Andai Kota-Kota itu Bernyawa, Tak Cukup Transformasi 40 Kota
Bakda zuhur, walau terik di luar matahari mulai tergelincir. Pemandangan lalu lintas pengakhir Desember 2023 masih ramai. Patik asyik mengedit kata demi kata, menginjeksi gizi-cum-tenaga, mendandani kalimat dari layar smartphone, membuatnya seakan bernyawa. Ini bukan opini pertama soal kota, bermula dari sajian fasilitas gizi debat Calon Wakil Presiden ikhwal pembangunan kota.
Debat selesai. Hidup kudu berlanjut. Ruang spasil itu mahal, dan diperebutkan sebagai kapital. Tapi hidup lebih jauh berharga lagi. Demi merawat hidup, warga meransek kota.
Konsisten, kota semakin mengkota. Bonus demografi nanti hendak diapakan? Urbanisasi yang tidak terkontrol. Penghuninya berebut oksigen dengan kenderaan yang ditumpanginya sendiri. Limbahnya CO2. Yang jahat merusak udara lingkungan kota lama ataupun baru, yang merampas kesehatan pernafasan dan organ paru-paru yang ajaib dan tak tergantikan mesin. Paru-paru kota yang sekarat, penghijauan datang menyegarkannya. Paru-paru pepohonan kota itu bukan hanya metaphor, tetapi bukti empiris bahwa kota itu bernyawa, idemditto dan koeksistensi dengan penghuninya. Tak hanya ajakan pohon kota dan peduli kita, apa ikhtiar kebijakan negara dan insentif dari helat elektoral pemilu untuk mendokterkan kota-kota?
Nyawa kota kudu berkelanjutan. Kesehatan warganya adalah aset kota. Postulat WHO, ‘The most important asset of any city is the health of its people..’. Eureka, semua kota kudu dilayakkan, apapun jenis dan tipenya, bukan hanya 40 kota saja. Menjadikan kota-kota yang berkecukupan oksigen, air, tanah, dan bernyawa –yang menghidup-hidupkan organisme kota yang memanusiakan manusia. Menjadi kota manusia yang berkelanjutan.
Dalil yang mengembangkan 40 kota berkelanjutan, ahaa: itu transformasi kebijakan negara yang menghentak. Juga bijak. Tenan menjawab keadaan kota rentan dengan transformasi kota berkelanjutan; sinomim dari perubahan. Sebagai efek kejut pentingnya tranformasi pengembangan kota yang memanusiakan warganya. Walaupun kota bukan hanya untuk kota. Tapi, membangun kota untuk manusia.
Itu keniscayaan zaman, sejurus dengan kebutuhan dasar yang humanis, merawat nyawa juncto kehidupan bermakna; bukan dituding keganjilan. Malah, itu hal ikhwal yang konstitusional jika hendak menakwil hak setiap orang bertempat tinggal dengan lingkungan yang sehat versi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Ketiga komponen utama itu: orang (makhluk hidup), tempat tinggal, dan lingkungan sehat, bersenyawa menjadi hunian mengkota yang layak huni. Ijinkan saya nekat menyebutnya konstitusi perkotaan.
Mari periksa dengan mengaktivasi hati yang lapang dan akal nirbatas. Benarkah kota-kota di Indonesia berkembang tanpa perancangan kota berkelanjutan dan tanpa perlindungan Undang-undang (UU)? Narasi maupun dalil itu bisa benar dalam skala sempurna. Mengapa? Sebab kota-kota dunia berkembang tanpa pola, dan tren mengkota masih menyisakan ini: kesenjangan, penyisihan, perebutan ruang, kekumuhan akut, rumah tidak layak huni, polusi udara, air bersih kurang, akses mobilitas dan transportasi publik massal yang payah.
Alhasil, kesehatan perkotaan menjadi isu besar yang terlupakan. Bahkan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan pun alpa dengan kesehatan perkotaan. Sementara polusi udara, air bersih adalah kebutuhan dasar manusia hidup di kota untuk mendokterkan kesehatan kota.
Aset paling penting dari kota adalah kesehatan warganya. Kota pun bernyawa dengan jaminan kesehatan warganya. Kiranya, mengembangkan 40 kota berkelanjutan, setarikan nafas dengan urusan kebutuhan dasar: kesehatan, perumahan, lapangan kerja, dan pendidikan!
Beban Komorbid Kota
Kota-kota yang mengkota tak terkendali, jika nihil intervensi kebijakan strategis nasional perkotaan– bakal menjadi kota yang ringkih: tidak efisien, penghisap waktu luang, dan terhimpit beban-beban sosial pun struktural. Literatur utama dan instrumen kebijakan badan dunia mewanti-wanti resiko urbanisasi, tepatnya urbanisasi yang tidak produktif, yang menjadi beban. Bahkan resiko perubahan iklim yang sengatannya mengancam kulit warga.
Mengambil tamsil kota seperti organisme yang bernyawa: lahir, tumbuh, kembang, dewasa, renta, dan mati, maka kota-kota berhak disehatkan. Dari urbanisasi tidak produktif dan tak terkontrol; perlu diintervensi dengan agenda baru perkotaan. Menurut data, urbanisasi di Indonesia masih runyam bahkan beban. Sebab kurun 20 tahun (1996-2016), eskalasi 1% tingkat urbanisasi ditakwil sebagai kausal peningkatan PDB per kapita 1,4% saja. Bandingkan negara-negara Asia-Pasifik mencapai lebih tinggi: 2,7%. Tiongkok malah 3,0%.
Menghadapi degeneratif kota yang padat beban dan rentan dengan patologis ini: gap sosial dan kesenjangan ekonomi. Yang makin menambah berat beban lingkungan, patologi sosial, indeks kenyamanan hidup, bahkan sembraut persilangan sektoral “kabel” jaringan birokrasi yang tumpang tindih membebani detak nyawa kota.
Diprediksi, kota-kota bakal menjadi ruang spasial hunian terbesar warga dunia. Menurut data PBB (2015), pada tahun 2030 sekira 5,06 miliar orang atau 60% tinggal di perkotaan. Tahun 2045: 6,03 miliar orang atau 64,8%. Diperkirakan pulau Jawa menjadi Kota Jawa yang terkoneksi, a.k.a. aglomerasi. Kontras dengan klaim Jan Wissemenn Christie yang menggambarkan penduduk Jawa masa lalu dalam tulisan berjudul ‘Negara Tanpa Kota’ (State Without City) (1991) dalam jurnal terbitan Universitas Cornell yang merujuk sensus Rafless merekam penduduk Jawa.
Merekam beban-beban komorbid tubuh kota, tren mengkota yang tak terkontrol, urbanisasi yang tak produktif, namun pilihan solusinya tidak banyak, walau sudah tersedia. Yang kini menjadi pilihan agenda global adalah transformasi pengembangan kota. Menjadi kota yang berkelanjutan dengan masyarakat: sustainability cities and communities. Begitu salah satu capaian ke 11 SDGs (sustainability development goals).
Ikhwal SDGs #11 itu bukan barang baru yang justru mengajak kepada peradaban kota yang dinikmati semua, yang dikenali sebagai cities for all.
Karena itu, dengan situasi komorbit juncto degeneratif, kota-kota bertahan dengan sengkarut beban; jangan malah ditinggalkan. Dibiar-biarkan renta. Apalagi dalam situasi saat ini Indonesia tak memiliki UU Pembangunan Perkotaan.
Pilihannya justru meremajakan kota, memperbaruinya dan patut mengembangkan kota-kota berkelanjutan. Yang menjadi episentrum urban ekonomi pun episentrum urban happiness.
Di sela menuntaskan opini ini, masuk telpon dari Zulfi Syarif Koto, Ketua The HUD Institute yang menulis buku ‘Ekonomi Politik Program Sejuta Rumah’ (2020) dan ‘Politik Pembangunan Perumahan Rakyat di Era Reformasi – Siapa Mendapat Apa’ (2011). Bicara sebentar, apalagi kalau bukan soal perumahan. Amba terkenang pesan abadi Pak HUD –sebutan Wapres Jusuf Kala untuk Ketua HUD Institute itu. Interupsi sebentar, Zulfi Syarif Koto itu anak Medan, jebolan Planologi ITB angkatan 1970, mantan deputi perumahan formal era Menteri Perumahan Rakyat M. Yusuf Asy’ari, dan alumni HMI –yang seakan anak Kampung Aur tepi Sungai Deli itu lahir untuk perumahan. Dia acap mengingatkan pentingnya membayar amanat konstitusi ikhwal perumahan rakyat. Bukan titik sampai di situ, namun Pak HUD menyambungkan perumahan rakyat dalam aras pembangunan perkotaan, bukan memisahkannya.
Disini hendak diusung postulat bahwa pembangunan perkotaan bersenyawa dengan pengembangan kawasan perumahan yang layak, terjangkau, untuk semua. Perumahan bukan hanya fisik bangunan rumah tanpa akses dan lingkungan sehat. Walau de facto, perumahan itu bagai mosaik utama pembentuk kota.
Koq mosaik? Jika merujuk instropeksi skala benggala dari Tjuk Kuswartojo, hak itu karena kawasan perumahan acap berkembang acak tanpa pola dan bimbingan perencana kota yang otentik, maka hamparan perumahan tumbuh beragam bak kepingan mosaik-irreguler.
Walaupun begitu, sudah tepat garis kebijakan pembangunan kawasan perumahan dalam konteks transformasi pengembangan kota yang berkelanjutan.
Oleh kerananya, menghidup-hidupkan kembali kota-kota yang menua-renta pun irreguler bak kepingan mosaik, memerlukan upaya sungguh-sungguh pemimpin negara bahkan menjadi directive Presiden. Itu jurus ampuh menjadi bangsa yang menang banyak dengan kota-kota yang banyak, layak, tumbuh merata dan berkelanjutan. “Bersatu padu guna menyelematkan bumi yang hanya satu, yang didominasi oleh habitat manusia”, lugas Pak Tjuk (Kaca Benggala, 2019). Seakan akur dengan peringatan Tuan Ban Ki-Moon, Sekjen PBB (2007-2016), bahwa: ‘Our struggle for global sustainability will be won or lost in cities’.
Tendensi opini ini hendak menyokong kebijakan negara bertitel agenda baru perkotaan (new urban agenda). Itu bukan barang baru yang harus diperdebatkan gagasan dan konsiderannya. Analisis kritis ikhwal tata laksana dan teknis membangun fisik kota, itu tidak masalah. Yang penting segenap kota-kota menjadi episentrum kesejahteraan untuk semua. Sahih jika pemerintah mengambil kebijakan prioritas untuk transformasi kota berkelanjutan, bukan meninggalkannya.
Justru, kesejahteraan rakyat menanjak jika merawat kelayakan dan kenyamanan kota yang inklusif. Klop dengan sokongan wibawa negara dan kuasa konstitusi. Sebagai wujud aktivasi hak warga atas kotanya.
Hak Kota atas Hidupnya
Jika publik dunia mulai banyak mengenali hak atas kota (right to the city), saya hendak membela kota sebagai “organisme” bernyawa. Kota yang berhak atas hidupnya. Kota yang berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan perlindungan. Kota yang mempunyai legal standing. Analog dan perluasan legal standing lingkungan. Warga kota bersama lawyers peduli kota adalah pembelanya.
Dalil itu bukan hanya dari desakan warga, namun menghargai sang “organisme” kota berhak atas hidupnya. Dengan menyediakan daya dukung kota ke dalam perencanaan dan transformasi kota yang berkelanjutan. Salah satunya menyediakan UU Pembangunan Perkotaan. Kita masih kalah dengan inisiatif zaman Belanda yang memiliki SVO (Stadsvorming Ordonantie), analog UU Pembentukan Kota. Kota bukan hanya struktur urusan kantor penguasa kota seperti UU Pemerintah Daerah, namun organisme yang dirawat kelangsungan hidup, tumbuh dan kembang, dan perlindungan dirinya. Saya merasa tak perlu lagi menyebut organisme kota dalam tanda kutip.
Kiranya UU Pembangunan Perkotaan mencakup bagaimana prinsip, norma, kelembagaan, urusan dan tata laksana membangun kota yang memanusiakan manusia. Pernah ada RUU Bina Kota (1970). Merujuk Tjuk Kuswartojo (Kaca Benggala, 2019), RUU Bina Kota hendak menata kawasan kota dengan mengacu konsep Gidden: place, work, folk yang dikembang Corbusier menjadi kawasan ini: recreation, working, living, transportation.
Missi opini ini hendak mematutkan pentingnya agenda baru perkotaan yang menarasikan ‘Lima Haluan 2024, Transformasi Kota untuk Semua’.
(1) Transformasi Pengembangan Kota Berkelanjutan; (2) Transformasi kelembagaan dan urusan pengembangan kota berkelanjutan: (3) Transformasi sistem hukum pengembangan perkotaan yang aplikatif mengatasi tumpang tindih regulasi terkait kota, perumahan, bangunan, pertanahan, pembiayaan, pengelolaan, bahan perlindungan konsumen. (4) Transformasi perkotaan sebagai prioritas pembangunan ansional dan isu strategis nasional yang sepaket dengan penanggulangan kekurangan perumahan (backlog), kawasan kumuh dan rumah tidak layak huni; memampukan mobilitas dan akses transportasi publik massal yang terjangkau, berbasis konektivitas dan aksesibilitas yang kua tiori dikenal dengan TOD (transit oriended development), serta menyambungkan infrastruktur dasar perkotaan dengan infrastruktur sosial yang melekat dengan ikhtiar capaian 17 SDGs. (5) Transformasi akses ruang publik dan partisipasi bermakna dalam menyokong prinsip kota-kota kita untuk semua: our cities for all.
Majelis Pembaca Yang Berbahagia. Sampailah pada epilog opini ini, bahwa kota organisme yang bernyawa; maka bukan hanya kita berhak atas kota.
Ijinkan patik meracik novelty bahwa: kota pun berhak atas hidupnya. Pun, hak atas kelangsungan hidup, bertumbuh dan kembang, dan perlindungan –sebagai penjaminan atas kota berkelanjutan yang sahih dari takwil konstitusional Pasal 28H ļayat (1) UUD 1945. Jika semua kota-kota (dalam segala jenis dan ukuran) saat ini dirancang lagi untuk berbakti demi kesejahteraan manusia, maka tidak ada sepotong alasan menolak kota-kota berkelanjutan untuk semua.
Kota-kota yang berhak atas oksigen, sanitasi, air bersih, infrastuktur dasar untuk memasilitasi organisme kota, yang koeksistensi dengan manusia penghuninya.
Tatkala epilog opini ini selesai diketik, sorot cahaya matahari Menteng-Cikini belum berakhir, hanya meredup saja, hendak bertukar siang berganti malam, lampu kota mulai menyala seakan tanda ibukota ini hidup dan bergairah menjaga sang hidup. Penghuninya masih ramai, tak hendak meninggalkan kota, itu tondo hendak melanjutkan siklus hidup yang berlanjut, memperbarui semangat hidup kota yang berjiwa. Menjadikan kota-kota yang berkelanjutan, tidak cukup hanya 40 saja. Semua kota untuk semua, keadilan berkota untuk semua. Tabek.
[Advokat Muhammad Joni, SH., MH., Sekretaris Umum The Housing and Urban Development (HUD) Institute, penulis buku ‘Ayat-Ayat Perumahan rakyat’ (2018, dan ‘Ayat-Ayat Kolaborasi Jakarta Habitat’ (2022), anggota Badan Kajian Strategis DPP REI (2023-2027)].