Asas “Stelsel Aktif Bagi Penduduk”: Inkonstitusional!

Selasa siang, 30 April 2013 suasana ramai menjalar-jalar  ke halaman depan Mahkamah Konstitusi (MK).  Puluhan anak dan  warga Jakarta mendatangi MK, menggelar beberapa spanduk perihal tidak diperolehnya akte kelahiran.  Mereka sebagian kecil dari perkiraan sekitar 50an juta anak tanpa akte kelahiran.

Hari itu, saya dan segenap tim kuasa hukum mendaftarkan permohonan uji materil UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk).  Pemohon prinsipalnya bukan sembarangan: Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI),  lembaga negara yang bersifat independen dalam urusan  perlindungan anak, dan  sejumlah LSM peduli akte kelahiran dan beberapa orang perseorangan korban UU Adminduk,   mengajukan uji materil 12 norma hukum UU Adminduk ke MK. Soal paling esensial  berkenaan  asas  “stelsel aktif bagi Penduduk”  UU Adminduk yang didalilkan  biang kisruh dan gagalnya pencatatan kelahiran. Janji Pemerintah mencatatkan seluruh anak di tahun 2011 tak pernah kenyataan.

Ada apa  “Stelsel aktif bagi Penduduk”?  Stelsel itu menjadi dasar mewajibkan Penduduk mencatatkan Peristiwa Penting termasuk kelahiran anak.  Akibatnya, hampir 50an juta  anak tidak mempunyai akte kelahiran. Setelah UU Adminduk, efektifitas pencatatan kelahiran anak tidak signifikan. Cuma 59% anak usia 0-4 tahun yang mempunyai akte kelahiran. Sebelum UU Adminduk, untuk kelompok usia yang sama, hanya 42,8% saja anak dengan akte kelahiran. Tak ada kenaikan signifikan.

Sebabnya? Karena UU Adminduk itu menganut “stelsel aktif bagi Penduduk”, sehingga Pemerintah hanya menunggu saja di kantornya, tanpa ada upaya aktif selaku eksekutif yang menjalankan amanat sebagai Negara. Inilah alasan  mengapa asas itu  didalilkan bertentangan dengan UUD 1945.

Hak anak atas akta kelahiran dan pencatatan kelahiran diberikan semenjak dilahirkan,  dan berada dalam satu tarikan nafas dengan hak atas nama (sebagai hak atas identitas) dan hak atas kewarganegaraan. Hak atas akte kelahiran sudah terjamin dalam   Pasal 5 UU Nomor 23 Tahun 2002 menentukan bahwa setiap anak berhak atas (a) nama, dan (b) kewarganegaraan.  Pasal 5 UU Nomor 23 Tahun 2002  berbunyi “Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan”. Demikian pula Pasal 27 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2002 menentukan bahwa Hak Identitas anak dimaksud adalah akta kelahiran.

Pasal 27 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2002 yang berbunyi “Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran”.   Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2002 menentukan bahwa identitas anak diberikan sejak kelahirannya.

Hak atas pencatatan kelahiran dan akta kelahiran segera setelah kelahirannya (immediately after birth). Menurut Implementation Handbook for the Convention on the Rights of the Child, ada 3 alasan: Pertama, Pencatatan kelahiran merupakan pengumuman resmi pertama dari Negara terhadap keberadaan seorang anak (the State’s first official acknowledgement of the child’s existence). Hal itu merupakan suatu pengakuan Negara terhadap tiap-tiap anak, dan pengakuan stataus hukum anak (child’s status under the law). Kedua, Pencatatan kelahiran suatu elemen esensial bagi perencanaan nasional untuk anak. Ketiga, Pencatatan kelahiran dimaksudkan untuk mengamankan hak-hak anak.

Akta kelahiran dan pencatatan kelahiran merupakan hak anak dan hak setiap penduduk.  Itu merupakan kewajiban negara. Konsideran UU Adminduk  berbunyi: “bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk Indonesia yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Oleh karena itu, maksud asli (original intens) dan landasan filosofis dari UU  Adminduk bahwa  akta kelahiran dan pencatatan kelahiran bagi anak adalah hak anak, bukan kewajiban anak ataupun kewajiban penduduk.  Dengan demikian asas “stelsel aktif bagi Penduduk” tersebut  tidak sesuai dan bertentangan dengan hak atas tumbuh dan berkembang, dan hak perlindungan anak yang merupakan hak konstitusional anak yang dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.  Tidak sesuai dan bertentangan dengan hak atas akta kelahiran dan pencatatan kelahiran anak (sebagai bagian integral dan tidak terpisahkan dari hak atas kewarganegaraan yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (4) UUD 1945).  Menyimpang dan tidak konsisten dengan maksud asli dan landasan filosofis UU Adminduk  yang tertera dalam Konsideran “Menimbang” huruf a, dan Penjelasan Umum (alinea pertama).

Oleh karena itu, asas “Stelsel Aktif bagi Penduduk”  menjadi dasar   mewajibkan setiap penduduk (obligation of every peoples) melaporkan Peristiwa Kependudukan, termasuk kelahiran anak, yang secara  formil dituangkan ke dalam norma Pasal 3 dan Pasal 4 UU Adminduk.  Dengan demikian asas “Stelsel Aktif bagi Penduduk”  bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (4) UUD 1945.

Asas “Stelsel Aktif bagi Penduduk” itu  mengakibatkan anak-anak tidak dengan serta merta dapat dicatatkan kelahirannya segera setelah ia dilahirkan, dan karena itu  ia tidak memperoleh hak atas akta kelahiran, oleh karena,  Pertama: Adanya kesenjangan kesempatan, kemampuan, lokasi/tempat yang terisolasi dan sulit terjangkau/menjangkau, serta berbagai bentuk disparitas antar penduduk warga Negara Indonesia yang masih memiliki kesulitan khusus.Kedua: Adanya kesenjangan antar daerah dan kesempan/kemampuan tersebut, merupakan kenyataan yang notoir feiten sehingga tidak semestinya diperlakukan sama dalam penerapan asas “Stelsel Aktif bagi Penduduk”. Ketiga: Adanya biaya-biaya (resmi dan tidak resmi) yang pada kenyataannya mesti dikeluarkan penduduk saat melaporkan kelahiran atau mengurus akta kelahiran anak, merupakan konsekwensi logis dari persyaratan formil pencatatan kelahiran menurut UU Nomor 23 Tahun 2006, yang mesti dipersiapkan Penduduk dalam melaporkan Peristiwa Penting, termasuk kelahiran anak yang dituangkan ke dalam Peraturan-peraturan Daerah.

Kegagalan UU Adminduk  sebagai sarana perekayasaan sosial dan ketidakefektifan Stelsel Aktif bagi Penduduk melahirkan kegagalan Negara melakukan pencatatan kelahiran anak sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Adminduk. Secara terang dan jelas dapat dapat dilihat melalui:

  1. Pengakuan Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri RI, yang dibuktikan dengan diterbitkannya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri RI No. 472.11/3444/SJ tanggal 13 September 2011, yang pada pokoknya menentukan bahwa  “anak-anak yang lahir setelah UU No 23 Tahun 2006 dan belum mengurus akta kelahiran dapat dilayani dan diterbitkan akta kelahirannya tanpa penetapan pengadilan”.
  2. Pengakuan Mahkamah Agung dengan diterbitkannya Surat Edaran Nomor 06 Tahun 2012 tentang Pedoman Penetapan Pencatatan Kelahiran Yang Melampaui Batas Waktu Satu Tahun Secara Kolektif, tertanggal 6 September 2012.

Leave a Reply