Cemburu Kepada Melaka

Ini bukan advetorial kota Melaka. Tak pula  mengumbang Datuk Zainal bin Hussin. Hanya  catatan kesan elok membekas  usai Studi Banding Perumahan Indonesia-Malaysia (SBPIM) 2017 yang dihelat Housing and Urban Development (HUD) Institute, 17 s.d 21 September 2017. Diikuti 66 peserta dari jamak  lembaga, SBPIM 2017 belajar cepat ke jiran serumpun.

Jika anda melancong ke Melaka, bersiaplah  terkesima dengan jamak warisan yang memesona dan terurus terjaga. Tak hanya bangunan merah bersejarah, semisal  Red Square, Melaka Art Galery yang mencolok dan tempat konsentrasi pelancong, namun ragam peninggalan zaman lampau kejayaan Portugis maupun Belanda, eksotik menjadi  situs warisan budaya.

Tepat jika Melaka mengambil label kota bersejarah. Resminya disebut dengan akronim MBMB: Majelis Bandaraya Melaka Bersejarah. Melaka kini juga bertitel Kota Warisan Dunia (World Heritage City), yang terus bersolek meremaja.  Salah satu yang diremajakan dengan biautifikasi dan rehabilitasi adalah Sungai Melaka yang dulunya kotor dan kumuh. Peremajaan tahap pertama sejak tahun 2002-2005 sampai tahap keempat tahun 2008-2010, dengan pembiayaan pemerintah federal.

Tatkala delegasi SBPIM 2017 HUD Institute dipimpin Ketua Umum-nya Zulfi Sutan  Syarif mendengar  pembentangan Datuk Zainal bin Hussin, Datuk Bandar  (Walikota = Mayor) Melaka, Senin (18/09), kuat kesan Melaka percaya diri menjadi tulang punggung pelancongan Malaysia. Kala ekonomi Malaysia surut cunam, tren ekonomi Melaka malah  menaik karena industri wisata.

Otoritas Melaka jenius menjual setiap jengkal kota budaya bersejarah. Idemditto, potensi wisata Sungai Melaka sebagai sumber asli yang menghasilkan devisa.  Pun hanya mengekspos karakter batu warna coklat kemerahan ala Portugis dalam ukuran besar-besar yang berbeda dengan batu bangunan ala Belanda yang lebih kecil-kecil.

Otoritas pariwisata Melaka tabah memajang bekas tapak bangunan bersejarah yang terjaga,  persis di seberang jalan di depan benteng dengan ekspos beberapa moncong meriam peninggalan kolonial pada jasad Middleburg Bastion yang dapat dinaiki dekat pinggir Sungai Melaka.

Malaysia cerdas dan serius merevitalisasi Sungai Melaka yang sebelumnya menjadi pangkalan nelayan dan airnya buruk. Dengan kebijakan membentuk Perbadanan Pembangunan Sungai dan Pulau Melaka (PPSM), Sungai Melaka merubah menjadi ikon pelancongan.  Slogannya, ‘Visit historic Melaka Means Visit Malaysia’. Otoritas Melaka memiliki berbagai pesta tahunan, termasuk ‘Sungai Melaka International Festival’.

Ikhtiar ini  juga melibatkan warga masyarakat mencintai  sungai Melaka. Ikhtiar menyadarkan warga pentingnya sungai Melaka bagi pelancongan dan menebalkan kocek warga. Karakter warga  Melaka  sadar budaya mendukung industri wisata Melaka, seperti halnya warga Bali sadar betapa destinasi dan budayanya adalah industri wisata sekaligus kehidupan mereka.

Penulis terperangah mendengar jurus penting  rehabilitasi dan memolekkan Sungai Melaka dengan  membuat sungai pengganti yang serupa bagi komunitas nelayan tradisional-lokal dengan mempertahankan tradisi bahari kehidupan nelayan berikut anasir  sosial-ekonomi  sebagai nelayan. Bukan menggusur nelayan ke darat tanpa lingkungan ekosistem sungai sebagai lingkungan kehidupan sosial-ekonomi-budaya  pengganti yang nyaris serupa. Hal itu terkuak saat paparan ikhwal Sungai Melaka yang dihadiri Datuk Zainal bin Hussin  dan Nazary Ahmad, Ketua Pegawai Eksekutif PPSPM, saat menjawab soal  Ade Armansyah, urban planner delegasi  HUD Institute.

Air sungai Melaka yang tenang bisa dinikmati dengan ‘Melaka Cruise’ yang mulai beroperasi Februari 2006, kini sudah  40 kapal. Di atas ‘Melaka Cruise’ pelancong dapat menikmati liuk sungai, dengan jalan setapak pejalan kaki (‘walkway’) di tepi sungai, menengok musium hidup Kampung Morten yang terjaga, bahkan ada paket ‘Dining on Boat’ dan ‘Wedding on Boat’.

Pemandangan makin molek memesona menjelajahi sungai dengan ‘Melaka Cruise’  malam hari karena berbinar sorot lampu beraneka warna cahaya. Sensasi Sungai Melaka dan ‘Melaka Cruise’  dijual pada pelancong hingga pukul 11 malam, 7 hari sepekan. Melaka hendak mengembangkan futuristik Sungai Melaka, dengan atraksi fantastic light, active light, mysterious light,water fountain, water pillar, water tunnel yang berbasis lingkungan sungai,  seakan hendak melampaui atraksi air menari ‘Song of the Sea’ pulau Santosa Singapura.

Di kiri kanan Sungai Melaka, tampak elok  rumah penduduk, sejumlah hotel, river cafe, resto/toko yang diubah suai menghadap sungai, dengan warna warni lukisan dinding alias mural yang mempercantik kawasan permukiman.  Serta tersedianya ‘walkway’ seperti pedestrian pejalan kaki dan jogging track yang meliuk di tepi Sungai Melaka yang membelah kota, makin menambah nyaman pelancong menikmati dari dekat Sungai Melaka. Otoritas Melaka  melibatkan peran serta masyarakat dengan Community Service Responsibility dan “Program Cintai-lah Sungai Kita” (Love Our River), sungai bertuah penghasil ringgit bagi penduduk dan devisa Malaysia.

Ups, jangan lupa. Di Melaka juga banyak musium, termasuk musium yang dikelola swasta. Salah satunya ‘Muzium Budaya Cheng Ho’ di kawasan Kampung Jonkers,  tak jauh dari bangunan merah yang  terkenal.   Dari koleksi ‘Muzium Budaya Cheng Ho’,  tercatat sejarah Cheng Ho yang tak hanya memimpin ekspedisi bahari,  namun bahariawan melegenda  itu juga membangun perumahan dan perkotaan serta  properti lain seperti gudang penyimpanan logistik dan menara:  pelengkap properti dan teknologi bahari.

Bersumber dari tulisan Ma Huan, penterjemah Cheng Ho itu menuturkan, “Apabila armada kapal karun tiba di Melaka, mereka segera mendirikan sebuah kota bertembuk dua lapis”. Ada pula perkakas musik dan miniatur armada Cheng Ho serta jejak Cheng Ho dan Islam.

Ada pula destinasi makam Hang Tuah di bandar  Melaka, walaupun  makam Hang Tuah diyakini pula ada di pulau Bintan, tanah kelahiran Laksamana Hang Tuah.  Bedanya, Melaka tak hanya klaim namun  pandai merawat dan ligat mengenalkannya kepada dunia melalui digital tourism.

Warisan sejarah membawa berkah, pun dalam hal kosa kata. “Warisan” menjadi kosa kata yang jamak di sini, termasuk nama restoran. Seakan kosa kata itu dipercaya membawa  cuan. Melaka sangat paham mengelola warisan  menjadi model wisata warisan budaya bersejarah. Pas jika defenisi Melaka adalah Kota Warisan.

Bagaimana dengan kota-kota warisan kita? Indonesia tak kalah banyak dan menarik kota warisan bersejarah, seperti kota tua Batavia, kota Semarang, dan kawasan Kesawan Medan, masjid Raya dan istana Maimon. Jarak 60 kilometer Medan ada kota Tanjungpura dengan artistik anggun Masjid Azizi yang memikat, dan tapak kejayaan kesulthanan Langkat. Juga “makam bersyair”  Tengku Amir Hamzah, raja penyair pujangga baru dan pahlawan nasional yang berwajah santun.

Catatan kecil ini menggemakan  perlunya  HUD Institute mengadvokasi agar Pemerintah mengambil langkah eksponental membangun kota warisan dan meremajakan sungai, yang  dalam  setarikan nafas melakukan penataan kota dan futurisasi kota warisan budaya. “Terlalu sederhana untuk tidak dilakukan”, ujar Ade Armansyah kala bertekun-tekun  merekam gambar dari ‘Malaka Cruise’.

Soalnya, akankah berkehendak melangkah cepat futurisasi kota warisan budaya. Atau membiarkan tanpa peduli, dan tak mendapatkan manfaat  devisa jumbo dari kota warisan budaya bersejarah? Naif, membiarkan pelancong domestik dan pelancong asing hengkang ke negeri jiran mencari kota-kota warisan  bersejarah yang agresif dan futuristik.

Pelancong pun minim kesan elok membekas. Terbiar pergi meninggalkan kota warisan milik kita yang tergeragah. Terbengkalai  kurang diurus. Menulis opini ini, patik tak sanggup berlama-lama  dengan suasana hati  redup seperti  lirik  lagu   ‘Walk Away’ yang sendu:  ‘walk away please go …‘. Cemburu kepada Melaka!

 

***) Muhammad Joni:  Sekretaris Umum  Housing and Urban Development (HUD) Institute,   Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Founder Smart Property Consulting (SPC).

1 Response

  1. Pingback : PAK HUD, “LAKSAMANA”  PERUMAHAN RAKYAT, …..[1] – Indonesia Housing

Leave a Reply