Ayat Perumahan Rakyat (10): Jangan Abaikan Pemda
Tulisan Ayat Perumahan Rakyat [9] mengungkit kelembagaan yang mesti dibangun guna menciptakan sistem, bukan hanya penjumlahan kerja dan kerja.
Dari geliat Program Sejuta Rumah (PSR) diharapkan menghasilkan keluaran struktural yakni sistem perumahan rakyat yang terintegrasi.
Tak hanya mengurus “mesin produksi dan pencapaian jumlah rumah bagi MBR yang dihasilkan, namun sistem yang mengintegrasikan 5 Komponen Dasar Hak Bermukim (5 KDHB).
Siapakah pelakunya? Tentu Negara cq. Pemerintah. Yang dirumuskan sebagai kewajiban asli (genuine) Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pemda). Mengapa? Karena urusan perumahan rakyat adalah amanat konstitusi, dan diwajibkan kepada Pemerintah, yang selanjutnya menjadi urusan wajib daerah. Walaupun kemudian bergeser sedikit menjadi urusan “bersama”atau konkuren Pemerintah pusat dengan Pemda. Ada porsi Pemerintah pusat dan porsi Pemda.
Alasan lain, karena warga yang membutuhkan rumah berada di daerah, bukan di pusat. Masyarakat Berpenghasilan rendah (MBR) pekerja formal maupun MBR informal berada di daerah. Karena itu mengatasi backlog, demikian pula PSR mestinya menghasilkan keluaran struktural yakni sistem yang terintegrasi dan menguatkan Pemda.
Setakat diskusi perumahan rakyat, penulis mendalilkan perlu 86 tahun atasi backlog perumahan. Hal itu bukan agitasi dan tanpa argumentasi. Tanpa intervensi struktural, kebutuhan rumah makin menanjak tiap tahun. Disamping harganya makin naik tak terjangkau, karena daya beli dan daya cicil kelompok MBR.
Mengapa perlu sistem terintegrasi dan konkuren dengan Pemda? Jika merujuk Pasal 54 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2011 Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah untuk kelompok MBR. Selanjutnya ayat (2) pasal yang sama mendefenisikan kewajiban itu bukan hanya kepada Pemerintah namun mencakup Pemda.
Karenanya sudah kuat dasar Pemda wajib menyediakan fasilitas dan subsidi yang diamanatkan Pasal 54 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2011, sehingga tidak semestinya Pemda diabaikan dan tidak terkoneksi secara sistemik dengan program perumahan rakyat yang diselenggarakan Pemerintah pusat, misalnya PSR. Begitu juga ikhwal hunian berimbang, bantuan PSU, dan Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) alias bedah rumah, dan lain-lain. Ringkasnya, Pemerintah pusat jangan bekerja sendiri dan hanya menjadikan Pemda sebagai obyek sasaran program yang dirancang Pemerintah pusat sendiri.
Rujukannya? Lihatlah UU No. 1 Tahun 2011 yang mengakui tanggungjawab Pemda. Pemerintah dan/atau Pemda bertanggungjawab dalam pembangunan rumah umum untuk MBR [vide Pasal 39 ayat (1)]. Pemerintah dan/atau Pemda menugasi dan/atau membentuk lembaga atau badan untuk pembangunan rumah umum [vide Pasal 40 ayat (1)].
Pemerintah (termasuk propinsi dan kabupaten/kota) mempunyai wewenang melaksanakan kewajiban dan tanggungjawab merumahkan rakyat bagi MBR cq. rumah umum yang dinormakan dalam UU No. 1 Tahun 2011 [vide Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18]. Pemerintah daerah “wajib” memberikan kemudahan perizinan pembangunan rumah untuk MBR [vide Pasal 33 ayat (1)].
Jelaslah perumahan rakyat merupakan kewajiban genuine Pemerintah dan Pemda secara konkuren atau bersama-sama. Bukan kewajiban badan hukum privat sebagai nonstate actor. Kontrasnya? Jika badan hukum (swasta) dibebani “kewajiban” perumahan rakyat, misalnya hunian berimbang, hal itu dalam relasi sebagai penerima mandat (agent) dari Pemerintah selaku principal yang berasal dari kewajiban hukum Pemerindah dan Pemda.
Dengan relasi principal dan agent tersebut, maka badan hukum (swasta) tidak memiliki kewajiban dan wewenang idemditto seperti kewajiban Pemerintan dan Pemda. Karenanya, badan hukum (swasta) tidak dibebankan kewajiban yang melebihi kapasitasnya, dan tidak ada logika hukum kriminalisasi hunian berimbang kepada badan hukum (swasta).
Untuk memperkuat, apa lingkup kebutuhan Pemda? Setakat Rapat Kerja Housing and Urban Development (HUD) Instutute, 4-5 Maret 2016, di Bandung, Ketua Dewan Pembina HUD Institute DR. Muhammad Yusuf Asy’ari yang mantan Menteri Perumahan Rakyat mengarahkan pentingnya strategi lembaga itu mendorong peran sistemik Pemda. Tentu dengan rujukan hukum seperti di bagian awal tulisan ini.
Senada itu, Syarif Puradimadja, mantan Dekan Teknik Planologi ITB (1969-1979), yang juga Deklator HUD Institute menyitir pentingnya menguatkan Pemda. Lingkupnya? Menguatkan sumberdaya manusia, asistensi untuk menjamin keberlanjutan program (misalnya: PSR, hunian berimbang, PSU, bantuan stimuan perumahan swadaya,dll), konsolidasi lahan untuk perumahan rakyat, sinkronisasi data pusat-daerah, memicu peran serta masyarakat, termasuk mendorong rumah swadaya, dan membangun forum konsultasi yang efektif.
Digagas pula membuat rencana induk pembangunan perumahan rakyat, termasuk di daerah. Ketua Umum HUD Institute sendiri sudah menyikapi dengan agenda advokasi mendorong Pemerintah dan Pemda bersama stakeholder menyiapkan semacam Road Map Pembangunan Perumahan, Kawasan Permukiman termasuk Perkotaan.
Ringkasnya, urusan perumahan rakyat tidak selesai hanya dengan “Kerja Tahunan” PSR yang berbasis dan dikomandoi Pemerintah pusat semata, namun menggiatkan peran Pemda dan stakeholder di daerah.
Syukurnya, dorongan itu sudah membuahkan hasil. Misalnya Propinsi Banten sudah membentuk Kelompok Kerja Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman (K2PKP) dengan Keputusan Gubernur banten No. 648.0/Kep.7-Huk/2015, tanggal 28 Desember 2015. Unsur HUD Institute masuk di dalamnya, dan K2PKP membagi bidang kerjanya mengacu 5 KDHB ala HUD Institute.
Kabar baik lebih awal datang dari Propinsi Yogjakarta yang sudah lebih dulu membentuk kelembagaan yakni Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) sebagaimana dikabarkan Budi Prayitno, Ph.D, yang sejak 2015 memimpin Pokja PKP yang diangkat dengan Surat Keputusan Gubernur DI Yogjakarta.
Maksudnya jelas, untuk memperkuat Pemda dalam menjalankan agenda perumahan dan kawasan permukiman, termasuk dalam ikhtiar menggiatkan PSR.
Strategi memperkuat Pemda dengan membentuk kelembagaan Pokja PKP di daerah itu patut diduplikasi dan dikembangkan di seluruh daerah, dan kemudian mengintegrasikannya sebagai sistem nasional perumahan rakyat.
Selanjutnya melakukan penguatan kelembagaan dan kapasitas agar tangguh menjalankan urusan wajib konkuren perumahan rakyat.
Sehingga daerah dan Pemda tidak lagi hanya obyek “limpahan” program atau proyek dari pusat semata. Kritisi skim Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) alias bedah rumah yang dianggap membuat Pemda hanya menerima saluran biaya program, padahal tidak ikut merencanakannya.
Sekali lagi, Pemda mesti diperkuat dengan membangunkan sistem yang mengintegrasikan dengan program pusat.
Apalagi, masalah klasik ketersediaan anggran dalam APBN menjadi soal juga, semisal BSPS dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) menaruh harapan menguatnya peran Pemda melakukan duplikasi program untuk mengatasi kesenjangan anggaran.
Tentu tidak hanya meminta anggaran Pemda, beralasan jika Pemerintah pusat menyapkan diri sebagai pemampu (enabler) yang memfasilitasi penguatan sumber daya manusia, asistensi, dan advokasi kebijakan terhadap Pemda.
Analisa dan pandangan seperti di atas juga berlaku untuk PSR, hunian berimbang, bantuan PSU, kelembagaan perumahan rakyat di daerah, bank tanah, data dan informasi, serta pemberdayaan dan penguatan masyarakat.
Tersebab itu, mustahil menyelenggarakan urusan perumahan rakyat jika tidak memerankan Pemda.
Karena itu jalan sukses membangun perumahan rakyat dengan mengayam sistem terintegrasi antara pusat dengan Pemda sebagai urusan konkuren yang teranyam indah dengan struktural yang kuat.
Menjadi tikar kebersamaan yang tangguh, molek dan meluas demi kesejahteraan sosial atas rumah.
Namun demikian, merujuk Zulfi Syarif Koto, agenda memperkuat peran Pemda bukan saja mengayam relasi sitemik abtara Pemerintah pusat dan Pemda, bahkan menguatkan peranan pelaku pembangunan (pengembang), termasuk Perum Perumnas, dan lembaga pembiayaan yakni Bank Tabungan Negara (BTN), yang bersama Pemerintah/Pemda bersinergi menjadi 3 (tiga) pilar pembangunan perumahan rakyat. Tersebab itu beralasan jika pimpinan tertinggi Perum Perumnas dan BTN mengambil kebijakan memperkuat garda operasional di daerah.
Harapannya, hak konstitusional atas bertempat tinggal menuju jalan yang tepat. Tulisan “Ayat Perumahan Rakyat” dalam 10 seri ini hanya sebatang pohon dari belantara isu perumahan rakyat. Hanya satu serpihan ayat dari jutaan hektar belantara hukum perumahan rakyat.
Terimakasih dituturkan kepada Bapak Syafruddin, Pemimpin Redaksi TransIndonesia.co dan Bapak AR. Tanjung selaku Pemimpim Perusahaan yang memberikan ruang 10 seri Ayat Perumahan Rakyat. Sampai jumpa edisi berikut ikhwal hunian berimbang, tabungan perumahan rakyat, dan rumah susun.
Maaf untuk sang khilap, ampun tuk yang tak santun.
Oleh: Muhammad Joni [Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute]