Bapak Kedokteran Moderen Ibnu Sina Takut Sapi?
by: Muhammad Joni
Saya berhasrat jumpa Ibnu Sina. Tatkala bersyafar ke kota Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Kota otentik itu tempat kelahiran “Bapak Kedokteran Moderen”, amba taknak bertemu sapi. Di zamannya, dia sosok manusia paripurna. Digjaya karena akalnya. Dia dokter dari dokter, dia ternama karena power akalnya.
Bekennya nama Ibnu Sina melewati langit Bukharo. Pun melampaui negeri Isfahan, sekarang Iran. Dia adalah “mutiara sejarah” bersegi banyak: dokter, peneliti, ilmuwan, pengajar, pengembara, penulis sbanyak buku bermutu, mungkin lebih banyak julukan lagi.
Jamaah dan muridnya lebih banyak lagi. Jangan dilupakan, dia pejabat pada banyak kerajaan, di jamak kawasan.
Bukunya yang masyhur: ‘Al Qanun fi al-Thibb’, wajib sebagai bacaan. Ketika merasa buntu ikhwal telaah suatu ilmu, dia pergi sholat. Berdialog dengan Tuhan.
Lengkaplah Ibnu Sina sang dokter dari dokter itu sosok cemerlang. Dia yang dicari dan dia yang dipuji. Namun kisahnya menawan, walau acap kali ditawan. Malah dipenjarakan. Berat tatkala dipisahkan dari buku dan pena.
Ibnu Sina pernah ditahan penguasa yang paling berkuasa di zamannya. Menjadi tawanan benteng lapis tujuh. Novel-biografi mengambil judul serupa: ‘Tawanan Benteng Lapis Tujuh’ karya Hussain Fattahi amba khatamkan sekali baca; ya.. demi memahami siapakah jiwa sang dokter? Demi memahami “akar” profesi dokter, yang acap menjadi klien saya.
“Akar” profesi dokter –sebagai praktisi dan ilmuwan kedokteran– yang diakui dan diistimewakan dari kaidah jamak Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) di negeri ini. Menurut yurisprudensi MK, profesi dokter istimewa karena terikat tiga norma: etika, disiplin, hukum.
Bahkan tarikh Ibnu Sina itu “mutiara medik” yang mengajarkan sejarah mengembara negeri dan kota, kausal peperangan antra saudara, sebab penghianatan masih ada, alasan merawat kesetiaan, protes pajak kota yang dinaikkan, cinta yang diagungkan dan kiatnya menulis buku-bukunya dengan seksama, walau dalam tekanan dan pengejaran lawan. Bukan hanya ikhwal racikan obat baru Zanthoxylum budrunga, konsep peredaran darah, ilmu bedah menjahit luka, dan “a-b_c” kedokteran. Juga, kaidah hukum, intrik politik, dan bahkan tata negara.
Kawan, ijinkan saya menyebut nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali al-Husein bin Abdullah bin Hassan Ali bin Sina.
Ijinkan amba mengajak jamaah kelab pengguna akal ini membacakan al ummul Qur’an: al Fatiha. Sembari menyebut sumbangannya pada akal sebagai “mutiara sejarah”, Ibnu Sina mutiara pengasuh nyala hidup berakal yang tak pernah takut.
Sejawat, mau tahu cara menarik ala Ibnu Sina mengobati pasien? Dengan lebih dulu mencari tahu dalam-dalam siapakah pasien itu? Ibnu Sina diperintahkan paduka mengobati pasien tak biasa. Dia dari keluarga Amir Syamsul Ma’ali. Apa diagnosa yang dijatuhkan padanya? Pasien mengalami gangguan syaraf yang tak biasa. Dia tidak mau makan. Jika sakit tak mau makan, aha.., itu biasa.
Tapi ini tak biasa-biasa. Ini ajaib. Jangan pingsan kawan hatta mendengar musababnya. Karena dia menganggap dirinya seekor sapi. Jika dia mau makan, dia (maaf) mamamah seperti sapi. Bahkan sering tidak mau makan.
Dituliskan dalam kitab Fi ‘Ilm An-Nafsi, Ibnu Sina bukan mengobatinya dengan memberi obat supaya mau makan. Bukan disuruh jalan-jalan dibiayai sultan. Namun Ibnu Sina yang cerdas ikhwal jiwa, merangsang jiwa pasiennya. Merangsang dari dalam dirinya untuk mau makan. Agar gemuk, dan sehat.
Ibnu Sina melakukan pengobatan secara psikosomatis pada jiwa sang pasien. Padahal jiwa tidak empiris. Nirbendawi. Bagaimana pula jiwa hendak diobservasi dengan perkakas indrawi via bola mata manusia?
Berikut ini dikutip dialog seorang pasien dari keluarga Amir Syamsul Ma’ali dengan dokter Ibnu Sina. Ayo kita makan.
“Saya adalah sapi, minta dihidangkan menjadi santapan manusia”, kata pasien.
“Kamu mau disembelih?”, jawab Ibnu Sina.
“Ya! Dokter potonglah leherku ini!, tegas pasien.
Ibnu Sina mengikat kaki dan tangan pasien. Mengambil parang tajam, bersiap menggorok leher pasien. Pasien yang telah diikat kaki dan tangannya itu dibaringkan di dipan.
Parang sudah erat dipegang dokter. Setakat parang hendak mengenai leher pasien, dokter itu berkata.
“Saya mau menyembelihmu, tapi sayang jika sapi kurus ini disembelih. Siapa yang mau makan tulang kurus yang tidak ada dagingnya?”, ujar sang dokter.
“Dokter, sembelih saja, sapi ini siap disemelih”, lanjut pasien.
Ibnu Sina tak kalah nyala akal budi, sembari menimpali. “Baik, saya akan menyembelih kamu, tetapi saya akan menunggu sampai sapi ini gemuk dahulu, supaya dagingnya yang empuk dapat dimakan dengan lezat oleh manusia”.
Pasien merenung, lalu berkata. “Baik, saya mengikuti dokter asal dokter berjanji akan menyembelih saya.
Tetapi bagaimana caranya supaya menjadi gemuk terkebih dahulu?”
“Kamu harus makan dan minum banyak lebih dahulu dengan teratur sebagai halnya setiap orang makan dan minum”, saran Ibnu Sina kepada pasien itu.
“Kalau saya sudah makan dan minum sehingga saya menjadi gemuk, betulkah dokter nanti sembelih saya?”, tanya pasien itu dengan maksud meyakinkan.
“Ya, pasti saya akan menyembelih sapi yang sudah gemuk itu”, tegas Ibnu Sina.
“Baiklah, saya akan makan dan minum sebagaimana dokter minta sampai saya gemuk”, kata pasien.
Majelis pembaca. Ketika kondisi pasien pulih membaik, Ibnu Sina datang lagi dan bermaksud menyembelih pasien “sapi” yang sudah sehat.
“Saya datang memenuhi janji saya dahulu”, kata Ibnu Sina.
“Janji apa maksud dokter”, jawab pasien.
“Janji menyembelih sapi ini kalau sudah gemuk kembali dan dagingnya sudah banyak supaya enak disantap manusia”, jelas Ibnu Sina.
“Tidak dokter, sapi sudah cerdas dan mempunyai akal kembali. Sudah sehat seperti sedia kala”.
Kisah dialogis itu dikutip A.R. Sholibul Ulum, dalam buku Ibnu Sina – Sebuah Biografi, (Yogjakarta: Sociality, 2019)., hlm. 107-109. Itulah dialog yang menggambarkan cara pengobatan Ibnu Sina.
Cara yang mengagumkan dan tak diduga Amir Syamsul Ma’ali, yakni dengan cara penyelidikan ilmu jiwa yang kemudian dikenal dengan psikosomatis.
Majelis pembaca. Perihal eksistensi jiwa manusia ini (an-nafsul an-natiqah), bagi Ibnu Sina memiliki daya praktis pada badan dan daya teoritis; yang berhubungan dengan daya abstrak dan memikirkan hal-hal abstrak (intelectual in habit), akal aktual dan bahkan akal mustafad tentang hal-hal abstrak yang diperoleh tanpa daya upaya.
Lantas, bagaimana kita? Bertanduk atau berakal? Adakah tanduk yang berakal? Bernarasi tapi bertanduk atau dialog yang berakal? Patik berliterasi karena tak hendak menjadi sapi! Pasien yang sakit itu karena apa? Karena penyakit, kurus tak makan, merasa dirinya sapi, atau karena mati akal? Nyeri pinggang (low back pain) karena sakit, atau salah cara duduk, atau gaya hidup berubah drastis?
Rekomendasi esai mungil ini: hidup-lah dengan komunitas yang menghidup-hidupkan akal, anda sehat wal afiat dan sejahtera.
Walau perjalanan dinas 50% dikurangi, kudu anggota kelab ini menziarahi “mutiara” Ibnu Sina. Jangan takut mendokterkan hasrat makan lazat cita rasa petuah berakal, itu antusiasme apik menghadang fatig fisik pun nirfisik di era digitalisme.
Merawat akal, cara jitu melawan “candu” judi digital tak berbudi bertanduk panjang. Selamat, anda tak takut “memakan” narasi mimpi. Yang Amat Terpelajar Ibnu Sina; patik tak takut kepada sapi, dia punya tanduk namun tak punya akal.
Nanti malam usai buka puasa, akal saya mengajak makan gulai kepala sapi, lanjut dengan acara majelis akal. Jangan sampai lupa membahagia-kan akalmu kawan, dengan yakin berusaha mengikutinya. Tabik. (Advokat Muhammad Joni)