administratif, atau belum perlu diangkat menjadi norma Undang-undang. Sebelum disahkannya UU Nomor 1/2011, asas keterjangkauan tersebut secara juridis-formil bersesuaian dengan pedoman teknis luas lantai rumah yakni Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 403/KPTS/M/2002, akan tetapi juga bersesuaian dengan aspek HAM atas rumah, termasuk indikator keterjangkauan daya beli.
Oleh karena itu, pengaturan ayat lantai rumah versi Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 yang sebelumnya hanya menjadi materi muatan Peraturan Menteri, merupakan lompatan yang terlalu jauh sehingga menciptakan ketegangan, yang berdampak pada terhambatnya akses MBR memperoleh rumah dan bahkan didalilkan mengurangi hak konstitusional bertempat tinggal yang dijamin Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
B. Rasio Legis Ayat Lantai Rumah Tidak Jelas
Pengaturan luas lantai rumah tunggal dan rumah deret sekurang-kurangnya 36 meter persegi dalam Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011, namun tidak jelas rujukan dan alasan hukum atau rasio legis-nya mengapa dinormakan menjadi minimal luas lantai 36 meter persegi, mengapa tidak 30 meter persegi, atau 21 meter persegi, atau 54 meter persegi.
Jika mengelobarosi sistematika dan konsiderans serta Penjelasan Umum UU No. 1/2011, tidak menemukan rasio legis menerakan kuantitatif 36 meter persegi, dan hanya berlaku untuk rumah tunggal dan rumah deret, namun tidak bagi rumah susun. Dari sisi materi muatan ayat lantai rumah Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 itu merupakan norma yang bersifat teknis-administratif, yang tidak memperhatikan adanya perbedaan kemampuan antar daerah, disparitas harga tanah, harga bahan bangunan dan konstruksi serta kemampuan konsumen atau daya beli MBR. Menurut Zulfi Syarif Koto, dalam penerapan luas lantai rumah semestinya merujuk pada indeks kemahalan konstruksi (IKKt) dan indeks keterjangkauan konsumen (IKKn) sebagai dua pertimbangan dalam merumuskan norma luas lantai rumah. [Zulfi Syarif Koto, “Pandangan Saksi Ahli terhadap Judicial Review Pasal 22 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Filosofis, Historis dan Teknis)”, 22 Maret 2012].
Walaupun secara juridis formil materi muatan ayat lantai rumah terangkat menjadi norma Undang-Undang, namun norma itu sulit dijalankan dan menimbulkan penurunan target pencapaian pembangunan perumahan rakyat serta eskalasi defisit perumahan alias backlog.
Selain itu, tidak ditemukan rujukan mengapa yang dijadikan faktor pembeda atau penentu dalam ukuran rumah yang boleh dibangun berdasarkan kepada luas lantai, mengapa tidak berdasarkan fasilitas kamar, kapasitas dan volume bangunan, kekuatan dan keamanan konstruksi, atau stándar fisik atau faktor keselamatan dan keamanan keamanan yang rujukannya jelas diatur dalam Pasal 38 ayat (2) UU Nomor 1/2011.
Rujukan pembangunan rumah justru sudah secara eksplisit dalam BAB V (Penyelenggaraan Perumahan), BAGIAN KEEMPAT (Pembangunan Perumahan), Paragraf 2 (Pembangunan Rumah), yang di dalam Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 1/2011 membedakan pembangunan rumah atas rumah tunggal, rumah deret, dan rumah susun. Pembangunan rumah menurut ketentuan Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 1/2011 tersebut, dikembangkan dengan berdasarkan rujukan yang jelas dan limitatif, yakni tipologi, ekologi, budaya, dinamika ekonomi pada tiap daerah, serta mempertimbangkan faktor keselamatan dan keamanan (Pasal 38 ayat (2) UU Nomor 1/2011).
Oleh karena itu, pembangunan rumah tunggal, rumah deret maupun rumah susun (Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 1/2011) dapat dikembangkan dengan mengacu kepada (a) tipologi, (b) ekologi, (c) budaya, (d) dinamika ekonomi pada tiap daerah, serta (d) mempertimbangkan faktor keselamatan dan keamanan (vide Pasal 38 ayat (2) UU Nomor 1/2011). Sama sekali tidak ada acuan berdasarkan luas lantai rumah. Selain itu, secara sistematis ketentuan Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 masuk dalam sistematika mengenai bentuk rumah (shape of house) dalam BAB V (Penyelenggaraan Perumahan), Bagian Kedua (Jenis dan Bentuk Rumah). Oleh karena itu, penormaan luas lantai rumah tersebut adalah tidak tepat karena bukan mengenai bentuk rumah namun ukuran luas lantai rumah.
Andaipun ketentuan luas lantai rumah tunggal dan rumah deret minimal 36meter persegi, namun hal tersebut bersifat relatif dan spekulatif oleh karena tergantung kepada kebutuhan dan pemanfaatan rumah sebagai fungsi hunian, yang tidak mutlak hanya dipergunakan oleh keluarga lengkap, namun bisa saja oleh pasangan baru atau orang perorangan yang menempatinya sendiri atau tunggal (vide Pasal 50 ayat (1) UU Nomor 1/2011).
Dengan demikian norma Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 menjadi kausal penghambat kelompok MBR memperoleh rumah, oleh karena meningkatnya harga jual unit rumah sejahtera tapak padahal penghasilan kelompok MBR yang masih minimal dengan kenaikan yang tidak setara dengan kenaikan harga unit rumah. Akibatnya, akses dan kemampuan membeli rumah kelompok MBR menurun. Padahal selain kelompok MBR, masih ada warga miskin yang jumlahnya masih besar.
C. Norma Ayat Lantai Rumah Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011
Bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Norma ayat lantai rumah Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011, memiliki kelemahan hukum karena menghambat akses memperoleh rumah kelompok MBR, dan karenanya norma ayat lantai rumah itu dinilai merugikan kelompok MBR atas hak atas rumah sebagai HAM dan hak konstitusional.
Secara konsitusional, hak bertempat tinggal dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Dengan diberlakukannya norma ayat lantai rumah Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011, faktual juga merupakan hambatan Pemerintah memenuhi pembangunan perumahan rakyat. Buktinya? Pemerintah mengambil kebijakan menurunkan target pembangunan perumahan rakyat dari 600 ribu unit menjadi 130 ribu unit saja [Kompas, berjudul “Target Rumah Rakyat Direvisi Lagi”, 6 Agustus 2012]. Hal ini berkaitan pula dengan melemahnya daya beli kelompok MBR, dan diikuti pula peningkatan harga rumah sejahtera tapak. Kausal dari semua itu adalah norma ayat lantai rumah Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 yang menjadi acuan Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 13 Tahun 2012.
Pelaku usaha dalam bidang perumahan rakyat yang tergabung dalam Asosiasi Perumahan dan Kawasan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) memperkirakan bahwa adanya ayat lantai rumah Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 tersebut menjadi kausal melorotnya prestasi perumahan rakyat yang ditandai dengan meroketnya defisit perumahan atau backlog yang semula 13,6 juta menjadi 48,96 juta unit rumah [Investor Daily, 7 Agustus 2012].
Untuk mempertahankan hak konstitusional bertempat tinggal yang dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, Dewan Pengurus Pusat APERSI mengajukan permohonan pengujian materil atas Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam permohonan pengujian materil atas Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 tersebut, Dewan Pengurus Pusat APERSI menyusun dan mengajukan beberapa alasan dalam positanya yakni:
- Ada sejumlah 57 juta penduduk miskin dan hampir miskin, tidak mempunyai rumah serta jumlah kelompok MBR yang besar namun belum mempunyai rumah yang layak.
- Masih meluas dan besarnya kelompok marginal yang bertempat tinggal tidak manusiawi.
- Kenaikan harga rumah yakni Rumah Sederhana (RS) dan Rumah Sangat Sederhana (RSS) sekitar 1500 persen dalam kurun 1997/1998 s.d 2009/2010.
- Pemilik tanah dengan luas kecil tak dapat membangun rumah.
- Persyaratan luas lantai 36 meter persegi menaikkan komponen harga tanah dalam membangun rumah, dan tak terjangkau kelompok MBR.
- Daya beli kelompok MBR stagnan namun harga rumah meningkat dengan adanya syarat luas lantai minimal 36 meter persegi.
- Efek domino timbulnya hambatan hak atas rumah termasuk tidak diterbitkannya Ijin Mendirikan Bangunan (IMB).
- Resisten bagi target nasional pembangunan perumahan untuk MBR.
- Tidak aplicable dan tidak feasible dan inkonsisten dengan/untuk kebijakan pembebasan PPN.
- Memicu semakin tinggi akumulasi dan eskalasi backlog.
- Memicu semakin luas lingkungan permukiman kumuh dan menghambat akses memperoleh rumah.
- Menciderai HAM untuk memperoleh tempat tinggal atau rumah.
Persidangan atas permohonan pengujian materil itu berlangsung panjang, yang secara kualitatif mengerucut kepada perbedaan pandangan dalam aras keterjangakauan ataukah aras kenyamanan yang dipakai sebagai rasio legis dalam ayat lantai rumah Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011, tentunya dengan memperhatikan realitas sosial kebutuhan dan kemampuan kelompok MBR.
Dalam pertimbangan perkara Nomor 14/PUU-XII/2012, MK mengutamakan keterjangakauan MBR memperoleh rumah, sebagaimana pertimbangannya “Terkait dengan syarat keterjangkauan oleh daya beli masyarakat, terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah, menurut Mahkamah, Pasal 22 ayat (3) UU 1/2011, yang mengandung norma pembatasan luas lantai rumah tunggal dan rumah deret berukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi, merupakan pengaturan yang tidak sesuai dengan pertimbangan keterjangkauan oleh daya beli sebagian masyarakat, terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah”.
Terhadap permohonan pengujian materil Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 yang diajukan DPP APERSI tersebut, MK telah membuat putusan dengan pokok-pokok pertimbangannya berkenaan dengan:
- Hak bertempat tinggal sebagai HAM dan hak konstitusional setiap orang [Pasal 28H ayat (1) UUD 1945], adalah untuk merealisasikan tujuan negara “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia”.
- Penyelenggaraan pembangunan perumahan merupakan upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia.
- Wajar dan bahkan keharusan, pembangunan perumahan memenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain, syarat kesehatan dan kelayakan serta keterjangkauan oleh daya beli masyarakat, terutama MBR.
- Pasal 22 ayat (3) UU 1/2011 mengandung norma pembatasan luas lantai rumah tunggal dan rumah deret berukuran paling sedikit 36 meter persegi, tidak sesuai dengan pertimbangan keterjangkauan daya beli sebagian masyarakat, terutama MBR;
- Melarang membangun rumah tunggal atau rumah deret yang ukuran lantainya kurang dari ukuran 36 meter persegi, berarti menutup peluang masyarakat yang daya belinya kurang atau tidak mampu;
- Daya beli masyarakat, harga tanah, biaya konstruksi dan bahan berbeda. Menyeragamkan luas ukuran lantai secara nasional tidaklah tepat.
- Hak milik pribadi [Pasal 28H ayat (4) UUD 1945] juga adalah salah satu HAM. Suatu tempat tinggal, misalnya rumah, dapat berupa rumah sewa, dapat juga berupa rumah milik pribadi.
Dengan pertimbangan sedemikian rupa, selanjutnya MK membuat putusan dengan amar berbunyi sebagai berikut:
“Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
1.1. Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2. Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya”;
Berdasarkan pertimbangan MK diatas, jelas mengutamakan pertimbangan asas keterjangkauan sebagai rasio-legis dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan, sehingga berpendapat Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 bertentangan dengan hak konstitusional bertempat tinggal Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
III. Diskusi
Pembangunan perumahan rakyat sebagai waajud dari HAM dan hak konstitusional, tidak dapat dihalangani dengan norma hukum yang membatasi akses dan keterjangkauan atas rumah. Beberapa pokok pemahanan mengenai pemenuhan hak atas rumah sebagai hak bertempat tinggal, antara lain:
- Hak atas rumah sebagai hak konstitusional dan HAM tidak dengan serta merta bisa dibawa dan digiring sebagai wilayah privat atau takluk kepada kebebasan berkontrak yang menjadi asas dalam hukum perjanjian, namun diarahkan oleh nilai-nilai yang secara konstitusional sudah digariskan dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, dan alinea IV Pembukaan UUD 1945;
- Hak atas rumah sebagai hak konstitusional dan HAM diberikan kepada setiap orang (for all) terutama memenuhi kebutuhan rumah tempat tinggal bagi warga masyarakat yang tidak beruntung yang tidak memiliki rumah dan yang tinggal ditempat tidak manusiawi, sehingga Pemerintah berkewajiban memberikan intervensi penyediaan tempat hunian.
- Andai penyelanggaraan pembangunan perumahan mengabaikan unsur rumah untuk semua dengan adanya norma pembatasan dan pengucilan, bukan saja mengabaikan hak konstitusiaonal bertempat tinggal Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 namun akan mengelincir kepada diskriminasi. Oleh karena itu perlu memeriksa konstitusionalitas norma-norma UU Nomor 1/2011 dalam kaitan hak bertempat tinggal untuk semua, khususnya rumah umum;
- Pembatasan luas lantai rumah tunggal dan rumah deret dapat dirumuskan secara berbeda-beda menurut daya beli, harga tanah, indeks kemahalan konstruksi, indeks kemampuan konsumen antar daerah sesuai perkembangan waktu. Sehingga pengaturan luas lantai rumah bisa lebih lentur, teknis dan administratif karena itu luas lantai rumah tidak dimasukkan ke dalam materi muatan Undang-undang.
- Pembangunan perumahan rakyat sebagai HAM dan hak konstitusional, utamanya kepada warga miskin dan kelompok MBR, tidak relevan jika hanya diletakkan dalam kerangka pembiayaan yang bersifat murni bisnis, namun dengan mengedepankan pula kebijakan affirmatif seperti bantuan langsung atau subsidi kepada warga miskin dan MBR, misalnya atas uang muka, beban bunga ataupun bantuan parasana, sarana dan utilitas yang bermutu.
IV. Penutup
Walaupun sebagai hak konstitusional dan HAM, rumah juga merupakan sarana dan medium membangun keluarga bahagia, yang secara bersamaan di tempat itu pula otentisitas dan kualitas keluarga dibangun. Anak-anak yang tumbuh dalam rumah yang menjadi “surga”, bisa mendorong tumbuhnya tunas bangsa. Seperti halnya para pendiri bangsa (founding fathers) menggagas dan mendirikan negara Indonesia, maka sensitifitas, kapasitas dan hasrat itu dimulai dari rumah sendiri. Rumah menjadi pot membenihkan kebangsaan.
Wassalam.