The Best Interest Of The Child
Konvensi Hak Anak (KHA) memposisikan peran penting dan strategis dari orangtua (parent) dalam memastikan realisasi hak-hak anak. Dalam KHA, beberapa pasal relevan dengan isu ini, yakni pasal 5, 9, 12, 14, 18.
Pasal 5 KHA menghormati tanggungjawab, hak, dan kewajiban orangtua. Bahkan, keluarga besar (extended family) atau komunitas yang disediakan dalam adat setempat, wali ataupun orang-orang lain yang secara hukum yang bertanggungjawab atas anak.
Pasal 5 KHA menentukan peran orangtua, yakni: memberikan pengarahan (direction) dan panduan (guidance) guna pelaksanaan hak anak dalam HKA, sesuai dengan perkembangan kemampuan anak (evolving capacities of the child).
Dengan demikian, pasal 5 KHA, mengemukakan konsep orangtua (parent), dan konsepn “responsibilities” for their child. Dalam Implementation handbook of CRC, pasal 5 KHA menjelaskan esensi parental direction and guidance adalah tidak tak terbatas (not unlimited). Ini mesti dipahami secara konsisten dengan “evolving capacitities of the child”.
Dalam hal pelaksanaan peran orangtua ini (pasal 5), maka negara peserta (state party) mengupayakan hal terbaik agar prinsip bahwa kedua orangtua (ibu dan bapak) memikul tanggungjawab bersama untuk membesarkan dan mengembangkan anak.
Konsep “Evolving capacities” dari anak adalah satu dari konsep penting KHA yang mengakui dalam perkembangan anak menjadi orang dewasa yang independen mesti dengan penghormatan dan pemajuan masa kanak-kanak.
Menurut The Manual on Human Rights Reporting (1977), memberikan keterkaitan antara “evolving capacities” anak dengan pasal 12 ( hak membentuk pandangan sendiri – own views the right to express those view freely) dan 13 KHA (hak secara bebas menyatakan pendapat = right to freedom of expression).
Pasal 9 ayat 3 KHA, negara menjamin hak anak yang terpisah dari orangtuanya (separated children) untuk mempertahankan hubungan pribadi (personal relations) dan hubungan langsung (direct contact) secara tetap dengan orangtuanya.
Pasal 12 KHA, menjamin hak anak berpendapat secara bebas dalam segala masalah (all matters), namun pandangan anak itu dilakasanakan dengan mempertimbangkan 2 kriteria kembar (twin criteria), yakni: umur (age) dan kematangan anak (maturity).
Pasal 14 ayat 2 KHA, menghormati hak dan kewajiban orangtua memberikan pengarahan kepada anak (provide direction the child) dalam menerapkan haknya sesua dengan perkembangan kemampuan anak (evolving capacities of the child).
Pasal 18 KHA, mengupayakan secara ternaik agar prinsip kewajiban dan tanggungjawab kedua orangtua (both parent) yakni ibu dan bapak secara bersama-sama– untuk membesarkan dan mengembangkan anak.
Namun pengakuan peran orangtua, dalam KHA dipahami sebagai bentuk dukungan untuk realisasi dan pemenuhan hak anak. Akan tetapi, bukan dipahami sebagai bentuk dari pengakuan atas hak absolut orangtua atas anaknya.
Tidak diterima peradigma “non intervention” terhadap tanggungjawab orangtua atas anaknya. Sehingga, diakui adanya ruang bagi Negara dan masyarakat untuk memberikan intervensi melindungi anak, jika hak-hak anak terabaikan. Dalam konteks ini, yang dipertimbangkan paling utama adalah kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child).
Prinsip the best interest of the child ini, memberikan ruang bagi Negara dan masyarakat untuk intervensi, dan memberikan ruang bagi anak untuk berpartisipasi. KHA –sebagai instrumen hak anak juga memikirkan pengurangan hak orangtua dan keluarga untuk mengakomodir proses “evolving capacities of the child”. Karenanya, kepentingan terbaik bagi anak menjadi pertimbangan yang utama.
Dalam kasus atau keadaan kontras, argumentasi atupun prinsip the best interest of the child ini, penting dan relevan dalam memberikan hak-hak privat anak, misalnya hak atas pemeliharaan (hadhonah) anak yang masih mumayyiz, yang (demi kepentingan terbaik bagi anak) tidak absolut dan imperatif HANYA diberikan kepada ibu saja. Norma pemberian hadonah yang absolut kepada ibu berdasarkan versi Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, dalam banyak kasus tidak mengakomodir prinsip the best interest of the child. Bahkan, selain itu, juga mengabaikan hak anak untuk berpendapat (view of the child) dan berpartisipasi –termasuk atas menentukan nasib dan status hukum diri si anak sendiri.
Ekualitas Orangtua
Dengan mengedepankan the best interest of the child, adalah pertimbangan utama yang diberikan untuk anak. Selain berbasis kepada prinsip non diskriminasi, untuk memastikan pemenuhan hak anak tidak relevan membedakan peran dan tanggungjawab serta kewajiban masing-masing orangtua (ayah dan ibu) terhadap anaknya.
Dengan kesetaraan peran orangtua, maka dalam konteks hak-hak anak yang terkait dengan peran orangtua, adalah setara berbasis kepada untuk kepentingan terbaik bagi anak. Hak anak atas pemeliharaan dan pengasuhan misalnya, bukan hak absolut yang dengan demikian hanya bisa secara eksklusif dijalankan dan melekat pada ibu saja.
Karena hak pemeliharaan dan pengasuhan ini adalah lebih relevan dengan upaya merealisasikan hak-hak anak, dan terlepas atau berada diluar dimensi kodrati ibu atau perempuan saja –yang memiliki kapasitas subyektif memelihara anak. Lagi pula pemberian hjak pemeliharaan ini, dalam konteks pemenuhan hak-hak anak hanyalah pemberian status hukum saja bagi anak (yang orangtuanya bercerai), dan bukan sama sekali menutup akses atau menghalangi peran, tanggungjawab, dan kewajiban tiap-tiap orangtua terhadap anaknya.
Secara formal, dalam UU Nomor 23/2002, orangtua (bapak ataupun ibu) memiliki hak yang setara dan sama sebagai orangtua untuk mengasuh, memelihara dan merawat serta melindungi hak-hak anak. Yang terpenting, kemampuan orangtua (bapak atau ibu) untuk mengasuh dan memelihara anak.
Penghargaan Pendapat Anak
Disisi lain, anak (yang masih dibawah umur) dalam sistem hukum dan praktek hukum di Indonesia, tatkala kedua orangtuanya berperkara di pengadilan (gugat cerai atau permohonan thalak), tidak pernah dimintakan pendapatnya oleh kedua orangtuanya.
Demikian pula Hakim yang mengadilinya, tidak pula meminta pendapat anak, ataupun mendalami bagaimana kehendak anak. Padahal, dalam UU Nomor 23/2002, dan Konvensi PBB tentang Hak Anak (KHA) dikenal prinsip penghargaan pendapat anak (respect view of the child). Pasal 2 UU Nomor 23/2002 menegaskan: ”Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip dasar konvensi hak-hak anak meliputi: a. …; b. …; c. …; dan d. Penghargaan terhadap pendapat anak”;
Prinsip ini merupakan wujud dari hak partisipasi anak yang diserap dari Pasal 12 KHA. Mengacu kepada Pasal 12 ayat 1 KHA, diakui bahwa anak dapat dan mampu membentuk atau mengemukakan pendapatnya dalam pandangannya sendiri yang merupakan hak berekspresi secara bebas (capable of forming his or her own views the rights to express those views freely). Jaminan perlindungan atas hak mengemukakan pendapat terhadap semua hal tersebut, mesti dipertimbangkan sesuai usia dan kematangan anak.
Sejalan dengan itu, negara peserta wajib menjamin bahwa anak diberikan kesempatan untuk menyatakan pendapatnya pada setiap proses peradilan ataupun administrasi yang mempengaruhi hak anak, baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Dalam Pasal 3 UU No. 23/2002, prinsip penghargaan terhadap pendapat anak ini juga secara eksplisit diadopsi sebagai prinsip dasar, bersamaan dengan Pancasila sebagai asas dan UUD 1945 sebagai landasan penyelenggaraan perlindungan anak.
Diperoleh fakta dalam praktek hukum, pendapat anak ini diabaikan. Hampir semua kasus perceraian tidak meminta pendapat anak. Misalnya Hakim dan para pihak yang berperkara, jika menghargai pendapat anak, perlu menelusuri pendapatnya (walaupun bukan dengan pertanyaan kaku dan formal seperti keterangan orang dewasa). Tidak pernah anak diminta pendapatnya: apakah dia setuju dengan perceraian, atau tidak? Apakah dia memiliki pandangan khusus mengenai hak pemeliharaannya? Mau mengikuti siapa? Alimentasi atas kebutuhan hidupnya? (Muhammad Joni, “Hak Pemeliharaan Anal: Piala Bergilir? (Superioritas Orangtua Vs Evolving Capacity Anak)”, Tabloid AYOM, Edisi No. 02, Mei 2006, Komisi Nasional Perlindungan Anak, Jakarta, hal. 12)
Disisi lain, anak memiliki hak untuk bersama (unifikasi) dengan keluarganya. Anak juga memiliki hak privat untuk bisa bermain, berhatinurani, dan memperoleh informasi, serta hak mengakses informasi. Termasuk tentang proses hukum perceraian kedua orangtuanya di Pengadilan.
Ketua Komnas Perlindungan Anak, DR. Seto Mulyadi, menegaskan pentingnya penghargaan terhadap pendapat anak, antara lain mengatakan, ”…Anak-anak itu berhak dimintai pendapatnya berkaitan dengan nasib dan masa depannya. Partisipasi ini hak dasar, harus diberikan kepada anak dalam setiap situasi.” [Majalah TEMPO, Edisi 6-12 Maret 2006, hal.40.]
Berbagai kasus/perkara perebutan (hak pemeliharaan) anak, yang dilaporkan kepada Komnas PA, sepertinya berbasis pada pandangan salah tentang superioritas orangtua – menguasai anak. Integritas anak seakan hanya bisa dikukuhkan secara subyektif hanya oleh ayah atau hanya ibunya.
Padahal, konsep perlindungan, pengasuhan, dan pemeliharaan anak, dikembangkan lewat basis yang kuat yakni kepentingan terbaik bagi anak. Integritas pertumbuhan dan perkembangan anak – bukan hanya sekadar fisik-biologisnya sahaja. Akan tetapi mencakup fisik, psikologis/mental, pikiran anak.
Perebutan pemeliharaan anak, dalam tensi apa dan bentuk yang bagaimanapun, akan merusak integritas anak. Apalagi perebutan anak yang bermuara pada pertikaian, sengketa, dan perbuatan pidana. Tidak juga diperkenankan menghalangi dan membatasi salah satu orangtua.