Ayat Lantai Rumah Dihapuskan
Ini kabar gembira bagi penduduk yang belum memiliki rumah. Jika anda baru menikah, atau lajang yang betah sendiri yang termasuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) namun berhasrat kuat membeli rumah, masih ada harapan dan kesempatan. Mahkamah Konstitusi (MK), 3 Oktober 2012 lalu dengan putusan Nomor 14-PUU-X/2012, menyatakan Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman tidak berlaku lagi alias dihapuskan.
Bermodal putusan MK itu, rakyat dan kelompok MBR bisa membeli dan membangun rumah tunggal dan rumah deret dengan ukuran berapapun. Tak lagi terikat syarat minimal 36 meter persegi. Sebelumnya, Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 membatasi luas lantai rumah minimal 36 meter persegi. Akibatnya, harga rumah membubung, anjloknya target pembangunan rumah dan eskalasi defisit perumahan. Dengan putusan MK yang membatalkan ayat lantai rumah Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011, rumah tunggal ataupun rumah deret boleh dibangun baik dengan tipe 21, atau 27, atau tak lagi wajib minimal tipe 36. Dengan putusan MK itu, tak akan dicegah terbitnya IMB dan dapat mengajukan fasilitas rumah bersubsidi ala Falisitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
Pembatalan ayat lantai rumah itu, menyusul pengujian materil yang diajukan Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) ke MK, empat pasal UUD 1945 diulas panjang lebar dan dipakai sebagai posita dalam menguji konstitusionalitas ayat lantai rumah. Keempatnya: Pasal 28 H ayat (1), Pasal 28 H ayat (4), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.
Didalilkan, ayat lantai rumah itu merupakan causal verband terlanggarnya hak konstitusional atas rumah versi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Akibat ayat lantai rumah itu, target pembangunan perumahan bagi MBR terkoreksi anjlok dari 600 ribu unit menjadi 130 ribu unit saja (Kompas, “Target Rumah Rakyat Direvisi Lagi”, 6 Agustus 2012). Analisisnya? MBR tak mampu membeli karena eskalasi harga, dan itu disebabkan ayat lantai rumah tadi. Akibatnya, defisit perumahan atau backlog yang semula 13,6 juta menjadi 48,96 juta. Padahal, merujuk data BPS, rakyat miskin masih berjumlah jumbo: 29,89 juta orang atau 12,36%.
Hak atas rumah sebagai HAM dijamin dalam Pasal 40 UU Nomor 39/1999 yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”. Selain itu, hak atas tempat tinggal juga sesuai dengan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diterima oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948 melalui Resolusi 217 A Pasal 25 ayat (1). Deklarasi Habitat II yang mengakui bahwa rumah merupakan hak dasar manusia dan menjadi hak bagi semua orang untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau (adequate and affordable shelter for all).
Dampak penormaan ayat lantai rumah Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 itu konkrit dan nyata merugikan MBR. Ali Tranghanda, dari Indonesia Property Watch, mengemukakan, banyaknya minat rumah tipe 21 dibandingkan tipe 36 bukan berarti mereka tidak mau membeli tipe 36, melainkan karena daya beli mereka terbatas. Praktisi perumahan, Fuad Zakaria mengungkapkan fakta bahwa 80% dari konsumen hanya mampu membeli rumah di bawah tipe 36. Selebihnya, yakni 20%-nya membeli rumah di atas tipe 36.
Sehingga jelas saja pembatasan lantai rumah itu memberatkan kaum duafa kita yang belum mempunyai rumah sendiri. Bagi mereka, lebih baik satu keluarga dengan satu anak punya rumah sendiri dengan luas lantai 27 meter persegi daripada satu rumah ukuran lantai 36 meter persegi, tetapi dihuni dua keluarga yang sudah punya anak.
Sebelum adanya Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011, Pemerintah sudah mengambil kebijakan rumah tumbuh, yang tidak mempersoalkan luas lantai rumah. Menurut mantan Menteri Perumahan Rakyat Cosmas Batubara, konsep dan kebijakan Rumah Inti (Core Hause) yang dapat dikembangkan (extanable) untuk mengatasi tingginya kebutuhan rumah, dan sesuai dengan daya beli masyarakat sehingga dapat meningkatkan target pencapaian pembangunan perumahan rakyat dan merumahkan rakyat.
Dengan konsep Rumah Inti dibuka selebar-lebarnya kesempatan pembangunan perumahan rakyat dengan ukuran/type sederhana, termasuk type 18, 21, 27 dan 36 dengan luas kavling minimum 60 m2. Oleh karena itu penetapan Pasal 22 ayat (3) UU No. 1/2011 perlu dikaji ulang dan perlu diberi kesempatan pembangunan rumah inti.
Terus terang saya ke sana kemari mencari rujukan dalam batang tubuh dan Penjelasan UU PKP itu sendiri, apa rujukan otentik ayat lantai rumah tunggal dan rumah deret minimal 36meter persegi? Mengapa ayat lantai rumah itu tidak diberlakukan bagi rumah susun? Mengapa tidak mempertimbangkan disparitas harga tanah ataupun NJOP? Mengapa tak mempertimbangkan indeks harga tanah antara pulau Jawa dan luar pulau Jawa? Mengapa tidak merujuk pada indeks kemahalan konstruksi (IKKt) dan indeks keterjangkauan konsumen (IKKn)? Semua itu diabaikan dalam Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011.
Hasil telaah juridis-normatif dan membandingkannya dengan hak konstitusional Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, dan hak konstitusional atas hak milik pribadi Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, saya haqqul yakin norma hukum dalam Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 itu tidak jelas rasio legis-nya. Pun demikian, ayat lantai rumah itu bersifat relatif oleh karena tergantung pemanfaatan rumah sebagai fungsi hunian. Tidak mutlak hanya dipergunakan oleh keluarga, namun bisa saja oleh individual tunggal [Pasal 50 ayat (1) UU Nomor 1/2011]. Materi muatan Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 sangat mikro-teknis yang tidak sepatutnya menjadi norma Undang-undang, karena norma lantai rumah ini cuma diatur dengan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 403/2002.
Ironisnya, ketentuan itu justru membatasi keswadayaan warga masyarakat membangun rumah dengan biaya sendiri. Ayat lantai rumah itu menimbulkan hambatan bagi warga masyarakat secara swadaya membangun rumah dalam bentuk, ukuran dan luas lantai berapapun sesuai luas tanah yang dimiliki. Sehingga terlanggar hak konstitusional menggunakan tanah sebagai milik pribadi [Pasal 28H ayat (4) UUD 1945] untuk membangun rumah karena itu kapasitas fiskalnya tidak terdongkrak.
Kini, dengan putusan MK, rakyat dan MBR bisa membangun dan membeli rumah tunggal dan rumah deret tanpa pembatasan syarat luas lantai rumah 36 meter persegi . Putusan MK itu memastikan akses MBR menjangkau rumah tempat tinggal, dengan luas lantai berapapun.
Kalau rakyat dan MBR hanya memiliki kemampuan membeli rumah tipe 21 atau tipe 27 yang dapat dikembangkan, taklah waras memaksa mereka membeli tipe 36 atau tipe 45. Bukankah norma hukum Undang-undang itu semestinya waras, logis dan tak bisa dimanipulasi oleh rekayasa gelap (dark-enginerring).