Legal Drafting & Research

Ayat Perumahan Rakyat (9): Tanpa Sistem Kelembagaan, PSR Hanya Kerja Tahunan

Mengatasi Darurat Perumahan Rakyat dengan backlog yang mencapai 15 juta unit rumah, membutuhkan sistem yang melembaga. Siapakah pelaksana pembangunan perumahan rakyat?  Yang merupakan kewajiban konstitusional negara.

Bagaimanapun, pembangunan perumahan rakyat membutuhkan aktor pelaksana pembangunan (provider) yang menyediakan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), serta segenap urusan derivatifnya. Untuk mencapai target itu, lembaga mana yang diberikan mandat membangun perumahan rakyat untuk MBR?

Menurut data, pelaku pembangunan alias sektor nonpemerintah (swasta) merupakan pelaku pembangunan yang utama yang diandalkan dalam penyediaan rumah bagi MBR. Buktinya, mari telaah pelaku pembagunan program sejuta rumah (PSR)?  .

Menurut sumber HUD Magz, PSR  tahun pertama digarap dengan komposisi: Pemerintah membangun 98.300 unit rumah, Perumnas (36.016), REI (230.000), APERSI (15.000), ASPERI (18.000),  BPJS Tenagakerja (35.400), Pemerintah Daerah (30.000).  Realisasinya, hanya mencapai 70% saja. Uraiannya, 627.45 unit pembangunan baru dan rumah swadaya atau peningkatan kuaitas 72.690 unit.

Sementara itu menurut Panangian Simanungkalit, “…jika diasumsikan KPR untuk MBR rata-rata Rp 90 juta maka hanya dapat membiayai sekitar 111.000 unit rumah. Kemudian, bila 72 persen pembeli rumah menggunakan KPR, maka jumlah rumah yang terbangun seluruhnya hanya sekitar Rp 154.000 unit” (http://www.beritasatu.com/properti/316315-panangian-ragukan-angka-realisasi-program-sejuta-rumah.html).

Lantas, akankah pemerintah hanya melaksanakan prgram saja dengan mengandalkan pelaku pembangunan nonpemerintah dan BUMN?

Jika mengacu kepada Pasal 39 ayat (1) UU No.1 Tahun 2011, Pemerintah dan atau Pemda yang dibebani tanggungjawab pembangunan rumah umum, rumah khusus, dan rumah negara.

Untuk melaksanakan mandat Pasal 39 ayat (1) UU No.1 Tahun 2011   Pemerintah dan/atau Pemda menugaskan dan/atau membentuk lembaga atau badan yang menangani perumahan dan permukiman [vide Pasal 40 ayat (1), (2) UU No.1 Tahun 2011].

Mengapa pemerintah belum membentuk badan atau lembaga perumahan rakyat?  Bisa saja tugas itu diberikan  kepada  Perum Perumnas, namun perusahaan BUMN perumahan rakyat plat merah itu  mesti diperluas  mandat dan mission statement-nya. Agar fokus melaksanakan tugas tunggal perumahan rakyat.

Jika masih  BUMN murni yang di bawah kendali kementerian BUMN, sulit Perum Perumnas menjalankan amanat  Pasal 40 ayat (1), (2) UU No.1 Tahun 2011 karena dibebani target komersial.  Walaupun kinerja Perum Perumnas signifikan dalam penyediaan rumah umum bagi MBR, termasuk PSR.

Jika hendak menangguk sukses besar PSR dan membangun sistem kelembagaan, Pemerintah jangan ragu   membentuk lembaga atau badan perumahan rakyat, termasuk bertugas memproduksi rumah umum. Yang menyangga kebutuhan papan nasional, seperti halnya BULOG  menyangga kebutuhan pangan nasional.

HUD Magz mewartakan, di Singapore, rumah umum dikelola Housing and Development Board (HDB). Menurut data, 85% penduduk negara kota itu tinggal di HDB Flat. Prancis memiliki Habitation a Loyer Moderere (HLM) atau perumahan sewa murah.

Malah lebih maju lagi,  di sana urusan perumahan terintegrasi dengan perkotaan dan pertanahan, seperti Urban Renaissance (UR) di Jepang, Korean Land and Housing Corporation (KLHC) di Korea Selatan, dan Redevelopment Authority, di Singapore.

Absah dan mendesak menugasi atau membentuk kelembagaan semacam “BULOG” perumahan rakyat, sebut saja badan perumahan nasional  yang menyangga pasokan rumah umum, menjalankan sistem penyediaan (housing delivery system), bahkan mengelola  bank tanah (land bank), dan mengendalikan harga rumah umum (termasuk rumah susun umum).

Fungsi kelembagaan itu juga memastikan penerima manfaat dari kaum MBR tidak salah sasaran.  Tugas lain? Menggiatkan mekanisme peralihan, pengelolaan  hunian vertikal, dan kepenghunian.

Jika tidak? Dikhawatirkan PSR dan ikhtiar mengatasi backlog terkendala faktor kelembagaan. Tepatnya, produksi rumah terhambat  kapasitas “mesin” PSR yang menghendaki  produksi besar rumah mengatasi backog.

Namun, Pemerintah tetap perlu memanfaatkan peran pelaku pembangunan yang terhimpun dalam  REI, maupun APERSI dan lembaga sejenis untuk menyediakan rumah umum dan rusun umum bagi MBR formal. Mengapa? Itu beralasan kuat, karena penerapan asas kemitraan dan kebersamaan, serta menjembatani konsep hunian berimbang. Pada kenyataannya, pelaku pembangunan swasta masih dominan dan andalan.

Bagaimana dengan kelompok sasaran MBR informal? Diusulkan menggunakan  Koperasi yang menghimpun MBR informal.  Caranya? Kelompok sasaran MBR informal diwadahi dalam menjadi  Koperasi Perumahan Rakyat, yang bisa saja bergerak dalam simpan pinjam (KSP) atau Unit Simpan Pinjam (USP).

Melalui koperasi itu, MBR informal dijembatani dengan pelaku pembangunan maupun lembaga pembiayaan. Memang pekerjaan tambahan  melakukan fasilitasi, edukasi, dan pendampingan anggota  Koperasi dan lembaganya.

Mengapa? Karena perlu mengubah watak koperasi  yang hanya  Cooperative Society   menjadi Cooperative Enterprise yang kuat setara  badan hukum lain. Jadilah koperasi sebagai entitas usaha atau  Cooperative Enterprise bukan sekadar paguyuban, arisan, kelompok usaha tani yang masih  Cooperative Society. (Akhmad Junaidi & Muhammad Joni, “Kapasitas Badan Hukum Koperasi Dalam Melakukan Kegiatan Koperasi: Telaah Yuridis-Konstitusional”,  INFOKOP,  Vo.24 No. 2 – Desember 2014 : 44-53).

Dengan perancangan hukum tertentu dan disain inovasi pembiayaan untuk Koperasi informal berbasis komunitas sedemikian rupa, Koperasi Perumahan Rakyat bisa mengisi kesenjangan persyaratan administratif MBR informal yang selama ini gagal dijangkau lembaga pembiayaan. Caranya, dengan menjadikan MBR informal sebagai anggota Koperasi.

Bahkan, Koperasi dapat saja melakukan pembangunan rumah swadaya, perbaikan rumah, membangun rumah susun dan mengelola rusun untuk MBR informal yang nota bene anggota Koperasi itu sendiri.

Ringkas  kata, tidak ada halangan yuridis bagi Pemerintah membentuk kelembagaan menunjang PSR mengatasi backlog. Bahkan amanat hukum sudah jelas dan valid.

Kalau menjalankan  amanat Pasal 124 UU No. 1 Tahun 2011 ikhwal tabungan perumahan rakyat  Pemerintah bergegas-gegas mengesahkan UU Tapera, mengapa  enggan  bergegas  membentuk  kelembagaan perumahan rakyat? Ada positifnya, UU Tapera membuat sistem, walaupun organ kelembagaannya tidak valid  dan tak ada modelling-nya dibanding organ dana amanat lain seperti BPJS, Dana Pensiun, Badan Pengelola Keuangan Haji.

Majelis pembaca TransIndonesia.co yang bersemangat. Tak berlebihan penulis membayangkan  kehadiran kelembagaan perumahan rakyat di tahun 2016 ini. Sebut  saja namanya  Badan Perumahan Nasional, yang menduplikasi sana sini Housing and Development Board  (HDB) di Singapura.

Jika tidak? Tanpa kelembagaan perumahan rakyat, tanpa bank tanah, tanpa pelembagaan organ daerah, kuatirnya PSR hanya Kerja Tahunan saja. Tidak membuat sistem  terintegrasi perumahan rakyat (integrated system for public housing). Tidak mewariskan sistem kepada generasi bangsa.  Ironis, jika PSR hanya penjumlahan kegiatan, kerja, program, dan anggaran.

Oleh: Muhammad Joni [Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute]

Leave a Reply