Land, Property & Housing Law

Bank Tanah Perumahan Rakyat: Menuju Kenyataan yang Omni?

Tak ada negeri di awan seperti syair manis Katon Bagaskara. Yang nyata hunian negeri bumi, seperti lagu ‘Godbless’ bertitel ‘rumah kita’. “Lebih baik di sini, rumah kita sendiri / Segala nikmat dan anugerah yang kuasa”, dari syair ‘rumah kita’ itu melagukan hak atas rumah untuk semua atawa omni –dari bahasa Latin. Yang musti dipenuhi tanpa diskriminasi. Meminjam kovenan internasional tentang ekonomi, sosial, budaya, bahwa hak atas hunian adalah anugerah hak sosial (granting of social rights) –adalah tugas negara(wan).

Selagi hunian tempat tinggal alias rumah bertumpu di bumi, maka tanah menjadi soal krusial dalam urusan perumahan-cum-perkotaan. Tak terbantahkan, defacto harga tanah mahal dan terbawa mekanisme pasar yang tidak efisien. Itukah etalase relasi kegagalan pasar (market failure)? Terlebih di kawasan perkotaan pun zona komersial, harga tanah melambung melampaui timbangan ekuilibrium. Seperti hendak ke negeri di awan harga menjejak.

Kapitalisasi nilai tanah sebagai barang modal –grafiknya acap bergerak melonjak. Nilai gunanya tak cuma seukuran persil lahan sekian kali sekian. Panorama indah pandangan mata, bahkan iklim udara bugar lingkungan sekitar, pun hadirnya molek awan cumulonimbus bercorak putih dan bertumpuk tebal; turut “dijual”. Koefisien ketinggian ruang ada harganya. Label indikasi geografis –lokasi, lokasi, dan lokasi– yang melekat dan dilekatkan pun demikian bernilai pula. Yang dikapitalisasi bukan hanya obyek lahan, namun lahan yang bugar-berdandan. Lokus properti yang bergengsi. Naming rights ada angka nilainya.

Rupanya bagi Eamonn Butler (2018), profit tak hanya uang. Tetapi juga pemandangan indah. Selain produktif, Pak Butler –yang Direktur lembaga think-thank Adam Smith Institute itu–, membangun narasi bahwa modal juga bersifat demokratis. Postulat saya: kota yang tertata-layak-cerdas, pun bahagia-berkelanjutan dan demokratis, adalah modal bagi (ekonomi) kota!

Faktanya, harga tanah melebihi relasi hukum permintaan dan penawaran. Ada seluk-beluk beraroma spekulasi. Akibatnya, eskalasi harga jual perumahan rakyat –dan sudah tentu rumah komersial– tidak mudah dikontrol. Apalagi belum ada badan penyangga penyedia perumahan rakyat, seperti “BULOG” yang menyangga bahan pokok. Karenanya perlu penyediaan tanah untuk perumahan rakyat. Ijtihat membentuk badan khusus bank tanah perumahan rakyat –bertahun-tahun tabah digemakan The HUD Institute.

Adakah bank tanah dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA)? Mari menelisik ketentuan UUPA. Ikhwal hukum tanah, pasti bertemali UUPA. Hukum yang mengatur pertanahan yang bertumpu pada “aturan pokok” yang diagungkan sebagai pemutus hegemoni hukum agraria (agrarish wet) produk kolonial Hindia Belanda. Apa ihwal yang membedakan UUPA dengan agrarish wet buatan Belanda?

Hal penting UUPA yang membedakan prinsip penguasaan tanah penjajahan Belanda adalah konsep Hak Menguasai Negara (HMN). Pada asasnya Negara bukan pemilik tanah. Tentu Negara bukan Pemerintah. Prinsip HMN dianut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa “Bumi dan udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara…”.

Merujuk Pasal 14 ayat (1) UUPA, diperintahkan membuat rencana umum persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah untuk (1) keperluan negara, (2) keperluan peribatan, (3) keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan, dan lain-lain kesejahteraan, (4) keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan, dan perikanan dan yang sejalan itu, (5) keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.

Majelis pembaca yang bersemangat. Untuk mengokohkan dasar hukum bank tanah, maka Pasal 14 ayat (1) UUPA mesti dimaknai sebagai norma yang hidup. UUPA sebagai hukum yang hidup (living laws). Mengapa? Sebab Pasal 14 ayat (1) UUPA yang terbit tahun 1960 belum bertemali langsung dengan hak konstitusional bertempat tinggal Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 (amandemen kedua) –yang merupakan penyegaran konstitusi via reformasi UUD 1945. K.C. Wheare (1966) yang menulis buku teks ‘Modern Constitution’ menyebut keinginan memulai yang baru dalam bernegara –yang terus bertumbuh itu– dengan “desire to make a fresh start”.

Mari periksa. Kua-yuridis formal Pasal 14 ayat (1) UUPA, tidak eksplisit menyebut persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah untuk perumahan dan permukiman. Oleh karena itu, beralasan jika harmonisasi norma yang menambahkan makna norma pasal itu untuk perumahan dan permukiman. Untuk menghidupkan dan menyegarkan Pasal 14 ayat (1) UUPA yang hanya menyebut “keperluan negara”, sehingga sahih dimaknai termasuk untuk perumahan rakyat (public housing).

Pun demikian bisa diharmonisasi ke dalam norma/ frasa “untuk keperluan pusat kehidupan masyarakat” dan norma/ frasa “untuk keperluan memperkembangkan industri”, dalam hal ini industri perumahan-cum-pembangunan perkotaan. Argumentasinya? Untuk memulakan “langkah segar” menumbuhkan hak bertempat tinggal Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 –menjadi konstitusi yang hidup (living constitution). Bukan hanya dokumen aspirasional yang senjang dari kenyataan.

Corak badan bank tanah yang nirlaba dengan fungsi sebagai pengelola tanah, tentu dengan maksud asli bagi persediaan tanah perumahan rakyat. Lebih dari itu hadirnya musti melonjak sebagai “to make a fresh start” menerobos backlog, semisal penyediaan 1 juta rumah susun perkotaan dalam 5 tahun (2020-2024) –yang sesayup ditargetkan BAPPENAS. Picu menyekrupkan badan bank tanah dengan badan percepatan pembangunan perumahan rakyat –sebagai suatu sistem nasional perumahan rakyat.

Seorang kawan dari forum jurnalis perumahan bertanya, dari mana sumber tanah yang dikelola badan bank tanah? Jawab saya, rujuklah sumber pertama dari UU-nya! Dalam klaster pertanahan UU Cipta Kerja Pasal 125 sampai Pasal 135 –yang diwartakan media setakat disahkan– tidak terang benderang menormakan asal sumber tanahnya. Tersirat, Pasal 126 ayat (1) huruf f yang menormakan “reforma agraria” –yang bisa bermakna sumbernya dari reforma agraria? atau untuk reforma agraria klaster perumahan?

Untuk mendukung investasi, badan bank tanah melakukan pengadaan tanah [vide Pasal 129 ayat (4) huruf c]. Di sini pun bisa menerbitkan tafsir ganda. Sumber kekayaan badan bank tanah dapat berasal dari (a) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; (b) Pendapatan sendiri; (c) Penyertaan modal negara; (d) sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan [vide Pasal 128]. Kalau-pun sumber tanah ditampung dengan norma penyertaan modal negara (PMN) versi Pasal 128 huruf c itu berupa tanah terlantar, tanah negara eks-HGU (dengan alas pemberian hak), namun frasanya tidak “bunyi” sebagai norma Undang-undang.

Status tanah yang dikelola badan bank tanah itu dihak-i dengan Hak Pengelolaan. Penting diucapkan mengapa UU Cipta Kerja tidak terang-terangan menormakan sumber tanah yang dikelola badan bank tanah berasal dari tanah terlantar, tanah aset pemerintah dan pemda, tanah eks-kewajiban redistribusi lahan? Semisal karena surat persetujuan prinsip pembebasan lahan/lokasi (SP3L) versi Kepgub DKI Jakarta No. 540/1990? Pun, mengapa belum mencakup Barang Milik Negara/Daerah (BMN/BMD) –yang tidak dikelola optimum, ataupun tanah sitaan, atau tanah cadangan umum negara. Akankah dikelola institusi baru dalam satu manajemen badan bank tanah? Atau, tetap dikelola seperti sedia kala?

Sebab itu, aturan turunan dan garis kebijakan bahkan norma standar masih bertumbuh, bercabang, bahkan bisa bersimpangan. Jangan sampai bertindih aturan dan kekosongan norma turunan. Dengan pembentukan badan bank tanah, konsep hukum dan garis kebijakan BMN/ BMD patut ditimbang lagi. Akankah UU Perbendaharaan Negara, di-Omnibus Law-kan pula demi “kapitalisasi” sebesar-besar kemakmuran rakyat? Pembaca, ucapan yang menumbuhkan harapan: “..kami memberikan tanah untuk rumah rakyat di perkotaan dengan harga sangat murah, bahkan gratis”, yang dituturkan Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil kepada media, Rabu (7/10/2020) –patut dicatat erat-erat sebagai “a fresh start” hak konstitusi atas hunian. Setara sebagai janji.

Akankah kita menuju klaster baru perumahan rakyat yang layak dan terjangkau? Hidup harmoni bersama di kota yang berkeadilan ruang. Seperti ‘rumah kita’ juncto ‘kota kita’ dari syair ‘Godbless’ yang berlagu bak negarawan, bahwa warga tak patut tergusur dari rumahnya, tersisih dari tanahnya, hilang dari ruang sosialnya, dan tak demokratis tersingkir dari kotanya. Kita mencatatkan harapan akan kiprah negara(wan) memastikan kesejahteraan perumahan –yang nyata, omni, kini, dan di sini! Tabik.

[Muhammad Joni, SH., MH. Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), pendapat pribadi].

Leave a Reply