Belajar dari Sidik Jari
Setakat saat rapat pleno ormas Islam Al-Ittihadiyah di kawasan Pondok Indah, sahabat senior dan guru saya bang Khairul Alwan Ar-Rivai Nst, Wakil Ketua Umum ormas pendidikan itu, yang giat-semangat mengembangkan holistic semesta, bertutur soal sumber daya manusia.
Modal kita bukan aset tanah dan properti, tetapi sumber daya manusia yang kekuatannya lebih dahsyat dan berharga selangit dibanding sumberdaya alam raya seperti migas dan minerba, yang bisa habis esok lusa. Andai terlalu dihisap rakus dan salah kelola bakal merusak lingkungan hidup kita. Banyak orang kuatir kehabisan migas dan limbahnya, namun tak banyak yang peduli penerlantaran sumber daya manusia.
Mengapa manusia? Karena pada manusia bersemayam akal dan rasa (hati), yag dengan fitrah itu menjadikannya makluk ber-vibrasi kuat dan berderajat sempurna.
Sempurnanya manusia itu sudah sangat sahih, karena dengan amat mudah terbukti dari jari jemari kita sendiri. Tak ada manusia yang sidik jarinya serupa identik walau dengan saudara sekandung dan kembar siam otentik di zaman futuristik bedah plastik. Begitu teliti, setiap gurat dan ulir sidik jari manusia sangat unik dan spesifik, sehinggga polisi di laboratorium forensik bisa membedakan mana sidik jari si upik, mana milik mas amrik. Dia Maha teliti, seteli-telitinya. Dia Maha Mengetahui, tanpa ada yang memberitahu.
Relasi dan penghargaan yang sangat unik-spesifik-personal. Itulah bukti betapa Tuhan mengutamakan dan memuliakan manusia, yang karenanya beralasan jika diberi mandat sebagai khalifatull fil ard, pemimpin di muka bumi, tugas yang tak sanggup diemban oleh langit dan bumi sekalipun.
Kalau sudah demikian, dimana logikanya kita tak hendak bersyukur? dimana logikanya negara membiarkan anak terlantar di pinggir jalan? abai dengan jual beli organ bayi? child trafficking? economic and sexual exploitation of children, menurunnya human development index, buta aksara, drop-out sekolah anak usia belajar, program wajib belajar cuma 9 tahun, 320 ribu anak jalanan bekerja di kiri-kanan jalan dan bertahan di kolong jembatan, 6.704 anak berkonflik dengan hukum, dan sebanyak 4.748 anak (70,82%) diantaranya menjadi narapidana anak usia muda belia yang tergadai masa depannya di jeruji penjara milik Negara yang over capacity, dan segala bentuk pengabaian anak manusia?
Belajar dari sidik jari yang menjadi bukti mulai manusia, saya teringat dengan sahabat Hadi Supeno, eks Ketua KPAI yang kini Wakil Bupati Banjarnegara, Jawa tengah, dan sahabat Muhammad Gufron, orang dekat Kak Seto yang diminta tolong oleh Arumi Bachsin. Tatkala saya bersama keduanya bertandang ke LPSK, yang melindungi saksi dan korban, terlontar rasa syukur dan bahkan tak pernah menyesali atau berniat mundur dengan takdir sosial kami sebagai aktifis perlindungan anak. Membela ciptaan sempurna dari Yang Maha Sempurna, yang Maha Mencipta sebaik-baik ciptaan.
Perasaan serupa juga dilanda setiap ibu pada anaknya. Idemditto dengan ayah. Kalau ibu kita dan ibu siapa saja begitu tabah membela anaknya, kuat berikhtiar siang malam sampai sang anak tinggi pendidikan dan terpuji moral-kelakuan, tak ada alasan mengapa ibu pertiwi tidak tabah sedemikian?
Let’s save our children !