Ayat Lantai Rumah
Gunawan merasakan kecewa tak jadi membeli rumah yang diimpikan. Meski 5 tahun menunggu, rumah idamannya yang mungil tak bisa dibeli karena harganya melonjak. Itulah kisah nyata yang diturunkan majalah mingguan Gatra No. 10 Edisi 12-18 Januari 2012, hal 32-33 dengan judulnya yang satir: “Orang susah dilarang punya rumah”.
Entah berkaitan atau tidak, sepekan kemudian, 24 Januari 2012 Asosiasi Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia disingkat APERSI maju ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Hajatnya tunggal, yakni mendaftarkan permohonan uji materil Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (”UU PKP”). Bunyi lengkap ayat lantai rumah yang hendak diujikan konstitusionalitasnya oleh APERSI adalah: “Luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi”.
Sejumlah empat pasal dari UUD 1945 dipakai untuk mengeliminasi konstitusionalitas ayat lantai rumah itu, yakni: Pasal 28 H ayat (1), Pasal 28 H ayat (4), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.
Lima bulan kemudian persidangan dituntaskan dengan memasukkan Kesimpulan, persisnya 2 Mai 2012. Kini tahap akhir pengujian ayat lantai rumah 36 meter persegi itu masih menanti pembacaan putusan MK. Tetapi, di level eksekutif berbagai kebijakan baru sudah dikeluarkan, termasuk Peraturan Menteri Perumahan Rakyat yang mengoreksi harga rumah sejahtrera. Konkritnya, menaikkan harga rumah sejahtera tapak, titik.
Fakta lain, di tengah penantian putusan akhir dari MK implikasi ayat lantai rumah sudah terasa buruk bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), yakni kenaikan harga pasar rumah sejahtera tapak. Menyusul itu, target pembangunan perumahan bagi MBR terkoreksi anjlok dari 600 ribu unit menjadi 130 ribu unit saja, seperti diwartakan Kompas, berjudul “Target Rumah Rakyat Direvisi Lagi”, 6 Agustus 2012.
Saya pun jadi terkenang lagi dengan prediksi Ketua Umum APERSI Eddy Ganefo, yang meyakini ayat lantai rumah itu biang meroketnya prediksi backlog beberapa kali lipat. Dari yang semula hanya 13,6 juta, dengan perhitungan Eddy Ganefo diperkirakan menjadi 48,96 juta (Investor Daily, 7 Agustus 2012).
Kua-konstitusi, hak bertempat tinggal dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 sehingga tak boleh dikurangi karena menyangkut hak esensial. Artinya, pemenuhan hak atas rumah sebagai tempat tinggal (untuk seluruh rakyat, bukan hanya MBR) merupakan kewajiban Negara, karena itulah tak boleh ada hambatan memperoleh hak atas rumah itu dengan adanya Pasal 22 ayat (3) UU PKP itu. Seluruh dunia dan bangsa beradab juga mengamini bahwa selain hak konstitusional, hak atas rumah adalah hak asas manusia (HAM). Pasal 40 UU Nomor 39/1999 berbunyi “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”. Demikian pula Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diterima oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948 melalui Resolusi 217 A Pasal 25 ayat (1). Yang teranyar adalah Deklarasi Habitat II yang mengakui bahwa rumah merupakan hak dasar manusia dan menjadi hak bagi semua orang untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau (adequate and affordable shelter for all).
Di pentas sidang MK, segenap saksi dan ahli yang dihadirkan APERSI serempak menolah ayat lantai rumah itu. Ali Tranghanda, Indonesia Property Watch, berpendapat, “Banyaknya minat rumah T.21 dibandingkan T.36 bukan berarti mereka tidak mau membeli T.36 melainkan karena daya beli mereka terbatas. Keterjangkauan daya beli masyarakat untuk rumah T.36 sangat terbatas. Banyaknya minat rumah T.21 dibandingkan T.36 bukan berarti mereka tidak mau membeli T.36 melainkan karena daya beli mereka terbatas”.
Praktisi perumahan yang juga mantan Ketua Umum APERSI, Fuad Zakaria bersaksi bahwa “80% dari konsumen yang hanya mampu membeli rumah dibawah tipe 36. 20%-nya diatas 36. 20%-nya diatas 36”. …Daya beli/cicil MBR dari tahun ke tahun terus menurun yang akhirnya menimbulkan tipe rumah mulai awalnya tipe 70; 45; 36; 29; 22 dan 18 (rumah inti tumbuh), menyesuaikan dengan ekonomi MBR, dengan prinsip tetap merumahkan yang secara bertahap dikembangkan sendiri sesuai dengan peningkatan ekonomi mereka”.
Tak mau ketinggalan, Mohammad Yusuf Asy’ari (mantan Menteri Perumahan Rakyat) berpendapat, “…Membatasi ukuran minimal 36m2 rasanya akan sangat memberatkan kaum duafa kita. ..bahwa lebih baik satu keluarga dengan satu anak punya rumah sendiri dengan luas lantai 27 m2 daripada satu rumah ukuran lantai 36 m2 tetapi dihuni dua keluarga yang sudah punya ank (jumlah warganya jadi 5 atau 6), atau satu keluarga suami istri dengan 4 anak.
Hal ini bersesuaian pula dengan pendapat mantan Menteri Perumahan Rakyat, Cosmas Batubara yang menyatakan, “Konsep dan kebijakan Rumah Inti (Core Hause) yang dapat dikembangkan (extanable) untuk mengatasi tingginya kebutuhan rumah, dan sesuai dengan daya beli masyarakat sehingga dapat meningkatkan target pencapaian pembangunan perumahan rakyat dan merumahkan rakyat. Dengan konsep Rumah Inti dibuka selebar-lebarnya kesempatan pembangunan perumahan rakyat dengan ukuran/type sederhana, termasuk type 18, 21, 27 dan 36 dengan luas kavling minimum 60 m2. …Oleh karena itu penetapan Pasal 22 ayat (3) UU No. 1/2011 perlu dikaji ulang dan perlu diberi kesempatan pembangunan rumah inti.
Pertanyaan logis yang patut diajukan adalah, mengapa ayat lantai rumah itu hanya untuk rumah tunggal dan rumah deret? Mengapa tidak diberlakukan bagi rumah susun? Bukankah rumah susun sudah tak bias dikembangkan lagi alias bukan rumah tumbuh? Mengapa tidak mempertimbangkan disparitas harga tanah ataupun NJOP? Mengapa tak mempertimbangkan indeks harga tanah antara pulau Jawa dan luar pulau Jawa? Mengapa tidak merujuk pada indeks kemahalan konstruksi (IKKt) dan indeks keterjangkauan konsumen (IKKn)?
Anehnya lagi, bobot dari muatan Pasal 22 ayat (3) UU PKP sangat mikro-teknis yang semestinya cukup saja diatur dalam ketentuan lebih rendah, sebagaimana sudah ada rujukannya dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 403/2002.
Kini kaum MBR makin terombang ambing dengan menaiknya harga rumah dan menurunnya target perumahan. Tak semestinya membuat norma Undang-undang yang melawan rasional dan hukum pasar. Harganya terlalu mahal dan merugikan rakyat.