Bersemangat Dhuha, Al Wasi’ yang Ringkas dalam Pencarian yang Meluas
Buku-buku tafsir biasanya tebal, bahkan amat tebal, walau dari penulis tunggal, namun beda dengan buku Ansari bin Yamamah.
Buku yang terbit Maret 2021 ini mungil, ringan, dan tak terlampau tebal –hanya xxvii + 156 halaman saja— yang dikerjakan full-team karena dieditori tandem Syabrun Jukhhoir dan Hikmatiar Harahap.
Kendati buku yang terbitan Siraja, Jakarta itu lebih tipis, namun bukan halangan untuk segera diterbitkan dan diluncurkan. Lebih tipis dibandingkan buku bertitel ‘Islam Transitif’ (2019) masih karya Ansari Yamamah, maupun buku-buku serima: ‘Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir’, ‘Islam Wahyu Sekuler-Gagasan Kritis Hassan Hanafi’, ‘Membumikan Tafsir Revolusioner Dr.Hasan Hanafi’, ‘Dia Dimana-Mana’, ‘Rahasia Keajaiban Langit-Dalam Perspektif Al-Quran’, ‘Pegolakan Pemikiran Islam-Catatan Harian Ahmad Wahib’, bahkan calon buku ‘Dibawah Rindang Pohon Seri (2)’ –yang ada “mazhab HMI untuk dunia”.
Ansari berhasil memunculkan metode penafsiran Al-Wasi’ yang artinya meluas, –dan semestinya meluas seperti galaksi– justru menjadi buku yang ringkas (matan). Seperti terbukti dan diakui Ansari sendiri dan kedua editornya (h.1 dan 18).
Walau me-ringkas, Ansari luas dalam hal semangat. Karena didalilkanya bahwa tafsir Al-Wasi’ itu menjadi solusi alternatif mengeluarkan diri dari “otoritanisme yang berkembang dalam pusaran tafsir yang terdahulu”.
Pun sempat tersentak dengan 8 kata pada frasa dari sampul belakang buku itu, patik berpraduga baik pada Ansari hendak mengajak kita keluar lebih jauh ke pemahaman lebih meluas, lagi.
Mungkin maksudnya tafsir Al-Wasi’ ialah alarm bagi kecenderungan pemahaman yang literal, normatif, ideologis, kaku dan sempit (deductive reasoning) (h.1).
Walaupun, hemat saya, normatif dan ideologis belum tentu dogmatis dan kaku, berdebu, tersekap dalam ruang pengap, karena sejak dari ontologis dan konsepsinya norma dan ideologi itu terbuka, dinamis, fleksibel, walau ada dimensinya yang statis.
Hukum selalu dalam dua kebutuhan antara need of change dan need of stability, antara certainy and elasticity –merujuk ‘Legal Theory’ W. Friedmaan. Pun, seperti istilah “dinamic-stability” yang dilekatkan kepada gagasan keIslaman S.M.Nuquib Al-Attas.
Tafsir Al-Wasi’ yang meluas itu jauhnya sampai ke had mana? Ansari ringkas menjawab, tapalnya tak hanya sebagai petunjuk yang “cenderung sangat etikal” (h.88), namun disempurnakan dengan tafsir saintifik. Itukah jawaban (dari perenungan Ansari) atas metoda tafsir yang –secara negasi, a contratrio– tidak atau belum meluas, karena disebutnya “nilai empiris-sosiologisnya menjadi tertinggal”.
Namun saya lega karena Ansari menyebut perlunya kolaborasi antara akal insaniyah (akal akademik) dan akal ilahiyah (akal zikir) (h.83-84). Apalagi Ansari tidak menuduh sesat kepada penggunaan akal dan penerapan metoda filsafat! Tafsir Al-Wasi’ tak hendak menutup “kedai” sains dan filsafat, bahkan menyebut bukunya yang lain –Islam Transitif— dengan label filsafat milenial.
Walau, saya mulai penasaran bahkan gelisah lagi, karena Ansari menafsirkan ayat secara empiris yang ditafsirkannya dengan kalimat: “agar ayat-ayat dapat terurai dan terukur secara empiris (h.83).
Perlu dikonfirmasi kepada Ansari, penggunaan diksi empiris itu, karena empiris mengandalkan verifikasi pengalaman, padahal bukan satu-satunya sumber sains. Sains bukan hanya hasil dari verifikasi data sehinga bukan bersumber dari sense datum, saja. Sains juga bisa usang, “salah”, alami falsifikasi dan karenanya berkembang dan dewasa, atau malah mundur dan mengerdil?
Adakah Ansari berhasil membedakan empirisitas dengan rasionalitas? Padahal, meminjam Adnin Armas, Islam sebagai ad-Dinul Islam adalah agama wahyu yang telah “dewasa” sejak dari sejarah dunia, dan tidak memerlukan pertumbuhan kepada dewasa, tidak memerlukan progresivitas karena pengetahuan berasal dari wahyu bukan dari sejarah (Jurnal Islamia, Vol.XI, No.2, 2017).
Walau matan, mungil dan tipis, buku Ansari ini mengajak saya bertualang ke tepi galaksi semesta raya, seperti ilustrasi (yang mengagitasi?) sejak dari sampulnya. Tentu ada alasan dan tafsir ala Dr. Ansari Yamamah, M.A –anak Langkat yang bersekolah di Jamaiyah Mahmudiyah Lithalabil Khairiah, kampus yang berjiran Masjid Azizi Tanjungpura dikelilingi hunian perumahan warga, dan alumni HMI— memilih warga kuning dan penerbit Siraja, bukan penerbit UIN Sumatera Utara dan tanpa kata sambutan Rektornya. Interupsi sebentar. Masjid, kampus, perumahan warga berpadu dalam tata kota (urban planning) bekas ibunegeri Kesultanan Langkat itu.
Berhadapan dengan Ansari Yamamah, saya seperti musafir bahagia dan sekaligus al-faqir ilmu dalam hal ikhwal ilmu tafsir. Saya seperti murid paling baru diantara mufassirun yang paling kaya adab dan ilmu. Walau saya bergelut dengan hukum, praktek hukum dan akal insaniyah nyaris setiap hari, dan berusaha menuliskannya agar tak kikis habis ditelan lupa.
Dari sampul buku Ansari ini saja membangkitkan kesan ke dua yang megah, setelah judul panjang yang terdiri 9 kata: ‘Tafsir Al-Wasi’ Islam Transitif Pendekatan dan Metode Tafsir Milenial’.
Sekilas, dengan mengiris-iris judulnya saja, saya berhadapan dengan 3 (tiga) aras tafsir: (1) Tafsir Al-Wasi’, (2) Tafsir Transitif, (3) Tafsir Milenial.
Terpantik tafsir Al Wasi’ yang mendalami ayat-ayat dengan ilmu pengetahuan, sontak saya guncang dengan narasi ikhwal kegagalan sains –yang dalam sifatya terus menerus dikoreksi, diperbarui, dan berkembang maju, alias mengalami falsifikasi yang tak henti, seperti watak ilmu dari perspektif filsafat ilmu Kalr Popper.
Disisi lain, masihkah kokoh Al-Wasi’ yang menafsir ayat dengan bersandarkan sains di tengah kegagalannya pada kebajikan.
Duhai Dr. Ansari Yamamah, bukankah saat ini bergeser dari era ilmu pengetahuan ke era kebijaksanaan, seperi ditulis ringkas Nevzat Tarhan dalam ‘Mesnavi Terapi’ yang mengingatkan kita dengan bait syair ini:
“Tanpa cahaya, butalah mata. Tanpa budi pekerti, butalah kekuatan manusia. Tanpa kedermawanan, butalah harta manusia. Tanpa etika kedokteran, butalah para dokter. Tanpa kebijaksanaan, butalah peradaban”.
*
Majelis Pembaca yang bersemangat. Buku Ansari itu menarik, karena dari judul dan sampulnya saja hendak mengajak kepada tafsir “melangit” –yang berorientasi eskatologik (ukhrawi)– yang terus meluas dan “membumi” –yang berorientasi profanik (duniawi)— serta keseimbangan keduanya.
Ansari Yamamah menyebut ketiga hal itu urgensi tafsir al Wasi’ (h.19). Juga, mengajak sejawatnya para intelektual Islam-cum-Ulul Albab tidak hanya membaca dari satu disiplin, namun multi disiplin dan trans disiplin (h.2). Seperti ciri ilmuan yang melekat pada sosok Ibu Arabi, Ibnu Sina, Al Ghazali.
Pada kalimat itu, saya menjadi terpantik semangat untuk berdekat-dekat dan bersahabat dengan kaum Ulul Albab, mengikuti tata kramanya, dan –memborong buku-bukunya.
Seperti megah warna kuning Melayu pada judul buku yang berlatar hitam yang berwibawa. Walau dituliskan matan (ringkas) buku tafsir Al-Wasi’ ini mengajak keluar dari kotak (out of the box), bahkan out of the box under the big box, sehingga buku Ansari Yamamah ini menawarkan tafsir atau metode yang berwarna (lawnun).
Metoda tafsir ini tak hanya berguna melengkapi khazanah bagi penafsir (mufassir) –yang bergelut dengan kitab-kitab– namun bagi praktisi hukum, hakim dan lawyer –dalam menangani kasus in concreto. –yang pada kenyataan praktek melakukan: ‘penemuan hukum’, ‘menguak tabir hukum’, ‘argumentasi hukum’, yang menguliti ‘struktur ilmu hukum’, lebih dari sekadar ‘mengenal hukum’, untuk menyebut beberapa judul buku saja.
Ansari memang senyatanya out of the box, bukan hanya dari narasi bukunya namun dalam kesehariannya.
Hemat saya dia mengikuti tiga nasihat al Ghazali. Ansari seperti orang sakit yang pasrah dihadapan dokter, karena Ansari mengikuti etika pelajar dari sang Imam:
“seorang pelajar menunjukkan sikap pasrah pada pengajar”. “Ilmu adalah musuh bagi pemuda yang sombong. Bak air yang takkan mengalir ke tempat yang tinggi”.
Ansari tak hanya bergelar Master of Art dari Leiden University (1998) dan Doktor dari kampusnya IAIN SU (2013), namun mantan guru bahasa Inggris di Medan itu ditabalkan gelar Datok Pandya Wangsa dari Kesultanan Serdang. Ansari ligat menjadi penulis, agaknya mengikuti nasihat Imam Al Ghazali, lagi.
“Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis”.
Ansari tak penat bertualang ke belahan planet bumi yang tak ringkas: Belanda, Swiss, Luksemberg, Perancis, Inggris, Jerman, Belgia, Saudi Arabia, Malaysia, Australia, Amerika Serikat, India, China, Selandia Baru, bagaikan hendak terus dalam pencarian. Namun dia juga membumi menjadi Sekretaris Yayasan Langkat Membangun, dan pergaulannya meluas dan lawnun dalam berbagai ragam warna organisasi sosial, intelektual, dan keagamaan.
Tafsir Al-Wasi’ yang mengajak kajian meluas, multi disiplin dan lintas disiplin. Tafsir Al Wasi’ seakan bertutur dan mengajak pencariannya pada waktu dhuha, yang khazanahnya masih panjang dan meluas, namun penting.
Bisa jadi karena latar dan alasan itu penulisnya terus membangun dalam pencarian, dan pencarian dalam membangunkan. Itu takdir yang bergelimang bahagia bagi akademisi dan pahala yang luas dan tak ringkas.
Dengan bismillah, teruslah menulis dan berkarya pak Datuk Ansari. Pun, waktu masih panjang dan meluas, kesempatan itu seperti waktu dhuha. Itu waktu siang yang paling utama dan paling baik bekerja dan berdoa, Datuk Pandya Wangsa. Kalau hendak ditamsilkan, tafsir Al-Wasi’ ini Datuk mengikuti lawnun sosok siapa? Ibnu Sina, Ibnu Arabi, Al Ghazali, atau Hasan Hanafi? Allua’lam. Tabik.
Muhammad Joni, Advokat.