“Bertarung” di MK Soal Rumah Mungil
Sidang lanjutan pengajuan judicial review UU Perumahan dan Kawasan Pemukiman pasal 22 ayat 3 oleh Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesa (Apersi) kembali dilanjutkan hari Kamis lalu. Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) Djan Faridz pun langsung hadir, setelah pada sidang sebelumnya berhalangan datang ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sidang lanjutan dijadwalkan pukul 11.00 WIB dengan pokok tuntutan penghapusan pasal 22 ayat 3, perihal kewajiban bagin pengembangan membangun rumah minimal 36 m2. “Tuntutan kita adalah penghapusan pasal yang menurut Apersi menghambat masyarakat dalam memiliki rumah, khususnya yang berpenghasilan rendah,” kata Ketua DPD Apersi Eddy Ganefo.
Eddy mengapresiasi hadirnya Djan Faridz, setelah pada sidang perdana Bos Tanah Abang ini berhalangan hadir. “Menurut kita baik, karena ada perhatian dari pemerintah,” paparnya.
Kuasa hukum Apersi Muhammad Joni menegaskan adanya UU No 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman menuai polemik di masyarakat. Sebab UU tersebut dinilai telah melanggar kontitusi. “UU ini melanggar hak orang untuk memperoleh rumah. Melanggar konstitusi pasal 28 ayat 1 bahwa setiap orang berhak atas, salah satunya, tempat tinggal,” kata Joni.
Pasal yang menjadi pokok masalah adalah pasal 22 ayat 3 yang menyatakan luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 meter persegi. Menurut Joni, pasal ini berdampak terhadap rumah yang luas lantainya hanya 21 meter persegi.
Akibatnya, pasal tersebut telah melanggar hak masyarakat untuk memperoleh rumah. Masyarakat yang hanya mampu membeli rumah tipe 21 dipaksa untuk membeli tipe 36, tentu dengan harga yang juga tinggi. Selain itu, pasar untuk rumah tipe 21 juga masih tinggi. “Karena daya beli masyarakat mampunya beli rumah tipe 21 segitu,” terang Joni.
Eddy kembali menegaskan, pengajuan Apersi ke MK untuk membantu Kemenpera dalam mengatasi backlog perumahan sebesar 13,6 juta unit. Sedangkan Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda menegaskan, UU PKP Pasal 22 ayat 3 justru menciptakan keresahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). “Kebijakan ini tidak perlu ada karena menciptakan masalah baru yang berkepanjangan,” tegasnya.