Catatan Kecil atas Opini CHS Ikhwal 4 Tahun JKN
Menggugah tulisan Chazali Husni Situmorang (CHS), mantan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) membuat kritik dengan analisis forensik atas perjalanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang dikupasnya paripurna. Menurut CHS, kini JKN mengalami berbagai soal yang saya sebut sebagai soal-soal struktural. Termasuk CHS mengangkat pergeseran peran Puskesmas menjadi seperti idemditto institusi fasilitas kesehatan (faskes) biasa yang nyaris tak ada bedanya dengan gaskes seperti klinik dan rumah sakit yang belerja di hulu menangani pasien alis layanan kesehatan kuratif. Juga ikhwal regulasi yang overlapping, pembiayaan JKN yang mengalami “pendarahan”, yang perlu solusi mendasar.
Membaca ulasan CHS, patik tergelitik. Karena JKN seakan menjadi Jaminan Perobatan Nasional saja. Jaminan Perobatan yang terpuruk menjadi pusat layanan kesehata kuratif.
Ada kesalahan mendasar ‘road map’ JKN. Seolah-olah urusan pelayanan kesehatan selesai dengan JKN saja. Seakan-akan urusan pelayanan kesehatan, peta jalannya hanya tunggal: JKN.
Padahal, jika merujuk konstitusi, JKN adalah pelaksanaan hak konstitusi Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 atas Jaminan Sosial. Karena konsep JKN adalah jaminan sosial dan gotong royong sebagai turunan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). Yang bermakna ada peranserta warga masyarakat membiayai JKN dengan beban biaya iuran peserta JKN. Warga masyarakat miskin dibantu Pemerintah dan menjadi Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Karena alasan kurang Iur, BPJS Kesehatan jangan pula (dan tidak diharapkan) sampai tergelincir kepada perbuatan yang mengancam orang atau badan yang tidak mendaftarkan karyawannya menjadi peserta, tentu itu bukan domein BPJS Kesehatan.
BPJS Kesehatan hanya penyelenggara jaminan kesehatan bukan penegak hukum.
Padahal, selain jaminan sosial atas kesehatan, ada hak konstitusional lain yang juga diakui yakni atas hak pelayanan kesehatan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, yang berbeda dengan maksud asli hak jaminan sosial atas kesehatan yang dikonkritkan sebagai JKN.
Hak konstitusi ini tidak bisa diabaikan, kecuali jika Pemerintah bersiap menjadikan urusan JKN terus dalam pengaruh intervensi kebijakan Kementerian Kesehatan.
Mustinya yang menjadi regulator JKN adalah DJSN bukan Kemenkes. Disinilah akar masalah overlapping regulasi, dan menjadi tikungan zaman regulasi JKN. Seperti halnya tikungan dalam kenyataan, selalu menjadi musabab tergelincir dan membalikkan arah perjalanan secara tajam, bahkan bisa lebih vulgar dari itu.
Akibatnya dalam kasus konkrit? Puskesmas berubah fungsinya menjadi kuratif bukan lagi promotif dan preventif. Menjadi idemditto klinik bahkan Puskesmas utama seperti Puskesmas di Gunt.., Jakarta Pusat yang berfungsi bak rumah sakit, dengan fasilitas rawat inap dan layanan sekunder karena adanya dokter spesialis bahkan, perlu diperiksa, bisa jadi layanan tersier. Diwartakan, ada belasan Puskesmas seperti itu di Jakarta.
Ingat, maksud dibuatnya Puskesmas adalah layanan primer. Siapa yang berani bertanggungjawab mengubah hittah Puskesmas jaman now?
Padahal sistem kesehatan nasional yang diemban sesuai UU Kesehatan adalah mengintegrasikan sistem layanan kesehatan promotif, preventif, kuratif. Juga layanan kesehatan primer, sekunder dan tersier.
Dengan JKN, Puskesmas semakin jauh dari masyarakat sekitarnya. Karena hanya menantinya di ruang periksa Puskesmas saja. Memberinya tindakan dan rujukan. Selesai.
Tak ada lagi penyuluhan yang promotif dan preventif. Memperbaiki lingkungan, sanitasi, menjaga guzi anak balita, menata kesehatan keluarga dan sebagainya.
Padahal sejak “zaman old”, semisal kejadian luar biasa seperti kolera di London, diatasi dengan perbaikan sanitasi dan lorong bawah tanah penyaluran air kota itu. Penanganan busung lapar yang dialami anak, pun demikian sakit degeneratif seperti hiper tensi dan jantung koroner, terkait asal mula gaya hidup merokok dan pola makan.
Itu wilayah promotif dan preventif bukan kuratif. Jadi kembalikanlah maksud asli konsep Puskesmas.
Soal lain, kebijakan JKN itu mengeliminir peran profesi dokter dan dokter gigi. Seakan bukan profesi yang signifikan dalam penentuan regulasi layanan kesehatan JKN, sebab yang diajak berunding dan membuat kontrak hanya institusi fasilitas kesehatan, seperti Puskesmas, klinik doker dan Rumah Sakit. Perlu dicermati, mungkin itu sebab banyak yang berupaya membeli klinik yang payah dan membuatnya Rumah Sakit bagus dan naik kelas dalam satu group korporasi.
Padahal, tak boleh dinafikan, dokter dan dr gigi sebagai tenaga medis adalah anggota IDI/atau PDGI. Mereka sebagai Organisasi Profesi (OP) berhak malah berkewajiban melindungi hak anggotanya misalnya atas dana kapitasi, perlindungan hukum dokter/drg, seperti halnya menjalankan fungsi profesional.
Bahkan OP menentukan standar layanan yang sesuai dengan kompetensi dan body of knowlwdge ilmu kedokteran, terikat dengan norma disiplin, norma etik dan norma hukum. Walaupun pembuat kebijakan dan regulator bisa berdalih bahwa standar itu toh disusun oleh dokter atau dokter gigi yang berstatus PNS atau pejabat Pemerintah atau ahli/konsultan jaminan kesehatan, namun bukan dalam kapasitas sebagai OP.
Alegorinya, seperti jeruk makan jeruk. Regulator tak elok merangkap pengawas dan pemberi dana dalam bentuk alokasi APBN.
Sehingga, harus dikembalikan hittah bahwa jaminan atas standar pelayanan medis berbasis kepada kompetensi bukan berbasis kepada policy dan regulasi Pemerintah ataupun DJSN yang bisa saja hanya demi policy/regulasi.
Sebab itu membenahi regulasi JKN musti melibatkan dan memosisikan IDI/PDGI secara pas sesuai fungsinya sebagai OP.
Sebab mandat melaksanakan pelayanan kesehatan dan sumberdaya tenaga medis adalah domein OP bukan institusi faskes seperti klinik dan RS.
Allahua’lam.
Salam Takzim (MUHAMMAD JONI, Advokat, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia).