Ayat Perumahan Rakyat (3): Mereformasi Perumnas
Indonesia adalah negara kesejahteraan, bukan negara “penjaga malam”. Karena itu, kesejahteraan rakyat termasuk atas tempat tinggal dijamin dalam konstitusi sebagai hukum tertinggi.
Tak dapat dibantah, sudah tugas dan takdir pemerintah sebagai eksekutif pelaksana hak konstitusi melakukan perbuatan aktif-positif memenuhi kebutuhan rumah bagi rakyat. Perbauatan aktif-positif untuk perumahan rakyat itu idemditto maknanya dengan angkat senjata menjaga tapal batas kedaulatan negara, menjaga merah putih.
Demi menjalankan amanat konstitusi itu, sudah tepat jika UU Nomor 1 Tahun 2011 Pasal 54 ayat (1) dirumuskan mengunakan frasa “wajib” bukan “dapat”. Frasa itu eksplisit mengikat pemerintah menyediakan rumah bagi masyarakat bepenghasilan rendah (MBR). Walaupun UU Nomor 1 Tahun 2011 lebih menitik beratkan tugas kementerian yang mengurusi perumahan rakyat fokus kepada MBR sebagai kelompok sasaran (target group), baik formal maupun informal.
Karena itu tidak usah tergopoh heran jika pemerintah mematok target penyediaan rumah umum, karena bisa dimaklumi Pemerintah diwajibkan UU Nomor 1 Tahun 2011 memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR. Soalnya, siapakah MBR dan bagaimana defenisi teknisnya? Tidak elok dan tidak adil memberikan fasilitas subsidi pembiayaan dengan bunga nonkomersial yang berbeda antara misalnya MBR kelas Rp2,5 juta dengan MBR kelas Rp4 juta.
Beralasan jika mendorong Pemerintah mengalokasikan anggaran yang lebih besar dalam APBN untuk perumahan rakyat. Termasuk pula memastikan rencana tata ruang dan wilayah untuk perumahan rakyat, penyediaan tanah, infrastruktur dasar, dan inovasi pembiayaan serta pembangunan fisik rumah itu sendiri. Syukur, Menteri Agraria dan Tata Ruang sudah mendesak Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang belum memiliki RTRW agar mengesahkannya.
Setakat rapat dengan Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Selasa, (1/3/2016), Menteri Ferry Mursidan Baldan mengaku sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) terkait itu bahkan dengan ancaman sanksi pidana dan perdata serta sanksi tambahan pencabutan wewenang tata ruang bagi pemerintah daerahyang melanggar.
Dari sisi aktor pelaksana, termasuk dengan melibatkan bahkan mengandalkan peran serta badan hukum atau pengembang swasta sebagai provider pemasok rumah dan secara kuantitatif tiap tahun mengevaluasi pencapainya.
Tercatat, tahun 2014 misalnya, Pemerintah menarget 57.000 rumah umum untuk MBR yang memperoleh fasilitas FLPP dari APBN sebesar Rp4,5 triliun untuk membiayai 57.792 rumah. Walau target tersebut masih belum mampu memenuhi kebutuhan rumah alias backlog, namun secara konsepsi pembiayaan perumahan rakyat dengan FLPP merupakan ihtiar kewajiban konstitusional merumahkan rakyat cq. MBR dan melaksanakan kewajiban genuine Pemerintah dalam UU Nomor 1 Tahun 2011 (lihat www.housing-estate.com).
Pada kenyataannya Pemerintah tidak membangun sendiri sebagai provider rumah umum untuk MBR, namun menyediakan fasilitas dan kebijakan. Target pembangunan rumah umum sebenarnya bukan pasokan yang disediakan oleh Pemerintah, karena yang membangun rumah umum adalah pengembang.
Menurut Ali Tranghada Ketua Indonesia Property Watch (IPW), Pemerintah diminta tidak gegabah dalam menetapkan target perumahan. Tetapi juga mesti memiliki perencanaan yang matang serta terintegrasi dengan baik, sehingga pelaksanaannya benar-benar dapat diwujudkan (http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/01/22/nikwmu-pemerintah-diminta-tak-gegabah-tetapkan-target-perumahan).
Pemampu
Akan tetapi, sejujurnya penetapan target pembangunan rumah umum tersebut masih dapat diterima, karena posisi Pemerintah memang bukan provider. Sudah semestinya pemerintah membatasi diri dan sungguh-sungguh sebagai pemampu (enabler) bukan langsung bertindak sebagai pelaku pembangunan perumahan rakyat.
Menurut Mohammad Yusuf Asy’ari, dalam ringkasan disertasi berjudul “Desentralisasi Fungsional dan teritorial Urusan Perumahan Rakyat (Studi Pada Perum Perumnas dan Kota Depok)”, hal.44, bahwa “saat sekarang Kemenpera memilih peran ganda, yaitu sebagai enabler dan sekaligus provider”.
Namun demikian pemerintah sudah memiliki badan Usaha Milik Negara (BUMN) Perum Perumnas yang diberikan mandat menyediakan kebutuhan rumah bagi MBR, akan tetapi Pemerintah disarankan perlu menambah lagi dukungan kepada Perum Perumnas dan membebaskannya dari target profit yang selama ini menyulitkan kiprahnya fokus di bidang perumahan rakyat.
Masih merujuk Mohammad Yusuf Asy’ari dalam ringkasan disertasinya, Perum Perumnas satu-satunya BUMN yang diserahi tugas sebagai provider pembangunan perumahan rakyat, namun perlu diperkuat lagi yang fokus pada perumahan rakyat.
Dengan posisi itu, Perum Perumnas terkesan berada di dua kaki antara menjalankan misi perumahan rakyat (public housing) dengan langkah korporasi mengelola perumahan komersial (commercial housing) yang memiliki paradigma berbeda.
Untuk mempercepat pembangunan perumahan rakyat, peran Perum Perumnas mesti diperluas dan difokuskan pada perumahan rakyat. Menurut pakar perumahan rakyat dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Jehansyah Siregar, Perum Perumnas semestinya “tidak lagi sebatas penjual rumah murah”, namun demikian “adalah keliru jika membebankan Perumnas untuk duduk dan bersaing dengan perusahaan “real estate”. (Jehansyah Siregar, “Memajukan Perumahan Umum, Mereformasi Perumnas”, Diskusi HUD Institute, Desember 2014).
Solusinya? Masih menurut Jehansyah yang Pengurus HUD Institute itu, Pemerintah bisa memberi tugas untuk 4 (empat) hal yakni:
Pertama, penyedia perumahan dengan pilihan penghunian dan ragam kolompok sasaran sehinga bertemunya ragam kebutuhan (meet the need) dan keterjangkauan (meet the affordability) di masyarakat.
Kedua, mengelola pengadaan lahan perumahan skala besar dan menengah sebagai ujung tombak pengembangan wilayah perkotaan.
Ketiga, pengelolaan kawasan dan bangunan (building and estate management).
Keempat, pemberdayaan masyarakat penghuni.
Untuk maksud itu, Jehansyah Siregar menawarkan pengembangan sistem hukum perumahan rakyat (public housing law), sistem kelembagaan (public housing corporation), dan sistem pembiayaan (public housing finance) yang terpadu.
Gayung bersambut. Merespon itu, Pemerintah gerak cepat memperkuat kelembagaan dan memperluas tugas Perum Perumnas dengan terbitnya PP Nomor 83 Tahun 2015 tentang Perum Perumnas.
Selain menjalankan kegiatan usaha, Perum Perumnas melakukan pengelolaan tanah, pelaksana program perumahan dan kawasan permukiman, serta pengelola rumah susun sewa (rusunawa) yang dibangun pemerintah. PP Nomor 83 Tahun 2015 memperkuat fungsi Perum Perumnas, karena Pemerintah ingin memfokuskan Perumnas untuk program penyediaan rumah bagi MBR. Walaupun efektifitasnya mesti diuji dan ditingkatkan.
Menyediakan rumah untuk MBR, memberi fasilitas bantuan prasarana, sarana dan utilitas umum, mengalokasikan fasilitas anggaran berupa FLPP, menyediakan tanah untuk rumah rakyat, itu beberapa contoh saja intervensi Pemerintah.
Walaupun penyediaan rumah untuk MBR dimaksud bukan sebagaimana halnya Pemerintah membangun sendiri sebagai provider atau pelaku pembangun, namun menyediakan kebijakan, fasilitas dan pembiayaan yang mendorong penyediaan rumah umum untuk MBR tersebut.
Pandangan sedemikian berasal dari penormaan dalam UU Nomor 1 Tahun 2011 Pasal 54 ayat (1) yang kua yuridis-formal menentukan bahwa, penyediaan kebutuhan rumah bagi kelompok MBR itu adalah kewajiban Pemerintah. Apabila norma itu ditarik ke lebih ke hulu lagi, maka kewajiban Pemerintah itu berasal dari kewajiban konstitusional negara yang diterakan eksplisit dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Sebagai bangsa kita patut bersyukur. Ternyata Indonesia bangsa yang modern, setidaknya isi dan bentuk konstitusi negara yang menerakan secara eksplisit dalam teks konstitusi bahwa setiap orang berhak atas tempat tinggal, alias hak atas papan atau dikenali kemudian sebagai hak bermukim (housing right).
Mewakili paham moderen, Prof Djoko Soetono dengan merujuk pendapat Struycken dan Grurys, konstitusi sama dengan undang-undang dasar (grondwet) yang tertulis. Isinya memuat materi fundamental atau hal-hal pokok saja. Kedua syarat konstitusi moderen itu ( tertulis dan berisi hal fundamental), terwujud dalam UUD 1945.
Gembiralah kita UUD 1945 memuat hak konstitusional bertempat tinggal secara tertulis dan eksplisit dalam Pasal 28H ayat (1). Pembuat konstitusi menyadari hak bertempat tinggal adalah hak yang fundamental dan sesuai dengan karakter manusia sebagai makhluk bermukim.
Kalau konstitusi disamakan dengan janji suci, yang dalam hukum tata negara disebut hukum dasar (ground norm), maka Negara sudah berjanji merumahkan seluruh rakyat dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Memasukkan hak bertempat tinggal dalam konstitusi Negara, hal itu memaknai hak bertempat tinggal atau hak bermukim bukan hanya sesederhana urusan teknis menyediakan bangunan tempat bermukim atau rumah. Namun bagian dari pengakuan dan penghormatan tiap-tiap manusia sebagai insan yang yang beradab dan memiliki derajat manusia. Dengan membangun hunian bagi masyarakat sebagai sarana terpenting menuju kesejahteraan rakyat.
Bagian ini menjelaskan betapa sahih, beralasan dan sudah “takdir” Pemerintah melakukan perbuatan aktif-positif menyediakan kebutuhan rumah bagi rakyat yang merupakan ayat konstitusional atas hak bertempat tinggal. Betapa mulianya menjadi Pemerintah memampukan stakeholder dan menyejahterakan MBR. Sumber
Oleh: Muhammad Joni [Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute]