Ayat Perumahan Rakyat (6): Kendalikan Harga Rumah Rakyat, Ini Jurusnya …..
Majelis pembaca TransIndonesia.co pasti setuju, selagi rumah bertapak dan dibangun di atas tanah, faktor tanah itu paling menentukan harga rumah. Tak terkecuali rumah umum yang disubsidi Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Demi melaksanakan kewajibannya, Pemerintah menyediakan rumah bersubsidi itu untuk MBR. Tentunya dengan memanfaatkan pelaku pembangunan, baik swasta maupun badan usaha milik negara (BUMN). Karena rumah umum bersubsi itu-lah, maka harga rumah umum itu dipatok Pemerintah. Lantas, siapakah yang mematok harga tanah untuk rumah umum bagi MBR? Berkuasakah Pemerintah mengendalikan harga tanah untuk rumah umum bagi MBR?
Andrinof Chaniago pernah mengungkapkan, harga tanah tiap tahun naik bisa mencapai 37% (HUD Magz, 1/2015). Sumber Majalah Property & Bank merilis kenaikan harga tanah di Jakarta, Bekasi, Bogor, Tangerang dalam kurun 10 tahun terakhir rata-rata mencapai 570,4% atau 57% per tahun (P&B, Edisi 112-2015). Masih menurut P&B, rata-rata kenaikan harga rumah di 4 (empat) kota itu mencapai 36%.
Faktanya, dengan dalih mengacu kepada pasar, harga rumah umum terus meningkat. Akibatnya terjadi kejar-kejaran yang tak seimbang antara harga rumah dengan kenaikan pendapatan alias daya beli MBR. .
Pembaca dapat menilai sejarah eksakalasi harga rumah untuk MBR berikut ini. Menurut data, harga rumah sederhana (RS) dan rumah sederhana sehat (RSS) mengalami kenaikan hingga 1500% dalam kurun 1997/1998 s.d 2009/2010. Tahun 1997/1998 harga RS sebesar Rp5,9 juta dan harga RSS sebesar Rp4,2 juta. Tahun 2009/2010, harga RS sebesar Rp80 juta dan harga RSS sebesar Rp55 juta (Zulfi Syarif Koto, “Politik Pembangunan Perumahan di Era Reformasi – Siapa Mendapat Apa?”, hal. 93).
Sementara rata-rata kenaikan Upah Minimum Propinsi (UMP) melambat sangat kontras kenaikan harga. Bandingkan UMP baru tahun 2011 mengalami kenaikan rata-rata sebesar 8,69% dibanding tahun 2011 (Kontan.co.id, “Upah minimum propinsi 2011 naik rata-rata 8,69%”). Apabila diakumulasi selama 10 tahun hanya mengalami kenaikan 86,9% per 10 tahun.
Kecenderungan menaikan harga rumah umum seakan tidak terelakkan oleh Pemerintah, padahal masih bisa diatasi jika Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengoptimalkan intervensi 5 KDHB dan jurus yang eksplisit disebut Pasal 54 ayat (2), (3) UU No. 1 Tahun 2011. Itu ikhtiar agar Pemerintah tidak dikendalikan pasar dalam menentukan harga rumah umum.
Menurut Zulfi Syarif Koto, eskalasi harga rumah umum bagi MBR seakan-akan tidak terelakkan karena menyesuaikan dengan kenaikan harga bangunan yang disebutnya sebagai Indeks Kemahalan Konstruksi (IKKt) yang tidak sebanding dengan Indeks Kemampuan Konsumen (IKK).
Lagi pula, untuk setiap daerah di Indonesia IKKt dan IKKn pada kenyataannya tidak seragam atau berbeda-beda sesuai kebutuhan dan kondisi daerah. Konkritnya harga semen di Jawa dan Sumatera berbeda jauh lebih mahal dengan di Papua, karena permasalahan ketersediaan barang dan transportasi.
Oleh karena itu Pemerintah wajib “turun tangan” mengintervensi pasar dan tidak pasrah dengan kenaikan harga rumah umum. Caranya? Dengan menggiatkan 5 (lima) komponen dasar hak bermukim (5 KDHB), yakni kepastian tata ruang, penyediaan tanah, infrastruktur dasar, pembiayaan, teknik & teknologi dan bangunan rumah. Intervensi 5 KDHB itu mesti berbeda dengan rumah komersial yang nonsubsidi, agar efektif mengendalikan harga rumah.
Walaupun tersedia pembiayaan perumahan rakyat dengan dana murah misalnya dari skim tabungan perumahan rakyat (Tapera), namun ketika harga tanah tidak dikendalikan maka harga rumah bagi MBR terus perkasa menjulang.
Menurut Parlindungan Purba, Ketua Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), penyediaan tanah yang mementukan harga rumah MBR dan ketersediaannya. Saat diskusi fokus UU Tabungan Perumahan Rakyat kerjasama DPD RI dengan Ikatan Alumni Univesitas Sumatera Utara (IKA USU) Jakarta, Parlindungan Purba mendorong disegerakan pembentukan bank tanah (land bank) untuk perumahan rakyat.
Tidak adil jika untuk merumahkan rakyat yang merupakan perintah Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, dan kewajiban genuine Pemerintah yang diperintahkan Pasal 54 UU No. 1 Tahun 2011, pembangunan dan penyediaan rumah umum justru dikendalikan pasar.
Mestinya pemerintah membuat kebijakan pro MBR sehingga adanya alokasi ketersediaan bahan konstruksi khusus rumah MBR, rantai perizinan yang berbeda dengan rumah komersial, harga tanah yang tidak sama dengan rumah komersial. Ringkasnya, Negara lewat Pemerintah mesti mengendalikan dan mengusahakan 5 KDHB sehingga ketersediaan dan harga rumah umum dapat dikendalikan.
Pemerintah didorong menginventarisasi segala hambatan pembangunan rumah umum, dan mengatasinya dengan seksama. Walaupun Program Sejuta Rumah (PSR) sudah mulai sejak tahun 2015 dengan intervensi pembiayaan yang merupakan salah satu KDHB.
Namun intervensi pembiayaan saja tidak cukup, dan perlu intervensi lain yang inovatif dan segera pada setiap turunan permasaahan yang diidentifikasi dari 5 KDHB. Jadikan PSR sebagai program strategis. Kalau dulu bisa menggerakkan seluruh komponen bangsa untuk program keluarga berencana (KB), mengapa tidak untuk program menyediakan rumah? Bukankah gerak cepat dan intervensi PSR lebih penting dan mendasar daripada program kereta cepat dan berbenah menyiapkan pesta olahraga ASIAN GAMES? Sumber
Oleh: Muhammad Joni [Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute]