Argumentasi Penghapusan Penjara Anak
Penjara merupakan lembaga hukum yang bukan asli Indonesia. Di zaman Majapahit dan sebelum masa penjajahan tidak dikenal lembaga penjara dan bahkan perampasan kemerdekaan juga tidak dikenal juga.
Lembaga penjara dikenal dan dijalankan ketika VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) pada tahun 1602 memperkenalkan lembaga “bui” yang dilanjutkan pemerintah Hindia Belanda menjadi pidana penjara. Lembaga penjara ini kemudian diserap menjadi pidana pokok ke dalam pasal 10 WvS voor Netherland Indie yang kemudian dengan asas konkordansi diambil alih sebagai hukum pidana nasional dengan UU Nomor 1 Tahun 1946 Jo. UU Nomor 73 Tahun 1958.
Dengan perkataan lain, Indonesia sebagai Negara berdaulat belum sama sekali mempertimbangkan kebijakan pidana penjara sebagai suatu sistem hukuman yang dipakai, oleh karena pembuat Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 belum mengambil sikap mendasar terhadap stelsel pidana yang merupakanbagian penting dari hukum pidana.
Keterangan sejarah hukum ini penting untuk membangun argumentasi bahwa kebijakan mempertahankan stelsel pidana dalam KUHP selama ini, dan berarti mempertahankan lembaga penjara itu sendiri, bukan atas dasar pertimbangan yang mendasar akan tetapi pertimbangan praktis.
Kritik terhadap pidana penjara menggema bukan saja pada kalangan peneliti, krominolog dan ahli hukum pidana, namun menyelinap ke badan dunia Perserikatan bangsa-bangsa (PBB). Penjara yang merupakan buntut dari jatuhnya vonis pidana penjara, dalam proses yang diperhatikan pada banyak kasus menunjukkan bahwa pemidanaan anak dilakukan secara gegabah dan tak berdasar.
Kenyataan itu yang dipikirkan kriminolog Karl Menniger dsalam bukunya ”The Crime of Punishment”, yang menegemukakan bahwa penegak hukum kerap berorientasi pada pemenjaraan atau pemidanaan, sehingga ”sikap memidana” (punitive attitude) harus diganti dengan ”sikap mengobati” (therapeutic attitude).
Dalam kasus konkrit di Indonesia, fakta itu ditemukan pada kasus Raju (8 tahun) yang mengalami proses peradilan dalam usia dini pada Pengadilan Negeri Stabat, padahal anak yang belum berusia 12 tahun tidak dibenarkan UU Pengadilan Anak dicabut kemerdekaannya dengan menjatuhkan pidana penjara, namun hanya Tindakan.
Bercermin pada kasus Raju ataupun kasus 10 anak Tangerang yang peradilannya simpang siur dan menyimpang dari kenyataan hukum formil yang imperatif. Persis seperti dikuatirkan United Nations Congress on The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders Report, yang menilai bahwa mekanisme hukum dan peradilan di banyak negara telah ketingalan zaman atau tidak sesuai dengan kenyataan (outmeoded or unreal).
Pemikiran yang mendekonstruksikan eksistensi penjara, juga diluncurkan RM. Jackson yang berpendapat tidak efektifnya penjara memperbaiki narapidana yang dididik di dalam penjara, oleh karena tingginya tingkat perulangan (reconviction rate) orang yang pertama kali melakukan kejahatan yang berbanding terbalik dengan usia pelaku. Artinya makin muda usia pelaku makin tinggi reconviction rate-nya. Terbukti reconviction rate anak-anak mencapai 50%. Bahkanreconvicted rate yang lebih tinggi bagi orang yang dijatuhi pidana penjara jika dibandingkan dengan pidana bukan penjara.
Phil Dickens, mengemukakan bahwa keyakinan bahwa penjara mengubah kejahatan adalah bohong. Dia dengan menyitir Peter Kropotkin menjelaskan bahwa seabad setelah Kropotkin menulis tentang penjara “yang membunuh semua kemauan dan menekan karakter diri manusia,” kita masih melihat brutalisasi besar umat manusia di dalam dinding-dinding mereka (penjara). Dikemukakannya, sekitar 61% tahanan yang dilepaskan tahun 2001 mengulangi lagi perbuatan (reconvicted) dalam waktu dua tahun, dan 73% dari pelaku laki-laki muda yang dilepaskan tahun 2001 adalah reconvicted dalam waktu 2 tahun.
Dari berbagai argumentasi mengenai tidak efektifnya penjara bagi memulihkan pelaku setelah menjalani hukuman di penjara, menjadi relevan dan penting mempertanyakannya apakah pemenjaraan anak juga relevan bagi anak-anak? Darti sisi reconviction rate, anak-anak justru diketahui paling tinggi dibandingkan dengan yang berusia lebih dewasa.
Kecermatan untuk mendekonstruksikan penjara anak dalam hukum nasional bukan tanpa alasan yang kuat, apalagi diperbandingkan dengan situasi peradilan anak dan pemidanaan anak yang menimbulkan efek buruk pada anak. Persis seperti dikuatirkan PBB yang menyebutkan keadaan itu sebagai mekanisme peradilan dan kepenjaraan (the judicial and prison mechanism) mempunyai pengaruh-pengaruh yang kondusif untuk timbulnya kejahatan dalam hal tertentu menciptakan karir-karir penjahat.Pemenjaraan anak sudah tidak relevan lagi dengan kepentingan anak, namun masih secara formil masih diberlakukan dengan adanya KUHP, KUHAP, UU Pengadilan Anak, UU Pemasyarakatan. Upaya menghapuskan penjara anak bukan tanpa alasan yang mengakar dan factual, karena begitu banyak implikasi buruk pada anak-anak yang mendekam dalam penjara baik dalan status penahanan atau sebagai narapidana anak, bahkan status anak Negara sekalipun.
Situasi buruk pemenjaraan anak sudah dapat dicermati pada pemaparan bagian sebelumnya. Kini, dengan mengharapkan perubahan fundamental pada RUU Sistem Peradilan Pidana Anak yang dimaksudkan menggantikan UU Pengadilan Anak, tidak hanya tambal sulam mengganti beberapa norma saja seperti menaikkan batas usia tanggungjawab pidana, menganti istilah anak nakal, memperkuat petugas pemasyarakatan, BAPAS saja, namun merombak system peradilan anak.
Fundamen terpenting yang belum tersentuh adalah menggantikan pemenjaraan anak dengan pendidikan dalam panti sosial sehingga anak tidak masuk ke dalam system pemasyarakatan alias system pemenjaraan, namun masuk ke dalam sistem rehabilitasi sosial. Selama ini terjadi jurang yang tidak terjembatani antara perlindungan dan rehabilitasi anak dalam system pembinaan yang dikelola LAPAS dengan sistem perlindungan dan rehabilitasi sosial anak yang dikelola Kementerian Sosial. Terbukti, walaupun UU Pengadilan Anak memungkinkan anak nakal diserahkan kepada Departemen Sosial, namun pada kenyataannya putusan Hakim paling banyak memenjarakan anak dengan vonis masuk penjara alias pidana penjara.
Sangat sedikit peran Kementerian Sosial dalam menangani aspek kesejahteraan sosial dan rehabilitasi anak yang berkonflik dengan hukum. Hal ini bukan karena kelambanan atau kevakuman Kementerian Sosial dalam menangani hal ini, namun karena memang Kementerian Sosial berposisi di hilir dari proses peradilan pidana anak. Putusan Hakim yang menentukan apakah anak divonis dikembalikan kepada orangtua atau walinya, diserahkan kepada Kementerian Sosial atau dijatuhi pidana penjara.
Namun mayoritas anak yang diadili diputuskan dikenakan pidana penjara, antara lain artena anak yang diadili tersebut sudah terlanjur ditahan lebih dahulu oleh kepolisian ataupun kejaksaan, sehingga Hakim terjebak dengan staus mereka yang sudah dirampas kemerdekaannya terlebih dahulu. Hal ini yang dialami Muhammad Azuar alias Raju, ataupun yang dialami 10 (sepuluh) anak-anak jalanan asal tangerang yang ditahan polisi kemudian di adili Pengadilan Negeri Tangerang dengan dakwaan melakukan perjudian (Pasal 330 KUHP).