Ayat Lantai Rumah Inkonstitusional: Ini Pertimbangan MK

Rumah itu adalah marwah dan martabat. Tak sekadar tempat berteduh. Identitas orang senantiasa lekat dengan tempat tinggal. Lantaran itu,  dalam pendataan warga negara atau daftar pemilih, setelah nama selalu diikuti alamat bertempat tinggal. Identitas orang dan rumah, bertemali tak terpisahkan.

Dalam kebudayaan dan masyarakat manapun,  rumah selalu disiapkan. Tidak  terbantahkan rumah sebagai tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar manusia. Hal ihwal esensial.  Yang  diformulasi  sebagai hak setiap orang untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau (adequate and affordable shelter for all).

Kua normatif, konsideran “Menimbang”  huruf  b dan d UU Nomor 1/2011 menggunakan frasa “layak dan terjangkau”. Hak atas rumah sebagai tempat tinggal menjadi hak semua orang (for all). Sekali lagi,  for all,   yang berarti diberikan kepada “setiap orang” . Termasuk kaum tak beruntung “manusia gerobak” dan penghuni kolong jembatan di RT 00/RW 00.  Persis  frasa  Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.  Demikian pula Pasal 40 UU Nomor 39/1999 dan konsideran “Menimbang” huruf a UU Nomor 1/2011. Frasa yang dipergunakan “setiap orang berhak bertempat tinggal”.

Dengan demikian pemenuhan hak atas rumah tidak semestinya  memiliki norma pembatasan (restriction) yang tidak lain adalah diskriminasi terhadap rakyat ataupun subjek hukum.

Dahulu, pernah ada Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pemumahan dan kawasan Permukiman (“UU PKP”).  Isinya, rumah hanya boleh dibangun ukuran minimal 36 meter persegi. Dibawah itu, terlarang! Akibatnya, banyak yang gagal mengakses rumah type 21, dan produksi rumah sederhana anjlok. Angka defisit perumahan alias backlog melonjak.

Namun, berkat uji materil yang dilakukan Asosisasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI), Pasal 22 ayat (3) UU PKP dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Muhammad Joni, kuasa hukum APERSI kala itu mendalilkan, ketentuan itu aneh dan tidak waras, karena melawan keadaan sesungguhnya. Bukankah hukum itu harus logis? Selain tentunya menghambat akses masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) memperoleh rumah, hak konstitusional dan HAM yang diakui konstitusi pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Apa alasan dan pendapat MK, berikut ini pertimbangan MK selengkapnya:
“[3.10.3] Bahwa hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak asasi manusia dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia [vide Pasal 28H ayat (1) UUD 1945]. Salah satu tujuan dibentuknya negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia [vide alinea IV Pembukaan UUD 1945].

Terkait dengan hak warga negara dan berhubungan pula dengan salah satu tujuan dalam pembentukan negara dimaksud maka negara berkewajiban untuk melakukan upaya-upaya dalam rangka mewujudkan terpenuhinya hak warga negara tersebut. Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman merupakan salah satu aspek pembangunan nasional, pembangunan manusia seutuhnya, sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan terpenuhinya hak konstitusional tersebut, yang juga merupakan pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang memiliki peran strategis dalam pembentukan watak dan kepribadian warga negara sebagai upaya pencapaian salah satu tujuan pembangunan bangsa Indonesia yang berjati diri, mandiri, dan produktif.

Sebagai salah satu upaya pemenuhan hak konstitusional, penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman adalah wajar dan bahkan merupakan keharusan, manakala penyelenggaraan dimaksud harus memenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain, syarat kesehatan dan kelayakan serta keterjangkauan oleh daya beli masyarakat, terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah [vide konsiderans (Menimbang) huruf a sampai dengan huruf d serta Penjelasan Umum UU 1/2011].

Terkait dengan syarat keterjangkauan oleh daya beli masyarakat, terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah, menurut Mahkamah, Pasal 22 ayat (3) UU 1/2011, yang mengandung norma pembatasan luas lantai rumah tunggal dan rumah deret berukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi, merupakan pengaturan yang tidak sesuai dengan pertimbangan keterjangkauan oleh daya beli sebagian masyarakat, terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Implikasi hukum dari ketentuan tersebut berarti melarang penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman membangun rumah tunggal atau rumah deret yang ukuran lantainya kurang dari ukuran 36 (tiga puluh enam) meter persegi. Hal tersebut berarti pula telah menutup peluang bagi masyarakat yang daya belinya kurang atau tidak mampu untuk membeli rumah sesuai dengan ukuran minimal tersebut.

Lagipula, daya beli masyarakat yang berpenghasilan rendah, antara satu daerah dengan daerah yang lain, adalah tidak sama. Demikian pula harga tanah dan biaya pembangunan rumah di suatu daerah dengan daerah yang lain berbeda. Oleh karena itu, menyeragamkan luas ukuran lantai secara nasional tidaklah tepat. Selain itu, hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana dipertimbangkan di atas adalah salah satu hak asasi manusia yang pemenuhannya tidak semata-mata ditentukan oleh luas ukuran lantai rumah atau tempat tinggal, akan tetapi ditentukan pula oleh banyak faktor, terutama faktor kesyukuran atas karunia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa;

[3.10.4] Menimbang bahwa sejalan dengan pertimbangan dalam paragraf [3.10.3], hak bertempat tinggal, hak milik pribadi [vide Pasal 28H ayat (4) UUD 1945] juga adalah salah satu hak asasi manusia.  Suatu tempat tinggal, misalnya rumah, dapat berupa rumah sewa, dapat juga berupa rumah milik pribadi.

Seandainya rezeki yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa barulah cukup untuk membangun/memiliki rumah yang luas lantainya kurang dari 36 meter persegi, pembentuk Undang-Undang tidak dapat memaksanya membangun demi memiliki rumah yang luas lantainya paling sedikit 36 meter persegi, sebab rezeki yang bersangkutan baru mencukupi untuk membangun rumah yang kurang dari ukuran tersebut”;

Dengan pertimbangan itu, MK memutuskan dalam amarnya bahwa:  “Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Selanjutnya, “Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.

Itulah kemenangan rakyat, bahwa hak konstitusi atas tempat tinggal seluruh rakyat, tak boleh dicegat dan dihambat!

Leave a Reply