Audit Kawasan Hutan
Mafia hukum juga merambah sektor kehutanan, tak tertolak kesahihannya. Itu sebabnya Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) dan Kementerian Kehutanan (Kemhut) bekerja sama dengan kepolisian, kejaksaan dan KPK dalam penegakan hukum perambahan hutan.
Untuk perlindungan hutan, tahun 2011, Kemhut melakukan litigasi kasus perambahan kawasan hutan, penambangan ilegal dan kebakaran, penebangan liar. Targetnya, untuk kasus baru minimal target 30% dari total kasus, dan tunggakan kasus yang terselesaikan (43,7%).
Kabar rencana pengurangan kawasan hutan Propinsi Sumatera Utara (Sumut) terlontar lagi dari Kepala Dinas Kehutanan Sumut pada Seminar Audit Kawasan Hutan di Medan yang dilaksanakan Himpunan Alumni IPB Sumut, 31 Oktober 2011. Kawasan hutan propinsi itu bakal dikoreksi menjadi 2,3 juta hektar, merevisi Surat Keputusan (SK) Nomor 44 tahun 2005 yang mematok kasawan hutan seluas 3,7 juta hektar. Alamakjang, lebih sejutaan hektar kawasan hutan segera berubah status menjadi bukan kawasan hutan, walaupun de facto sudah bukan lagi hutan, termasuk gedung kantor pemerintahan. Belum lagi pemekaran wilayah senantiasa menghendaki pengalihan kawasan hutan.
Bisakah kawasan hutan menjadi nonhutan? Bagaimana menilai akurasi teknis dan justifikasi normatif juridisnya? Saat ini, sudah tersedia Permenhut Nomor P.10/Menhut-II/2010 tentang Mekanisme dan Tatacara Audit Kawasan Hutan, yang menjadi regulasi pemeriksaan status kawasan hutan. Untuk maksud Audit Kawasan Hutan (AKH) itu, diterbitkan Surat Menhut Nomor S 95/Menhut-IV/ 2010 tanggal 25 Februari 2010 yang mewajibkan semua gubernur menginventarisasi penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan nonkehutanan dan langkah penegakan hukum yang telah diambil.
Gubernur harus memerintahkan kepala dinas provinsi dan kabupaten yang membidangi kehutanan, pertambangan, perkebunan dan perikanan mendata penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan nonkehutanan. Selain itu, gubernur melaporkan langkah-langkah penegakan hukum selama ini. Gubernur dapat melaporkan hasil inventarisasi menggunakan formulir lampiran surat melalui Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dengan tembusan kepada Ketua KPK, Kepala Polri, Jaksa Agung dan Menteri LH.
Tak berlebihan jika surat Menhut itu adalah modal bagi agenda AKH sebagai jalan yang adil, professional dan prohukum, sehingga AKH patut didukung karena akan menilai lebih dahulu status juridis formal dan teknis kawasan hutan. AKH perlu karena dipercaya banyak kawasan hutan yang alih fungsi untuk perkebunan, tambang terbuka, migas dan nonkehutanan lainnya.
Berdasarkan hasil Rapat Koordinasi Menhut dengan Ketua Satgas PMH, diperoleh fakta dari 15,4 juta hektar kawasan hutan di Kalimantan Tengah, 3,8 juta hektar perkebunan yang belum memiliki izin pelepasan kawasan hutan dari Menhut. Perusahaan tambang yang tidak memiliki izin penggunaan kawasan hutan di konsesi seluas 3,7 juta hektar.
Kerugian negara dari 352 perusahaan dengan konsesi seluas 4,6 juta hektar sangat besar. Sebab tidak memiliki izin resmi dari Menhut, dan baru 67 perusahaan seluas 800.000 hektar yang benar-benar memiliki izin pelepasan hak dari Menhut. Dari 615 perusahaan berizin usaha dengan konsesi 3,7 juta hektar, hanya 9 perusahaan dengan luas 90.000 hektar yang memiliki izin penggunaan kawasan. (http://www.satgas-pmh.go.id).
Kerugian negara dari 352 perusahaan dengan konsesi seluas 4,6 juta hektar, baru 67 perusahaan seluas 800.000 hektar yang memiliki izin pelepasan. Dari 615 perusahaan berizin usaha pertambangan dengan konsesi seluas 3,7 juta hektar, hanya 9 perusahaan seluas sedikitnya 30.000 hektar memiliki izin penggunaan kawasan. Perambahan ini merugikan negara sedikitnya Rp 158,5 triliun. Fakta-fakta lain dari Ditjen PHKA Kemhut yang melakukan investigasi dan operasi penertiban reguler di Sumut menemukan 16 perusahaan yang melanggar ketentuan UU Kehutanan.
Singkatnya, AKH penting mencegah meluasnya alihfungsi hutan secara ugal-ugalan sehingga merugikan negara. AKH itu juga untuk mengakomodir usulan perubahan kawasan hutan untuk pembangunan sektor nonkehutanan, seperi minyak dan gas ataupun pemekaran wilayah. Selain itu, karena masih terjadinya tumpang tindih kawasan dan konflik-konflik pemanfaatan ruang di kawasan hutan.
Akan tetapi, agenda AKH dengan Permenhut Nomor P.10/Menhut-II/2010 itu, semestinya diarahkan untuk kepastian hukum dan penegakan hukum. Tidak hanya alat monitoring dan evaluasi penutupan kawasan hutan, serta dasar analisis tim terpadu untuk penyelesaian konflik pemanfaatan ruang kawasan hutan. Akan tetapi diarahkan sebagai bukti dan alasan penegakan hukum proses “pro justisia”, dan dasar menghitung kerugian negara.
Namun harapan itu mesti digenjot dengan komitmen dan kerja keras rimbawan dan stakeholder kehutanan. Hasil yang diperoleh dari AKH sebagai bukti dan alasan penegakan hukum dan bukti bagi sektor kehutanan untuk kepastian kawasan hutan. Tak cuma untuk proses penegakan hukum, AKH harus konsisten dengan kepastian kawasan hutan dan transparansi serta untuk memastikan kepatuhan hukum pemegang izin usaha kehutanan.
Misalnya penerbitan Izin usaha pemanfaatan hutan tanaman ataupun Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Ironisnya, 95% permohonan IPPKH diajukan dengan persyaratan tidak lengkap sehingga banyak perusahaan migas yang belum mengantongi IPPKH. Berdasarkan Surat Kemenhut No S.246/Menhut-VII/2011, hanya 5 perusahan migas yang memegang IPPKH.
Dari kompleksitas keadaan kawasan hutan, AKH begitu penting dalam penataan kawasan ataupun untuk mengoreksi luas kawasan hutan yang cenderung menurun, seperti koreksi kawasan hutan menjadi 2,3 juta hektar di Propinsi Sumut. Untuk kepastian kawasan, maka AKH untuk penegakan hukum harus dituntaskan.
Namun AKH bukan langkah pamungkas. Karena harus diikuti dengan akurasi, profesionalitas dan prohukum dalam menerbitkan izin-izin kehutanan, termasuk IPPKH. Menduplikasi dibentuknya Tim Terpadu untuk masalah hilir kisruh kehutanan, patut jika dalam penerbitan izin-izin kehutanan meminta pertimbangan multi stakeholder kehutanan dengan Tim Pertimbangan Perijinan Kehutanan, termasuk masyarakat, akademisi dan NGO.
Untuk mendukung moratorium perambahan hutan dan litigasi yang tangguh, dengan AKH pihak Kemhut akan dibekali data hukum yang sahih dan kuat sebagai bukti jika dilakukan litigasi di pengadilan. Di sinilah urgensi audit hukum terhadap seluruh izin-izin kehutanan untuk menilai kepatuhan, perambahan, tumpang tindih dan/atau pelanggaran.
Selain itu, asistensi dan supervisi terhadap pemerintah di daerah untuk AKH juga tak kalah penting. Tak cuma mencegah perambahan hutan, kebijakan peningkatan usaha kehutanan yang harus dipantau secara berkala dan intens untuk memastikan kepatuhan hukum dan tidak menguapnya pendapatan Negara yang sah dari usaha kehutanan.
Dalam konteks Sumut yang bakal merevisi SK Nomor 44 tahun 2005, patut jika melakukan terlebih dahulu audit kawasan hutan, bak aspek juridis-formalnya maupun data teknis lapangan. Hal ini sebagai alas hukum yang kokoh dalam menyikapi kemungkinan masalah hukum baru paska koreksi kawasan hutan akibat adanya perbedaan fakta dan tumpang tindih hak kepemilikan lahan. Kalau tidak, keberatan hukum dan arus besar litigasi bukan tak mungkin terjadi menyusul pengurangan kawasan hutan.