“Apa Kata Rakyat Nanti?”
“Apa kata rakyat nanti?”, sebuah pertanyaan retoris yang berkarakter kuat dari ujar Bung Hatta. Bisa jadi itu relevan kini.
Dari sumber tulisan bertitel “Moral dan Kepemimpinan” dari Deliar Noor, pernah setelah Hatta lepas dari jabatan Wakil Presiden pada Desember 1956, Hatta mengalami tikungan yang menggoda.
Tatkala banyak yang memintanya menjadi komisaris utama perusahaan asing, Hatta menolaknya.
“Apa kata rakyat nanti?”, ujar Hatta ringkas. Lugas yang tak pernah kikis.
Mohammad Hatta, pejuang kemerdekaan dan proklamator Indonesia. Hatta pemuda Minang yang pada usia 19 tahun menjadi mahasiswa kampus ternama Rottredamse Handelshogeschool nun jauh di Belanda, berjarak 8.000 mil dari Aur Tajungkang, Bukittinggi, tempatnya lahir dan dibesarkan.
Dari Rottredamse Handelshogeschool, Hatta meraih gelar doktor ekonomi. Dia mencintai tanah airnya dan menggembleng jiwa kebangsaan, dan dari sana Hatta mengasah pena perjuangan, menjadi aktifis gerakan. Menjadi Ketua Indonesische Vereniging, yang metamorfosis dari Indische Vereniging.
Karya pena dari pikiran Hatta menjadi bukti bahwa Indonesia turut dimerdekakan dengan kecerdasan dan kecerdikan pemuda bangsa. Buktinya, “Indonesia Vrij” (Indonesia Merdeka) satu manifesto politik Hatta yang berpengaruh.
Hatta memiliki ketajaman pena dan kekuatan analisis justru lebih digjaya dari pada tembakan salvo mana pun, sekalimat pujian yang dialamatkan kepada sosok “Gandhi of Java” dalam buku “Hatta – Jejak Yang Melampaui Zaman”.
Mengadu kepada Hatta sangat kuat dalam alasan, karena dia berwawasan mondial dan moderen dengan pemahaman filsafati yang utuh yang diulasnya lewat buku “Alam Pikiran Yunani” yang ditulisnya sepenuh hati.
Mengapa? Sebab, “Alam Pikiran Yunani” dijadikan mas kawin ketika menikahi Rahmi Rachim.
Pun, kala sekolah di Belanda, Hatta tak cuman belajar namun berjuang, berdiplomasi, juga menerbitkan buku “Indonesia Ditengah-tengah Revolusi Asia” yang menuai kritik keras pers Belanda.
Belanda tak suka Hatta, dan mencap de Inlandsche studenten telah dihinggapi semangat revolusioner yang susah dikikis (“Hatta – Jejak Yang Melampaui Zaman”, h.8).
Tentu itu menjelaskan pikiran Hatta yang begitu kokoh kepada cita-cita memerdekakan bangsanya.
Itu gambar ringkas sebagian sosok Hatta, tempat esai ini mengalamatkan aduan.
Bung Hatta, karena jasamu Indonesia Vrij. Proklamasi kemerdekaan negeri. Tak hirau gaji. Apa “salvo” manifesto “Indonesia Vrij” kita? Kami tak hirau.pada jasamu, apa kata dunia nanti?.