Aturan Batas Minimal Luas Rumah Dibatalkan

Eddy Ganefo tak dapat menyembunyikan wajah sumringah. Kepada rekan kerja, tim pengacara, dan kerabat, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) itu menyunggingkan senyum. “Putusan itu bukan hanya untuk Apersi, tetapi juga untuk seluruh rakyat yang kurang mampu,” kata Eddy.

Eddy dan Sekjen DPP Apersi, Anton R. Santoso, berhasil memperjuangkan agar pengusaha perumahan bisa membangun rumah ukuran sangat sederhana, seperti tipe 2.1. Sejak tahun lalu, DPR dan Pemerintah memang membuat aturan luas lantai rumah tinggal dan rumah deret minimal 36 meter persegi.

Aturan itu dituangkan dalam pasal 22 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman. Pasal ini merumuskan “Luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 meter persegi”.

Para penyusun aturan ini tampaknya ingin merujuk pada standar internasional. Rumah standar minimum yang sehat adalah 9 meter untuk satu orang. Dengan asumsi satu keluarga inti terdiri dari dua anak, maka ditetapkanlah luas minimal lantai rumah 36 meter. Konsep rumah ‘layak’ itu sudah diadopsi di banyak negara. Bahkan ada yang menetapkan lebih luas, seperti WHO Regional Eropa yang menetapkan 12 meter.

Namun aturan batas minimal lantai 36 meter itu dinilai tak sesuai konsep keterjangkauan. Kebijakan itu juga menyulitkan pengusaha membangun rumah tipe kecil yang sesuai bagi orang miskin, apalagi kalau bersifat wajib. Karena itu Apersi mempersoalkan pasal 22 ayat (3) UU Perumahan dan Pemukiman. Sebelum Apersi, tiga orang karyawan swasta bergaji di bawah dua juta per bulan juga mempersoalkan aturan tersebut. Tetapi lantaran permohonan Apersi diputus lebih dahulu, permohonan ketiga karyawan –Aditya Rahman dkk—dinyatakan nebis in idem.

Konsep keterjangkauan

Aturan batas minimal luas lantai rumah dalam pasal 22 ayat (3) UU Perumahan dan Pemukiman akhirnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi, Rabu (03/10) kemarin. Pasal ini dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menggunakan konsep keterjangkauan. Norma pembatasan minimal luas lantai rumah dinilai mayoritas hakim Mahkamah Konstitusi tidak sesuai dengan daya jangkau atau daya beli masyarakat. Batas minimal 36 meter persegi sama saja melarang penyelenggaraan perumahan dan pemukiman membangun rumah yang lebih kecil dari itu. “Hal tersebut berarti pula telah menutup peluang bagi masyarakat yang daya belinya kurang atau tidak mampu untuk membeli rumah sesuai ukuran miminal tersebut”. Intinya, kebijakan ini merugikan orang miskin.

Hak bertempat tinggal dan hak milik pribadi adalah hak asasi yang dijamin konstitusi. Jika rezeki yang dimiliki seseorang belum cukup membeli rumah ukuran 36 meter persegi ke atas, maka tak boleh ada aturan yang melarang mereka punya rumah yang lebih kecil ukurannya. Konstitusi harus menjamin orang miskin memenuhi hak atas tempat tinggal dan hak milik. Rasio inilah yang mendasari Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal 22 ayat (3) UU Perumahan dan Pemukiman.

Namun tak seluruh hakim konstitusi setuju mengedepankan konsep keterjangkauan. Hakim konstitusi Hamdan Zoelva mengajukan pendapat berbeda, dengan menekankan pada konsep kelayakan dan kesehatan. “Mengadakan rumah yang terjangkau tetapi tidak sehat, sama saja membiarkan rakyat hidup secara tidak layak dan tidak sehat,” kata Hamdan.

Apapun putusan itu, Muhammad Joni, pengacara Apersi, meminta Kementerian Perumahan Rakyat menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi. Joni membenarkan secara tidak langsung pun Kementerian Perumahan Rakyat ‘mendukung’ pembangunan perumahan yang lebih kecil untuk rakyat miskin. Mantan Menteri Perumahan Rakyat, M. Yusuf Asy’ari malah berada di kubu pemohon ketika tampil sebagai ahli. sumber

Leave a Reply