Bahaya! Krusialitas Delik Aborsi: Stop RUU Kesehatan
Membuat hukum, apalagi sekelas Undang-undang (UU) kudu rasional. Dibaur dengan keadilan yang kental. Dari kajian kritis-komparatif Pasal 42 RUU Kesehatan dilaga dengan Pasal 251 KUHP baru, ada soal krusial. Ada kekacauan norma hukum. Ada bahaya yang ngeri, tak bisa ditoleransi.
Mengapa? Pasal 42 RUU Kesehatan menganut prinsip larangan aborsi. Namun dengan batasan alias pengecualian.
Dari naskah yang disiarkan, pengecualian dalam Pasal 42 RUU Kesehatan itu mengandung
ketidakjelasan rumusan norma hukum ikhwal aborsi, karena menggunakan kata “dapat”. Yang artinya bisa ‘iya’, pun bisa juga ‘tidak’ sehingga norma hukum yang tidak pasti. Kata “dapat”, dalam berbagai UU kerap diuji ke MK RI.
Norma larangan dalam Pasal 42 RUU Kesehatan itu, norma hukum atau norma tindak pidana (delik) yang tak bisa dilepaskan dari sumber hukum pidana materi yang utama: KUHP Pasal 251. Sehingga adanya lebih dari satu sumber hukum perihal delik aborsi. Tiada patuhi prinsip unifikasi. Jika KUHP baru dimaksudkan sebagai unifikasi dan kodefikasi hukum pidana, maka norma larangan Pasal 42 RUU Kesehatan itu adalah kriminalisasi yang mengalir lebih jauh. Atau, over dosis criminalization atas rumusan delik yang pokok perbuatannya serupa.
Sehingga menjadi ketidakpastian hukum (uncertenty of the law). Ini bahaya bagi HAM atas hak sipil dan politik atas perlindungan hukum dan hak konstitusi atas kepastian hukum yang adil.
Juga, norma larangan dan pengecualian atas Pasal 42 RUU Kesehatan itu gegabah. Karena bagaikan kapal trawl alias “jaring halus” kriminalisasi, yang mengancam subyek hukum tenaga medis dan kesehatan –yang profesi penolong (helping profesion). Tidak membedakan dan mengecualikan tindakan medis dari tenaga medis dan kesehatan –yang sudah sesuai standar-standar (medis, layanan medis, SPO) dan etika, sebagai alasan perlindungan aparatur medis-kesehatan.
Padalah ketika aparatur medis dan kesehatan bertindak sesuai disiplin medis yakni atas standar-standar dan etika, maka ijtihat saya: tidak ada sengketa medis, dan bukan sengketa disiplin medis, apalagi delik. Alias, a.k.a: tidak ada kesalahan (schuld). Asasnya: AVAS (Afwezigheid van Alle Schuld) atau: Geen Straf zonder schuld. RUU Kesehatan gagal bedakan mana norma etika, norma disiplin, dan mana norma hukum.
Bahkan Pasal 42 RUU Kesehatan itu adalah kriminalisasi subyek anak bawah umur 18 tahun, yang diperlakukan sama seperti pelaku (dader) orang dewasa. Pasal 42 RUU Kesehatan itu tidak sensitif hak anak, yang dijamin konstitusi Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dan Konvensi Hak Anak (UN’s Convention on the Rights of the Child) yang sudah diratifikan Indonesia tahun 1990.
Pasal 42 RUU Kesehatan itu gegabah dalam norma sanksi.Karena ancaman hukuman atas delik Pasal 42 aquo yang diatur dalam Pasal 448 RUU Kesehatan adalah: pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak kategori VI. Ada pula Pasal 460 RUU Kesehatan yang menormakan pemberatan hukum –apabila dilakukan korporasi. Jauh dan jauh lebih tinggi atau disparitas yang lebar dari rumusan sanksi Pasal 251 KUHP –yang hanya diancam hukuman pidana penjara 4 tahun atau danda kategori IV.
Ketahuilah, disparitas hukum sanksi adalah ketidakadilan hukum, juga tiadanya kepastian hukum yang adil.
Persoalan krusial lain yang tak kalah hebat adalah perihal kapan berlaku dan mengikatnya delik aborsi tersebut? Apakah norma larangan dan norma hukuman atas delik aborsi versi RUU Kesehatan itu ikut kepada saat berlakunya (R)UU Kesehatan, atau KUHP baru? Sehingga ada kesenjangan daya berlaku atas delik aborsi dari kedua sumber hukum itu.
Majelis Pembaca. Lepas dari debat dan pro kontra ikhwal norma larangan aborsi itu, yang jelas adanya fakta kekacauan perumusan norma hukum RUU Kesehatan. Krusialitas norma aborsi ini wujud nyata karena termasuk materi aksi damai ‘ASET BANGSA’ yakni penolakan RUU Kesehatan, dan tambahan pula tidak dilibatkannya ahli ikhwal ini semisal POGI yang bagian dari rumah besar IDI.
Demi kebaikan dan tertib hukum, maka beralasan jika publik dan profesi kedokteran dan kesehatan cq.5 Organisasi Profesi (IDI, PDGI, PPNI, IBI, IAI) mendesak petisi ini: hentikan pembahasan RUU Kesehatan!
Maka, tidak benar dan terbantah lah ujaran Juru Bicara Kementerian Kesehatan yang gegabah menyebutkan bahwasanya segenap aspirasi dan masukan IDI dan OP lain sudah masuk ke dalam DIM versi Pemerintah. Seakan sang Juru Bicara hendak nekat melakukan “aborsi” terhadap aspirasi, kritisi, pandangan dan masukan substantif 5 OP.
Bukankah aksi damai ribuan aparatur medis dan kesehatan meminta stop pembahasan RUU Kesehatan pada 8 Mei 2023 itu adalah bukti yang notoir feiten (bukti yang tidak perlu dibuktikan lagi) bahwa DIM versi Pemerintah cq.Kementerian Kesehatan nyata menihilkan sikap OP juncto kepentingan rakyat. Ini bahaya bagi perlindungan hukum dan kepastian hukum yang adil. Jangan remehkan. Goverment by public consent. Juga, Goverment by constitution. Bukan goverment to govern –yang seakan “pemerintah adalah hukum”. Kudu rasional dengan amanah konstitusi dan disiplin “tegak lurus” kepada kaidah hukum putusan MK RI. Berbudi baik kepada keadilan adalah saripati hukum. Tabik.
(Muhammad Joni, SH.MH., Advokat Pro Kesehatan Rakyat).