Catat Sendiri Anak Anda: Mazhab “Stelsel Aktif bagi Penduduk”
Pembaca, coba tanya kiri kanan, masihkah anak kerabat atau tetangga, kenalan atau saudara yang belum memiliki akte kelahiran? Memiliki akte kelahiran sejak dini sejak kelahiran? Dibebani biaya? Jika hare gene masih ada anak-anak tanpa akte kelahiran, apa yang terjadi?
Kalau pembaca punya sepeda motor atau mobil, pasti mempunyai “buku hitam” dan STNK. Tanah mempunyai sertifikat tanah, surat keterangan tanah, girik, grant sultan, atau tanda bukti lain. Rumah atau rumah susun dan apartemen, ada surat kepemilikan bangunan. Bahkan laptop, cincin berlian dan seuntai permata, dilengkapi surat kepemilikan.Siapkan sendiri, bayar biayanya sekalian. Untuk akte kelahiran seorang anak? Jangan coba untuk tak aktif. Anak anda akan tak tercatatkan. Dikenai denda sejutaan jika lewat waktu, dan aneka syarat formal yang tak murah.
Coba bandingkan. Sebut saja anda punya motor atau mobil, mulai dari “buku hitam”, surat tanda kenderaan bermotor alias STNK, dan seterusnya, anda mengurusnya secara aktif. Dan, tentunya dikenai patokan biaya. Mengapa? Karena soal itu objek pajak dan retribusi, hal ihwal urusan perdata harta kekayaan anda. Untuk urusan harta benda itu, diberlakukan stelsel aktif pemilik. Siapa memiliki dia aktif mengusahakan surat kepemilikan. Tentu saja membayar biayanya.
Lha, bagaimana soal akte kelahiran anak, seorang manusia, warga negara, dan anak bangsa? Apakah dibebani biaya juga? Dibebani biaya kepada penduduk atau orangtuanya? Jika demikian, sama saja dengan hal ihwal urusan perdata tadi?
Kembali ke soal anak tanpa akte kelahiran. Tak usah terlalu berkecil hati atau menyalahkan diri sendiri, karena Pemerintah memang masih “gagal” mencatatkan seluruh kelahiran anak. Menurut data, jumlah anak yang memiliki akte kelahiran sekitar 54,79 persen, dari jumlah tersebut ternyata 14,57 persen diantaranya tidak dapat menunjukkan akte kelahirannya. Bayangkan, hampir separoh anak tak memiliki akte kelahiran. Padahal, akte kelahiran hak pertama anak. Pengakuan eksistensinya sebagai subjek hukum, dan tentunya basis pemberian hak jaminan sosial, pendidikan, dan perlindungan dari segala bentuk eksploitasi anak.
Kepala Subbidang Pembangunan Kesejahteraan Sosial Anak Telantar Kementerian Sosial Rahmad Kusnadi mengatakan, jumlah anak jalanan saat ini diperkirakan 230.000 orang. Setiap tahun, jumlahnya bertambah 1.000 anak. Sebanyak 90 persen anak jalanan ini tanpa akta kelahiran.
Apakah kausal semua itu?
Menurut hemat saya, sebabnya pembuatan hukum yang salah kaprah. Tepatnya, UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) yang menganut mazhab “catat sendiri anak anda”, atau dalam bahasa hukum UU Adminduk dikenal “stelsel aktif bagi Penduduk”. Akibatnya, ya … itu tadi, Penduduk diwajibkan melaporkan dan mencatatkan kelahiran anak kepada instansi berwenang.
Mirip dengan hal ihwal urusan perdata mengurus surat tanah, rumah, motor, rumah, apartemen dan motor atau mobil. Bukan sebaliknya, “stelsel aktif bagi Pemerintah”, karena anak bukan harta benda, anak bukan urusan perdata tetapi urusan negara. Kewajiban publik Negara, bahkan kewajiban atas HAM dan kewajiban atas konstitusi.
Tak heran jika, UU Adminduk dengan mazhab “stelsel aktif bagi Penduduk” dinilai gagal mencacatkan kelahiran. Nyaris 50% anak-anak tak memiliki akte kelahiran. Mengerikan, lebih menggelisahkan dari hanya sekadar tanah atau rumah atau properti tanpa surat-surat. Buktinya?
Pertama: Adanya pengakuan Menteri Dalam Negeri RI perihal kegagalan stelsel aktif pada Penduduk, dengan terbitkannya Surat Edaran Surat Menteri Dalam Negeri RI No. 472.11/3444/SJ tanggal 13 September 2011, yang pada pokoknya menentukan bahwa “anak-anak yang lahir setelah UU No 23/2006 dan belum mengurus akte kelahiran dapat dilayani dan diterbitkan akte kelahirannya tanpa penetapan pengadilan”.
Penerbitan Surat Edaran itu bukti notoir feiten bahwa “stelsel aktif bagi Penduduk” gagal menjalankan fungsi hukum sebagai sarana perekayasa sosial (law as a tool of social enginerring).
Kedua, apabila dibandingkan data anak-anak Usia 0-4 Tahun yang Memiliki Akta Kelahiran menurut Provinsi (Sensus BPS, 2005) yakni sebelum UU Adminduk sebanyak 42,82%. Sedangkan data Penduduk 0-4 Tahun Menurut Kepemilikan Akte Kelahiran, (sumber BPS, Susenas 2011) setelah UU Adminduk (59%). Tidak ada peningkatan signifikan penerapan mazhab “stelsel aktif bagi Penduduk” dalam UU Adminduk. Sama saja, rezim hukum lama dengan hukum baru.
Ihwal mazhab “stelsel aktif bagi Penduduk” itu ditemukan dalam Penjelasan Umum UU Adminduk (alinea 10, kalimat 1) yang berbunyi “Pendaftaran Penduduk pada dasarnya menganut stelsel aktif bagi Penduduk”.
Tatkala membolak balik UU Adminduk, saya justru menemukan hal yang penting namun tidak konsisten dengan mazhab “stelsel aktif bagi Penduduk”. Menurut hemat saya, landasan filosofis dan maksud asli UU Adminduk sejatinya justru “stelsel aktif bagi Negara”. Mengapa?
Lihat saja rujukan konsiderans “Menimbang” huruf (a) UU Adminduk. Bunyinya: “bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk Indonesia yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Kalau demikian, Ada pengurangan bahkan pemutarbalikan kewajiban Negara atas status pribadi anak, dari “stelsel aktif bagi Negara” dalam konsideran UU Adminduk menjadi “stelsel aktif bagi Penduduk” dalam Penjelasan Umum UU Adminduk. Bertolak belakang. Tidak harmoni, idemditto tidak ada sinkronisasi.
Kua teori dan praktek Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (guardian of constitution) dan penafsir konstitusi (the Sole Interpreter of the Constitution) berwenang melakukan sinkronisasi norma UU sehingga tidak lagi terjadi pelanggaran hak konstitusional dan hak asasi manusia.
Jurisprudensi MK membuat pendapat bahwa “…Mahkamah sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya , tidak akan membiarkan adanya norma dalam Undang-undang yang tidak konsisten dan tidak sesuai dengan amanat perlindungan konstitusional yang dikonstruksikan oleh Mahkamah” [vide, pertimbangan Mahkamah Konstitusi, pada Putusan Nomor 1/PUU-VIII/2010, hal. 153].
Pembaca, ulasan diatas hanya sekilas dari aneka rupa alasan mengapa perlu menguji konstitusionalitas UU Adminduk ke MK. Kembali mengajukan naskah, mengenakan jubah hitam: berjuang ke MK lagi. Ada yang mau bergabung?