Belajar dari Prof Djohansjah “Unbreakable” Marzoeki: Lahir untuk Kolegium Kedokteran

Hidup tak sekadar hidup. Nama bukan hanya penanda, bukan cuma statistik saja, tapi jiwa nir raga dan selebihnya asa menjadi ksatria: Sir.

Menurut leksikal, ‘Sjah’ itu artinya Raja: pemimpin. Menjadi Captaint of The Team baginya sudah biasa.

Walau rumit, presisi, panjang durasi, bedah plastik rekonstruksi estetik adalah jalan hidupnya.

Ksatria Airlangga Prof. Djohansjah Marzoeki melaju. Sendiri namun tak sendirian. Untuk satu missi, menjadi “kapten” untuk sebuah “hobi”: menyelamatkan hak “hidup” Kolegium Kedokteran!

Dengan caranya, dia menguji 5 (lima) pasal UU Kesehatan 2023 ke Mahkamah Konstitusi (MK) RI.

Dokter spesialis bedah dan spesialis bedah plastik rekonstruksi estetik (Sp.BP-RE) paling senior yang menjabat Ketua Kolegium Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik Indonesia (1990-1998) itu, unik!

Jangan harap dia mengikuti begitu saja nalar yang tak bernalar, atau hanya pendengar dari nalar orang yang salah. Prof.Djohansjah tak hendak ditawan nalar otoriterian Menteri Kesehatan. Tanpa kompromi walau se inci, apalagi tergoda imaji jabatan.

Hanya Ksatria yang maju tak gentar menguji norma Kolegium ilmu kedokteran, beserta sub norma yang memberi wewenang pemerintah pusat dan daerah melakuan pengawasan etika dan disiplin profesi dokter.

Tak hendak kalah-cum-patah, inisiatif litigasi uji materil UU Kesehatan yang dilakukan Prof Djohansjah berhasil memecahkan kengerian efek UU Kesehatan.

Ksatria dalam bahasa Inggris ialah: Knight. Dalam tradisi Inggris, Knight itu dianugerahi gelar ‘Sir’.

Pengalaman bersidang saya, setiap perkara hukum itu unik. Selalu ada yang tak terduga untuk bangkit. Terlibat khusuk dengan perasaan “haryono” setiap kali litigasi di MK RI, kami tenggelam dalam lautan pikiran terbuka. Di bawah aura gedung unik sembilan pilar, yang dirancang ramah, terbuka, tanpa pagar.

Tidak berniat lompat pagar, Prof Djohansjah tidak datang sendirian saja. Dia disokong sejawat dan kolega. Kami bersembilan duduk di meja bentuk separo oval, berjejer di hadapan sembilan hakim konstitusi.

Suara saya sempat hilang tatkala Ketua MK RI Yang Mulia Suhartoyo mempersilakan saya bertanya. Dalam bahasa Jawa, nama “Su” artinya baik, sedang “Haryono” artinya bangsawan. Negara Kesejahteraan yang maju dimulai dengan Bangsawan yang Baik.

Beberapa detik saya sempat melirik ke arah depan, mendapati wajah berwibawa para hakim konstitusi bertoga elegan. Sorot mata saya bertumbuk dengan berkas dan orat-oret catatan.

Pada kesempatan mahal ini, saya bertanya. Untuk mendalami alasan/ dalil pendapat ahli Prof. Dr. Sukman Tulus Putra, Sp.A yang baru usai mengelar keterangan ahli di mimbar MK RI, 24 April 2025.

Bagi mazhab hukum socio-jurisprudence, jawaban di depan sidang mahkamah kerap mengubah isi hukum. Menjadi hukum yang hidup (living law). Mengubah arah sejarah.

Menurut paham socio-yurisprudence, sumber utama hukum hukum adalah putusan pengadilan (yurisprudence) sebagai preseden hukum (Legal Presedent). Legal Presedent lebih diperlukan dari satu bab aturan hukum positif yang tidak bisa diterapkan (uneffectiveness of the law).

Selaku ketua tim kuasa hukum uji materil UU Kesehatan yang diajukan pemohon tunggal Prof. Dr. dr. Djohansjah Marzoeki, Sp.B., Sp.BP-RE (K), SubSpe RL., saya tak hanya menggunakan hak bertanya, namun untuk transmisi pesan a.k.a Legal Reasoning memenangkan perkara Nomor 111/PUU-XXII/2024.

Prof Djohan menguji Pasal 451 UU Kesehatan yang menghapuskan legalitas Kolegium. Ibarat algojo eksekutor pencabut nyawa, legitimasi 38 Kolegium kedokteran sontak dicabut. Tanpa alasan. Tanpa Rational Ground. Tanpa bertanya kepada Kolegium ori.

Jangan dibiarkan, apalagi tanpa pertanggungjawaban hukum alias kebal hukum yang dikenal dengan Impunity.

Pertanyaan pun disodorkan, “Saya ingin memberi ilustrasi. Muhammadiyah itu didirikan 18 November 1912, 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah. Nahdhatul Ulama, 31 Januari 1926. Begitu juga Taman Siswa 3 Juli 1922, sebelum Indonesia merdeka. Di kampung saya, Jamaiyah Mahmudiyah Li Thalabil Khairiyah lebih dahulu dari Taman Siswa, sampai sekarang masih berdiri dan tidak pernah dibubarkan. Pertanyaan saya kepada Ahli, apa sih kesalahan dari kolegium, sehingga tidak diakui dengan Pasal 451? Dosa apa (Kolegium)? Pelanggarannya apa (Kolegium)? Adakah pelarangan oleh negara terhadap eksistensi Kolegium?”

Begitu tiga pertanyaan alegoris saya pada menit ke 13:51 sidang yang tercatat dalam Risalah Sidang tanggal 24 April 2025.

Pertanyaan itu dirancang untuk menguak fakta. Bahwa kendatipun Negara Republik Indonesia merdeka –dengan Proklamasi 17 Agustus 1945 dan konstitusi UUD 1945– namun tidak mencabut nyawa organisasi keagamaan, yang tegak sebelum Republik 062 berdiri.

Belajar dari tarikh itu, betapa maksud aseli konstitusi: UUD 1945, tidak hendak menghabisi legitimasi lembaga boemi poetra, yang sudah ada, menyala, berkarya, dan mencerahkan bangsa sampai merdeka, dan terbukti eksis hingga kini. Negara bangsa bernama NRI kudu memberi tanda jasa pada wasilah anak negeri.

Dari jejak sejarah itu, membangkitkan postulat saya bahwa: UUD 1945 tidak memiliki mandatory menghapuskan organisasi/ lembaga sosial-kemasyarakatan dan pendidikan. Apalagi sampai hati dan tega-teganya “Genosida” lembaga yang berkarya pada aras ilmu kedokteran dan Human Develoment.

Pejabat negara Menteri Kesehatan BGS kudu paham, tatkala ‘Indonesia in Making’ –dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 maupun pengesahan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945– tidak ada yang nekat dan tega mencabut legalitas-legitimasi lembaga sosial-keagamaan maupun pendidikan yang sudah lebih awal berdiri menjadi pahlawan pendidikan dan Human Development. Misi yang konsisten dari era pra NRI sampai NRI era Presiden ke VIII Prabowo Subianto kini dan nanti.

Padahal, UUD 1945 itu konstitusi revolusioner dan pembebasan (Liberation Constitution). Lantas, mengapa UU Kesehatan sontak jumawa mencabut nyawa Kolegium? Bahkan “genosida” meluas pada (38+9) kolegium kedokteran/ kedokteran gigi.

Ketahuilah, tak ada saham dan sumbangan Menkes BGS pada lahir, tumbuh dan berkembang Kolegium ori, pun dari konsep, bahkan istilah Kolegium itu sendiri, hanya bisa duplikasi walau 100% pasti tak ori.

Patut ditanyakan, apa motif Menkes mencabut nyawa Kolegium ori yang komponen strategis bangsa dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Bahkan, parahnya lagi bagai “colegiumcide” Kolegoum ori, yang diikuti dengan pendudukan paksa menjadi kolegium buatan Menkes. Dilakukan semberono, tanpa alasan a.k.a Rational Ground, pula.

Dari dalil dan postlat itu, Menkes sudah melenceng dari mandatory dan maksud aseli konstitusi.

Identitas Konstitusi

Kiranya, karakter UUD 1945 tidak hendak mencabut nyawa lembaga-lembaga asal yang orisinal dan otentik dalam karya bakti menuju kemerdekaan NRI, kini.

Maka dari itu ijinkan saya menakwil bahwa pengakuan dan penghormatan atas nyawa institusi penyokong berdirinya NRI itu sebagai adalah Identitas Konstitusi (Constiutional Identity) UUD 1945.

Lantas, mengapa begitu otoriterian dan represif Pasal 451 UU Kesehatan –yang dibuat dengan metode Omnibus yang konon transformasi kesehatan– gegabah mencabut nyawa Kolegium?

Bukankah Kolegium sudah terbukti mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya dalam mengampu ilmu kedokteran, dan melahirkan begitu banyak dokter-dokter spesialis dan subspesialis.

Jejak-jejak Kolegium kedokteran yang berjasa dan diakui dengan UU Praktik Kedokteran Pasal 1 angka 13, menjadi bukti hukum yang cetho welo-welo dalam sejarah bangsa bahwa Kolegium kedokteran eksis dan berguna. Yang dalam baktinya tanpa harapkan jabatan kecuali mengampu kemajuan ilmu kedokteran sebagai maksud aseli. Yang diketahui kemudian misi itu mendalankan mandatory konstitusi: Pasal 28C ayat (1) UUD 1945.

Sebab itu, Kolegium ori itu komponen srategis bangsa sebagai institusi ilmiah yang berkelas, berjasa menyumbang kemajuan ilmu kedokteran dan menetaskan dokter spesialis dan subspesialis di NRI.

Bukan pamrih, kiranya penting terus menerus mengingatkan warga 062, pejabat NRI agar tidak rabun jauh sejarah ikhwal Kolegium kedokteran ori berdiri dalam konteks: Kebangkitan nasional (1908); jejak panjang pendidikan kedokteran; heroik semangat penyatuan dan persatuan organisasi profesi dokter menjadi Satu IDI sejak dilahirkan.

Salah besar jika Menkes BGS mendalilkan Kolegium kedokteran itu institusi “rendahan” yang tak diakui Undang-undang. Dengan argumen yang keliru dan naif seakan Menkes BGS itu hendak berjasa menaikkan derajat Kolegium kedokteran dibawanya masuk dan naik kelas ke dalam UU Kesehatan?

Jika meminjam spirit Bung Karno, patut memberi peringatan “JASMERAH”, Jangan Melupakan Sejarah kepada Menkes BGS terhadap otentisitas bakti Kolegium ori.

Ketahuilah, sejarah itu sumber dasar hukum yang valid, socio-prudence dan konstitusional.

Selain alasan sejarah dan takwil Proklamasi Kemerdekaan RI, valid-nya Kolegium ori tetap diakui sebagai lembaga ilmiah (academic body) sesuai pertimbangan hukum Putusan MK RI Nomor 10/PUU-XV/2017 yang diaminkan dan dikuatkan dengan Putusan MK RI Nomor 13/PUU-XXIII/2025.

Tersebab itu, jika ada pihak hendak merendahkan Kolegium kedokteran sekelas organisasi kemasyarakatan (ormas), adalah gagal menalar konstitusi dan kaidah hukum konstitusi a.k.a Putusan MK RI.

Kembali kepada Pasal 451 UU Kesehatan. Pengujian Pasal 451 yang membunuh legalitas-legitimasi Kolegium itu, jangan ragu menang!

Kemenangan Kolegium ori –sebagai pengampu ilmu kedokteran yang tak terpatahkan. Melalui pemantik gerakan perlawanan dari seorang Prof Djohansjah Marzoeki, sang Ksatria Airlangga –yang mengaku hobinya adalah: berpikir!
Seakan menggemakan: ‘Aku Berpikir, maka Aku Dokter’.

Tak hanya berpikir, Dia bertindak. Tak hendak kalah dan patah dari pendudukan atas Kolegium ori. Baginya misi penaklukan Kolegium ori yang diganti kolegium buatan Menkes BGS, kudu dilawan tanpa kompromi. Baginya, nyawa pengampuan ilmu kedokteran ada pada Kolegium ori.

“Unbreakable”

Tahukan anda, Prof. Djohansjah yang hobinya berpikir itu, tidak bisa dihentikan. Kodrati manusia sejati ialah makhluk berpikir yang tak henti. Beliau tokoh pioner Kolegium kedokteran bedah plastik lulusan Fakultas Kedokteran di Groningen, Belanda yang berusia lebih tua dari Proklamasi Kemerdekaan RI.

Watak aselinya yang (hobi) berpikir rasional dan berbasis bukti (evidance base) tak bisa dipatahkan (unbreakable).

Kiranya, bagi saya tokoh Prof. Djohansjah bagai figur utama David yang dilakonkan Bruce Willis –yang memiliki kekuatan super– dalam film ‘Unbreakable’ (2001)

Sosok Prof. Djohansjah –begitu biasa disapa ahli bedah plastik rekonstruksi estetik yang guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga itu bukan orang sembarangan, sebagaimana jamak tokoh Kolegium kedokteran lain di negeri 062 yang reputasi ilmunya tidak sembarangan.

Berikut ini profil Prof. Djohansyah Marzoeki, yang Guru Besar Emeritus Ilmu Kedokteran Spesialias Bedah dan Spesialis Bedah Plastik pada Universitas Airlangga (UNAIR). Guru Besar pertama ahli bedah plastik di Indonesia, pengampu pendidikan kedokteran pada FK UNAIR.

Dia mantan Ketua Departemen Bedah Plastik UNAIR, pendiri dan pengembang bidang ilmu kedokteran bedah praktik di Indonesia, Ketua Kolegium Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik Indonesia (1990-1998), Ketua Komisi Ujian Nasional Kolegium Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik Indonesia (2014-2022).

Juga, Dewan Penasihat/ Pertimbangan Kolegium Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik Indonesia tahun (2023-saat ini), Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik Indonesia (PERAPI) (1980-sekarang), mantan Ketua ASEAN Plastic Surgeon Assc., dan pengajar Filsafat Ilmu dan Budaya Ilmiah pada Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran Fakultas Kedokteran UNAIR, penulis buku “Budaya Ilmiah dan Filsafat Ilmu”. Kekuatan akal dan nalar apa yang dimiliki Prof. Djohan yang hendak diwariskan kepada anak bangsa?

Dalam bahasa Melayu, Johan artinya: juara atau pahlawan. Dalam bahasa Inggris, padanan Johan adalah John. Shah dalam bahasa Persia artinya: Raja. Walau Prof. Djohan bukan Raja, patut dihormati teladan Ksatria Airlangga dan pemilik kekuatan super dari sosok yang tabah mengampu ilmu kedokteran.

Majelis Pembaca. Karena konstitusi adalah Law of the Laws, dan UUD 1945 lebih tinggi kekuasaan normanya dari UU Kesehatan, maka Pasal 451 UU Kesehatan kudu mematuhi Putusan MK RI ikhwal Kolegium.

Lantas apa alasan logis dan normatif membiarkan Pasal 451 UU Kesehatan leluasa mencabut hak hidup Kolegium?

Lagi pula, jika rajin memeriksa latar sejarah dan dokumen pembentukannya, tidak ada Rationale Ground mengapa pembuat UU Kesehatan meloloskan Pasal 451. Kecuali argumentasi usang dan post pactum ketika Pasal 451 dipersoalkan. Tidak tepat menggunakan alasan aturan peralihan karena itu bukan alasan materil untuk menjawab pengujian materil UU Kesehatan.

Ibarat pertautan “jiwa” putusan dengan Rasio Decidendi, maka norma Pasal 451 UU Kesehatan sama sekali tanpa Rationale Ground adalah tidak berjiwa. Tanpa dasar. Ijinkan saya membangun konstruksi hukum bahwa: “tak kan turun titah perintah, tanpa dasar yang absah”.

Lantas, mengapa substansi norma Pasal 451 UU Kesehatan yang melawan spirit konstitusi UUD 1945 itu hendak dipertahankan? Apalagi hanya dengan alasan formil aturan peralihan?

Seakan hendak bersembunyi dari sebatang ilalang? Bergantung di dahan rapuh.

Sekali lagi, kendatipun kuasa Menkes acap mengumbar dalih formil aturan peralihan dalam persidangan, namun tidak dikemukakan apa Rationale Ground maupun dalil yuridis konstitusional mengapa diloloskan Pasal 451 UU Kesehatan.

Epilog: Lahir untuk Kolegium kedokteran.

Semula aksi litigasi konstitusi yang dilakukan Prof Djohan, sempat didebat putriya yang bertanya: mengapa sang ayah repot maju ke MK RI?

Kepada putrinya, Prof. Djohan menjawab lugas dan ringkas, “(Ilmu kedokteran) ini hidup s
aya”, ujarnya tak hendak kompromi.

Mendengar itu, sontak saya mencatat seakan Prof Djohan terlahir dan hidup untuk kolegium kedokteran.

Perjuangan mulia Prof Djohansjah maju sendirian walau tak sepi sendirian ke MK RI demi menjaga institusi, fungsi, dan misi suci Kolegium yang analog dengan ketulusan dan kejujurannya mengampu ilmu kedokteran.

Belajar banyak dari Prof.Dr. Djohansjah “Unbreakable” Marzoeki menjaga Kolegium yang ori, bukan plastik. Yang tak hendak kompromi kepada nalar yang bukan hanya usang, namun jauh dari nalar. Tabik, Sir.

(*) Advokat Muhammad Joni, SH., M.H., Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Founder Perhimpunan Profesioal Hukum dan Kesehatan, Sekjen Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Sumatera Utara (PP IKA USU).

Leave a Reply