Bank Tanah untuk Perumahan Rakyat (1)
Selain makhluk sosial (zoon politicon), kodrati manusia adalah “makhluk bermukim”, menempati ruang dan tempat tinggal. Selagi hunian tempat tinggal alias rumah bertumpu di tanah, maka tanah menjadi ihwal terpenting dalam perumahan rakyat. Namun, de facto, tanah mahal dan terjerembab ke dalam mekanisme pasar yang gagal. Khususnya di perkotaan dan kawasan komersial, harga tanah melambung. Kapitalisasi nilai tanah melampaui rasionalitas hukum penawaran-permintaan. Ada spekulasi dan “gorengan” harga yang nir-etis.
Akibatnya, eskalasi harga rumah rakyat dan rumah komersial tidak terkontrol. Apalagi belum ada badan penyangga penyedia pasokan rumah rakyat, seperti Badan Usaha Logistik (Bulog) menyangga ketersediaan dan harga sembako. Karenanya perlu penyediaan tanah untuk kepentingan perumahan rakyat. Bank tanah untuk perumahan rakyat mutlak diperlukan.
Termasuk perumahan publik (public housing) yang merupakan perumahan yang dibangun dan dimiliki Pemerintah sebagai wujud pelayanan publik, idemditto transportasi publik. Yang berbeda dengan konsep normatif rumah umum yang fokus untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pemda) wajib memberi kemudahan dan bantuan versi Pasal 54 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2011 (“UU PKP”). Walau term “wajib memenui kebutuhan rumah bagi MBR” tidak eksplisit kepada Pemda (vide Pasal 54 ayat (1) UU PKP).
Ihwal hukum tanah, kemanapun analisa hukum pertanahan dibawa, pasti berkiblat kepada Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) sebagai rujukan utama. Hukum yang mengatur pertanahan itu bertumpu pada “aturan pokok” versi UUPA yang diagungkan sebagai pemutus hegemoni hukum agraria (agrarish wet) produk kolonial Hindia Belanda. Apa ihwal yang membedakan UUPA dengan Agrarish Wet buatan Belanda?
Hal penting UUPA yang membedakan dengan prinsip penguasaan tanah zaman penjajahan adalah konsep Hak Menguasai Negara (HMN). Dengan HMN memberi wewenang mengatur (regulate; bestemming), dan menyelanggarakan (execution).
Mengatur apa? Mengatur ihwal peruntukan/penggunaan (use), persediaan (reservation), pemeliharaan (maintenance), hubungan hukum orang dengan tanah, perbuatan hukum mengenai tanah [vide Prof.Dr.AP.Parlindungan,SH., “Komentar atas UUPA”]. Pada asasnya Negara bukan pemilik tanah. Prinsip itu berasal dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara …”. Itulah dasar HMN dalam UUPA.
Dengan HMN itu, menciptakan wewenang untuk: (1) Mengatur dan menyelenggarakan penyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. (2) Mementukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. (3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Jika merujuk Pasal 14 ayat (1) UUPA, terdapat perintah membuat rencana umum persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah, yakni: (1) untuk keperluan negara, (2) untuk keperluan peribatan, (3) untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan, dan lain-lain kesejahteraan, (4) untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan, dan perikanan dan yang sejalan itu, (5) untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.
Mari kita teliti periksa. Kua yuridis formal Pasal 14 ayat (1) UUPA tidak eksplisit menyebut persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah untuk perumahan dan permukiman. Dalam hal ini perumahan rakyat sebagai public housing yang notabene status perbendaharaan milik Pemerintah, maupun perumahan rakyat sebagai rumah umum untuk MBR yang tersisip bantuan (subsidi) Pemerintah (dan Pemda), maupun rumah khusus dan rumah negara versi Pasal 21 UU PKP.
Oleh karena itu, beralasan jika harmonisasi atau bahkan review norma Pasal 14 ayat (1) UUPA yang menambahkan pemaknaan norma persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah untuk perumahan rakyat (rumah umum versi Pasal 21 ayat (3), ayat (6) Jo. Pasal 54 UU PKP) dan public housing yang notabene perbendaharaan milik Pemerintah untuk pelayanan publik. Public housing bisa jadi termasuk rumah komersial untuk non MBR. Dasar konstitusionalnya mengacu Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang mengakui hak konstitusinal atas bertempat tinggal, yang hadir belakangan setelah UUPA.
Hal ini untuk mengisi/melengkapi ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUPA yang hanya menggunakan frasa “keperluan negara”, mesti dimaknai termasuk keperluan negara untuk perumahan rakyat dan public housing.
Pun demikian bisa diharmonisasi ke dalam norma/frasa “untuk keperluan pusat kehidupan masyarakat” dan norma/frasa “untuk keperluan memperkembangkan industri”, dalam hal ini industri perumahan rakyat dan public housing. Di luar ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUPA, harmonisasi itu berguna melengkapi/sinkronisasi UU No.2 Tahun 2012 (Pasal 10).
Urusan siapa?
Tersebab itu, ikhwal pelembagaan bank tanah untuk perumahan rakyat, hal pertama yang perlu dimatangkan adalah harmonisasi dan terobosan landasan hukum ikhwal pelembagaan bank tanah perumahan rakyat, status kelembagaan, berikut lingkup tugas, fungsi dan wewenang, dan memastikan tata kelolanya.
Termasuk pula, pada bagian awal memastikan dan menyamakan pemahanan atas landasan hukum pelembagaan bank tanah perumahan rakyat, apakah sentralistis atau urusan yang diserahkan otonom kepada daerah, atau urusan konkuren antara pusat dan daerah dengan telaah UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, andai hendak menjustifikasinya lebih berat sebagai urusan Kementerian Dalam Negeri.
Atau, apakah pelembagaan bank tanah masuk lingkup Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) dengan mengacu UUPA dan UU No. 2 Tahun 2012 yang memberikan titik berat pada urusan tata ruang dan pertanahan? Ataupun masuk portofolio dalam lingkup perumahan rakyat dengan mengacu UU PKP yang lebih berat sebagai urusan perumahan rakyat? Pada titik ini tingkat kesulitannya, karena adanya arsiran portofolio dan landasan hukum bank tanah perumahan rakyat yang memerlukan posisi final Pemerintah guna mengatasi pertautan wewenang. Yang terbit sebagai kebijakan Presiden sebagai pemegang kekuasaan negara (state power) atas pemerintahan (eksekutif).
Apapun itu, kua praktik berlaku dalil ushul fiqh yang acap dianut eksekutif, bahwa pemerintah mengerjakan apa yang sudah jelas tugas yang diperintahkan dan ada aturannya.
Mengapa? Sebab, setiap Menteri Kabinet sebagai pembantu Presiden tugasnya diterakan jelas, tertata dan dibagi habis dalam Peraturan Presiden tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja. Walaupun landasan hukum bank tanah perumahan rakyat sudah ada, akan tetapi pelembagaan, tugas dan fungsinya memerlukan Peraturan Presiden (Perpres) untuk formalisasi tugas dan fungsi itu kepada Menteri sebagai pembantu Presiden. Pertanyaannya, Presiden menerbitkan Perpres kepada Menteri mana?
Oleh: Muhammad Joni – Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Managing Partner Law Office Joni & Tanamas.