Bank Tanah untuk Perumahan Rakyat (2)

Adakah urgensi dan dasar hukum bank tanah perumahan rakyat? Mari merujuk program ke-3 dari 4 (empat) program strategis Menteri Agraria dan tata Ruang (ATR)   Sofyan Djalil yang eksplisit menyatakan akan membentuk bank tanah (land bank). Ikhwal program strategis itu disampaikan di hadapan ratusan pelaku usaha properti dan perbankan setakat berbicara pada helat “Indonesia Property & Bank Award (IPBA) 2016 (www.m.liputan.com) “Ini 4 Program Strategis Menteri ATR Sofyan Djalil”). Karena disampaikan dihadapan publik dan diliput media, maka hal itu idemditto substansi kebijakan Pemerintah!

Kebijakan Pemerintah ikhwal pembentukan bank tanah mestilah diarahkan bagi persediaan tanah untuk perumahan rakyat dan public housing. Walaupun untuk kepentingan perumahan rakyat dan public housing tidak dinormakan eksplisit dalam norma/frasa Pasal 14 ayat (1) UUPA, namun secara substantif tidak ada halangan karena dapat merujuk ketentuan Pasal 105 ayat (1) UU PKP.

Karena itu sangat beralasan jika menambahkan frasa “wajib” kepada Pemerintah dan Pemda menyediakan tanah untuk perumahan rakyat dalam ketentuan Pasal 105 ayat (1) UU PKP. Tidak hanya sekadar “bertanggungjawab”. Agar konsisten dengan norma/frasa “wajib” dalam Pasal 54 ayat (1) UU PKP yang berbunyi “Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR”. Caranya? Melalui legislative review dalam RUU Pertanahan melengkapi UUPA atau judicial review atas Pasal 14 ayat (1) UUPA.

Mengapa wajib penyediaan tanah untuk perumahan rakyat? Kua konstitusi, itu amanat Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Pun demikian Pasal 40 UU Nomor 39 Tahun 1999 (UU HAM) menormakan hak bertempat tinggal sebagai HAM. Lebih eksplisit lagi, Pasal 54 ayat (2) UU PKP mewajibkan Pemerintah dan/atau Pemda memberi bantuan dan kemudahan. Digenapkan ayat (3) yang menerakan secara limitatif kemudahan dan/atau bantuan bagi MBR, termasuk: (f) penyediaan tanah.

Jadi, penyediaan tanah untuk perumahan rakyat (dan public housing) dibaca sebagai kewajiban Pemerintah dan Pemda. Pemaknaan sedemikian bisa menjadi dasar hukum bagi pelembagaan bank tanah.

Selain alasan yuridis konstitusional, juga adanya alasan sosiologis bahwa saat ini sudah dalam keadaan darurat perumahan rakyat sebagaimana pernah dinyatakan   HUD Institute, karena angka backlog mencapai 15 juta dan 3,4 juta unit rumah tidak layak huni.

Senada itu, Anggota Komisi V DPR RI Yoseph Umar Hadi mengatakan Negara dalam keadaan darurat perumahan rakyat, karena tidak bisa memenuhi kebutuhan rumah untuk rakyat. Untuk itu diperlukan kebijakan strategis yang mendesak. (http://properti.kompas.com/read/2013/09/25/1019203/Indonesia.Darurat.Rumah.Rakyat).

Selagi rumah bertapak di bumi, maka persedian tanah untuk perumahan rakyat tidak bisa dibiarkan murni lewat mekanisme pasar bebas. Penyediaan tanah untuk perumahan rakyat mesti diintervensi Pemerintah. Karena itu bank tanah memiliki justifikasi yang kuat.

Landasan konstitusionalnya mengacu Pasal 28H ayat (1), Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.  Secara normatif, dasarnya bisa dipakai Pasal 54 ayat (1), ayat (2), ayat (3) huruf f Jo. Pasal 21 ayat (3), ayat (6) Jo. Pasal 105 ayat (1) UU PKP. Termasuk pula Pasal 10 huruf o UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk kepentingan Umum (“UU No. 2 Tahun 2012”), walaupun hanya untuk rumah MBR status sewa. Karenanya sudah kuat dasar hukum bank tanah untuk perumahan rakyat. Tunggu apa lagi? Yang ditunggu keberanian terobosan segera Pemerintah.

Kewenangan siapa? Pertanyaan itu ditemukan jawabannya dalam UU No 2 Tahun 2012. Karena itu absah jika salah satu cara lembaga bank tanah menguasai tanah dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, tepatnya perumahan rakyat dan public housing. Apalagi penyediaan tanah (melalui bank tanah) salah satu ihtiar melaksanakan kewajiban Pemerintah dan Pemda memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR. Pengadaannya dilakukan Pemerintah, dengan status kepemilikannya oleh Pemerintah Pusat dan Pemda (Pasal 11 ayat (1) UU No.2 Tahun 2012), atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) (Pasal 11 ayat (2) UU No.2 Tahun 2012). Kewenangan pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum versi UU No. 2 Tahun 2012 itu, hemat penulis berbeda dengan atau tanpa membentuk bank tanah seperti program strategis ke-3 dari Menteri ATR Sofyan Djalil, yang sebenarnya sudah digariskan dalam RPJPN 2005-2025.

Lingkup fungsi dan wewenang bank tanah? Tak hanya menguasai dan memiliki tanah, namun bisa berkembang pada mandat lebih detail untuk mengatasi backlog dan berujung pada rencana strategis dekomoditifikasi tanah.

Untuk maksud itu, bank tanah bisa dikemas menjalankan fungsi penghimpun tanah (land keeper), pengaman tanah (land warantee), pengendali penguasaan tanah (land purchaser), pengelola tanah (land management), penilai tanah (land appraisal), penyalur tanah (land distributor), dan tentunya pengendali harga tanah.

Bahkan diberikan hak prioritas membeli tanah (preemption rights) seperti di Prancis. Preemtion rights itu juga diamini Parwoto, pakar perumahan komunitas (Majalah HUD Magz, Edisi 5/2015).

Untuk keperluan itu, sumber tanah bisa dari tanah terlantar, tanah aset pemerintah dan pemda, tanah fasos/fasum atau PSU, tanah ex-kewajiban redistribusi pengembang perumahan, tanah aset BUMN/BUMD, tanah sitaan, ataupun dengan pengadaan tanah.

Siapkah Pemerintah menyegerakan lembaga publik bank tanah? Yang pasti RPJPN 2005-2025 sudah memasukkan pembentukan kelembagaan bank tanah. Kalau merujuk program strategis Menteri ATR  membentuk bank tanah, perlu advokasi bank tanah untuk perumahan rakyat dan public housing, bukan melulu untuk membangun kota-kota jadi moderen dan sesuai tata ruang semata.

Karena bisa jadi perencanaan perumahan dan permukiman (perkim) terlupakan,   pun demikian banyak kasus penggusuran sebagai konflik merebut ruang yang cenderung demi tata ruang justru tajam ke bawah. Tidak bijak jika ikhwal peruntukan tanah, pun demikian tata ruang hanya mengabdi demi tata ruang, bukan demi kepentingan rakyat agar tidak ada kelompok rakyat yang tertinggal dalam pembangunan perkotaan.

Lagi pula hal itu sesuai komitmen universal. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)  rajin membahas Agenda Baru Pembangunan Perkotaan (New Urban Agenda-NUA). Salah satu dasar isu penting yang diangkat adalah meningkatkan kualitas hidup masyarakat yaitu “No one left behind”(tak seorangpun yang akan tertinggal). Penting  ditambahkan, konferensi Habitat III  yang bertemakan  Leave No one Behind, Urban Equity and Poverty Eradication maka kota dituntut untuk berpihak  pada semua kalangan terutama kaum kaum marginal.

Parwoto, pakar perumahan komunitas, menyebutkan kota lebih banyak mengeluh dan mem-punish  warganya dengan menggusur, digaruk dengan operasi justisi. Kota perlu inklusif kepada semua kelas warga. Otoritas kota perlu membuat kawasan pemberdayaan yang mendidik warga agar menjadi good citizen dan kemudian menjadi produktif. Hal itu diungkap Parwoto saat Diskusi inovasi pembiayaan perumahan rakyat yang digelar HUD Institute, 11 Agustus 2016, di Ancol, Jakarta.

Kembali ke soal bank tanah. Lebih dari itu sekadar membentuk bank tanah, tersisa pertanyaan mendasar akankah program strategis bank tanah itu mampu signifikan meredakan kapitalisasi tanah yang tidak rasional? Rakyat menunggu langkah besar ala “revolusi mental” Pemerintah! Berharap kepada “Indonesia Kerja Nyata”.

Dirgahayu HUT RI ke-71 dan hari Perumahan Nasional (Hapernas) 25 Agustus 2016.

Oleh: Muhammad Joni – Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Managing Partner Law Office Joni & Tanamas.

Leave a Reply