BATAS LANGIT, FRAUD JKN TANPA PAGAR

by: Muhammad Joni

Suaranya perlahan, marganya Situmorang, senyum selalu merekah, hatinya selembut salju. Namun pemilik nama lengkap Dr. Chazali Husni Situmorang itu keras dalam sikap-cum-pendapat. Apalagi ketika menyoal jaminan kesehatan nasional yang menjadi bidang kepakarannya.

Masih menyala isu bola panas dugaan kecurangan atau Fraud yang ditaksir 20 Triliun, memanaskan telinga BPJS dan tentu saja rumah sakit dengan tulisan bertitel “BPJSKesehatan dan Bola Panas Fraud 20 Triliun”. Tokoh senior CHS yang pernah Sekjen Kementerian Sosial, Deputi Kemenko Kesra, dan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) itu berhasil menampik Fraud dengan mendalilkan: Distorsi Persepsi!

Bang Chazali berargumen sahih. Dia terampil menampik lajunya bola panas, dan terlebih dia punya reputasi historis sehingga bebas konflik kepentingan.

Ohya, sebagai latar analisa bahwa warta media menyebutkan Fraud 20 Trilun menjadi bias. Angka itu sempat dikemukakan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pada acara formal yang bertitel Pertemuan Nasional Fasiltas Kesehatan BPJS Kesehatan, di Jakarta, 19-9-2024.

Benarkah data itu? Atau dugaan semata? Atau Distorsi Persepsi, seperti diagnosa Bang CHS.

Jika mencerna dari konten berita, angka Fraud 20 Triliun itu tidak disebutkan dari hasil pemeriksaan BPK atau BPKP ataupun KPK yang badan anti rasuah, namun hanya perkiraan kekira 10% saja.

Mengutip situs Bisnis.com, diperoleh keterangan: “Tadi saya bincang-bincang, kira-kita pengeluaran masyarakat di Indonesia berapa untuk layanan kesehatan, di atas Rp200 triliun. Kalau kita ambil 10%, itu berarti Rp20 triliun kerugian masyarakat yang diakibatkan oleh fraud di bidang layanan kesehatan”.

Menguji pernyataan itu, periksalah narasi, frasa diksi dan angka yang dipakai Marwata. Presisikah? Mengapa bernarasi dengan frasa “bincang-bincang”, pun “kira-kira”? Dari mana sumber mengajukan angka 10% itu, dan bisa menjelaskan keseriusan yang kudu dipublikasikan?

Jika itu bersumber dari hasil monitoring, akankah itu tidak prematur; yang menyentuh area sensitif bagai bola liar; yang bisa membuat gaduh?

Memang, KPK termasuk bagian dari kelembagaan yang dibentuk dengan Permenkes Nomor 16 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Kecurangan serta Pengenaan Sanksi Administrasi dalam Pelaksanaan Program JKN.

Namun, seperti dalil KPK sendiri, ada disparitas antara fraud dengan korupsi. Apalagi acuannya kabur. Bukankah dalam penentuan suatu perbuatan seperti halnya Fraud itu kudu patuh dengan asas legalitas? Bukankah dalam menentukan apa perbuatan yang dilarang, dengan kesalahan (schuld) ataupun pertanggungjawaban hukum tidak bisa dengan kira-kira. Kudu pasti.

Alhasil, tesis esai ini bahwa batasan Fraud itu alamak tidak berbatas. Hanya dibatasi oleh “pagar” bernama ‘peraturan perundangan-undangan’ yang artinya semua peraturan perundang-undangan. Termasuk peraturan kebijakan (beleid regel), bahkan Clinical Pathway.

Tentu saja defenisi Fraud itu batas yang tidak berbatas, meluas, tidak fokus dari perbuatan konkrit sehingga membahayakan perlindungan atas kepastian hukum yang adil.

Dalam narasi dan konsepsi yang berkembang dalam diskusrus Fraud, ada ruang lingkup perbuatan yang luas dengan mencampuradukkan Fraud dengan misconduct, moral hazard, tidak GCG, melanggar disiplin medis, atau sengketa klinik, atau malah hanya urusan etika profesi?

Dalam paparan Direktorat Monitoring KPK (Agustus 2024) justru membedakan antara Fraud dengan Error dan Korupsi. Jadi, bagi KPK sendiri bahwa tidak serta merta Fraud adalah tindak pidana Korupsi. Nah lho?

Merujuk Permenkes No. 16/2019 itu, kecurangan (Fraud) adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja, untuk mendapatkan keuntungan finansial dari program Jaminan Kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui perbuatan curang yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan batasan yang tak terbatas sebagai: “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, maka Fraud tidak akan terdefenisikan dengan pasti, sehingga analisis posisi kasus tidak akan sahih. Keadilan bakal terciderai.

Belum lagi mendefenisikan ikhwal keuntungan finansial? Apa batasannya, siapa yang menimbang dan menghakiminya, siapa penerima keuntungan finansialnya? Rumah Sakit atau tenaga medis?

Kalau tanpa batasan, dan berhadapan pula dengan kewenangan medis apakah bisa serta merta mendefenisikan keuntungan finansial tanpa mengujinya dengan kewenangan medis dan pedoman tata laksana? Sudahkah tersedia semua PNPK (Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan) untuk semua jenis layanan yang dijamin program JKN-BPJS Kesehatan? Apa dasar menguji warna merah dari “merah”? Meminjam Rumi, apakah bisa dikatakan MAWAR jika itu adalah: M.A.W.A.R.

Tak kalah penting unsur tindakan dengan sengaja. Jika terkait tindakan medis, tidak bisa disamakan dengan tindakan pada umumnya. Menguji itu dengan standar disiplin profesi, karena tindakan berbeda fundamental dengan tindakan medis.
Permenkes 16/2019 tidak boleh mengabaikan tindakan medis atau sengketa klinis sebagai perbuatan yang masuk ranah disiplin profesi dan bahkan harus diperlakuan sebagai lex specialis.

Dari ulasan itu, tesis pertama dan kedua esai ini adalah mutlak memastikan “pagar” defenisi/batasan Fraud yang pasti dan limitatif, agar adanya kepastian hukum yang adil sesuai asas hukum kepastian hukum, asas legalitas dan hak konstitusi Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Dengan cara memastikan tersedianya acuan PNPK yang menjadi batu uji Fraud. Jika masih saja tanpa batasan yang pasti ikhwal Fraud pun PNPK tidak tersedia, maka yang terjadi adalah sengketa dan perbedaan persepsi, sangkaan, atau perang takwil, dan karenanya menjadi bola liar panas.

Alhasil, tidak keliru jika ada yang menamsilkan luasnya skala Fraud berbatas langit, tanpa pagar, dan terjadilah diagnosa kerja Chazali Situmorang yang menyebutkan ‘Distosi Persepsi’.

Pentingnya merombak ekosistem penyelenggaraan JKN untuk memastikan utuhnya mekanisme kerja dalam tim pencegahan Fraud yang dibentuk. Tidak hanya sebatas pencegahan (substansi dan budaya) namun menyediakan lembaga hukum (legal structure) yang diperankan untuk mengurai, menapis, dan penyelesaian yang patut dan adil yang mandatnya tidak dipersamakan dengan perkara biasa. Karena ketiga aktor JKN itu pelaku unik dan otentik dalam melaksanakan amanat konstitusi atas jaminan kesehatan nasional

Ketahuilah, mekanisme penanganan pengaduan atas pelangaran disiplin profesi saja dilakukan dengan majelis kehormatan disiplin profesi, yang dulunya Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), tentu untuk aspek dan urusan Fraud dalam JKN yang lebih kompleks dari hanya sengketa medis. Maka logis, patut dan adil jika mekanisme penyelesaian sengketa penyelenggaraan JKN itu diperlakukan sebagai yurisdiksi, kompetensi dan mekanisme penyelesaian yang khusus alias “lex specialis”. Kecuali telah merupakan kejahatan atau tindak pidana, itupun dengan penanganan yang tidak disamakan dengan pidana umumnya.

Bersamaan dengan perbaikan tim pencegahan yang diharapkan berdimensi penyelesaian khusus, perlu perubahan mendasar fungsi Dewan Pertimbangan Klinis (DKP).

Modal dasar DKP sebagai anasir dari ekosistem penyelenggaraan JKN itu kelembagaan yang genuin dan bagus. Namun, institusi, mandatory dan yuriadiksinya musti dirombak total. Diberikan otoritas yang meluas, tidak hanya menyelesaikan sengketa klinis atas sengketa medis, namun mandatory dan yurisdiksi penyelesai final sengketa Fraud JKN –yang aspeknya lebih luas dan kompleks dari sengketa klinis ataupun sengketa medis.

Independensi, kapasitas dan wewenangnya musti diperkuat menjadi badan penyelesaian sengketa Fraud JKN. Dalam pandangan tiori sistem (legal teory) dari Tuan Friedman, bahwa kelembagaan hukum (legal structure) itu lebih penting daripada substansi hukum (legal substance) an sich. Dalam manajemen kelembagaan (institution) dikenal dan diakui satu kesatuan antara Rules and Structure. Kuat dan patutnya Rules and Institution menentukan keberhasilan organisasi termasuk negara. Menjadi Living Rules and Institution yang diikut karena patut bukan semata karena takut.

Banyak bangsa yang gagal disebabkan oleh gagalnya institusi, begitu dalil Daron Acemoglu dan James Robinson. Karena itu, majelis pembaca: tesis ketiga esai ini perubahan, perubahan dan perubahan ekosistem JKN.

Selain itu, ekosistem penanganan Fraud dalam jaminan kesehatan nasional tidak efektif karena mengandung kesenjangan sistem.

Maksudnya? Penyelenggaraan JKN BPJS Kes itu padu dan setara serta harmoni, dengan menguatkan semua aktor pelaku: BPJS Kes, faskes / rumah sakit cq asosiasi rumah sakit (RS) dan tenaga medis/ kesehatan cq organisasi profesi, termasuk masyarakat yuncto peserta as well as konsumen.

Oleh karena itu, tidak sahih membangun ekosistem pelayanan kesehatan jaminan kesehatan nasional jika meniadakan dan bahkan membungkam profesi cq. organisasi prosesi dan faskes pelayanan kesehatan cq. asosiasi rumah sakit seperti ARSSI.

Peran organisasi profesi penting dalam menentukan Clinical Pathway (CP).
Menurut kawan saya, Dr. dr. Beni Satria, SH., MH., bahwa CP adalah pangkal “jalan lurus rasional terpendek” untuk sumber perhitungan pembiayaan (nasional) PNPK.

Agrumentasi ini bukan subyektif, namun normatif bahkan yuridis konstitusional. Karena ikhwal penyelenggaraan kesehatan dengan JKN BPJS Kes adalah arsiran dari 3 (tiga) hak konstitusional seluruh rakyat sekaligus tanggungjawab konstitusional negara, yakni: mandatory konstitusi atas layanan kesehatan utuk semua [vide Pasal 28H ayat (1) UUD 1945], mandatori jaminan sosial untuk semua [vide Pasal 28H ayat (3) UUD 1945], dan mandatory infrastriktur pelayanan kesehatan [vide Pasal 34 ayat (3) UUD 1945].

Oleh karena itu, baik BPJS Kes maupun faskes/ rumah sakit dan tenaga medis dan tenaga kesehatan adalah bagaikan kain tenunan trilogi aktor pelayanan kesehatan jaminan kesehatan nasional.

Sebab itu, kedudukannya setara dan sama-sama memiliki mandatory yang konstitusional sehingga kedudukannya Equality before Constitution. Oleh karena itu tesis keempat dari esai ini: Equality before Constitution antar aktor trilogi JKN yakni: BPJS Kes dengan asosisasi RS dan Organisasi Profesi. Tidak ada yang merasa tinggi sebenang yang justru bisa terjebak dalam keadaan yang dikenal dengan: ‘penyalahgunaan keadaan’, atau bahkan menciptakan kusutnya kepastian hukum dan keadilan dalam sengkarut relasi kuasa.

Terlebih lagi tikungan tajam UU Kesehatan Pasal 193 yang melekatkan pertanggungjawaban hukum meluas kepada rumah sakit. Tambahan pula tanggungjawab mutlak (strict liability), mencakup pula pengantian biaya, tanpa membebaskannya dari jamak gugatan perdata bahkan tuntutan pidana.

Jika demikian usah galau jika vibes ekosistem penyelenggaraan JKN perlu perubahan institusional yang bermakna, dengan bertumpu pada mandatory trilogi konstitusi dan kokohnya trilogi aktor JKN-BPJS Kes, asosisi faskes/ rumah sakit dan organisasi profesi.

Andaipun hendak mengusung inovasi dan kolaborasi dalam penyelenggaraan JKN as it is, maka patut diduga masih kontra indikasi apabila tanpa perbaikan utuh menyeluruh ekosistem penyelenggaraan JKN.

Jika tidak, bola panas liar Fraud timbul karena distorsi persepsi, apalagi dengan tanggungjawab berbatas “langit” dan tanpa pagar, maka tenaga medis/kesehatan dan pemilik/pengelola rumah sakit akan sulit tersenyum lepas, merekah.

Kebanggaan apa hendak diraih jika negara gagal menyehatkan ekosistem JKN? Tabik.

(Advokat Muhammad Joni, SH.MH, Ketua Perhimpunan Profesi Hukum dan Kesehatan Indonesia, Sekjen PP IKA USU)

Leave a Reply