Child Pornography: Refleksi dari Esai Lama

Polemik mengenai Rancangan Undang-Undang Anti Pornorafi dan Pornoaksi (RUU APP) nyaris tidak produktif. Ruang dan energi berwacana yang diumbar masih fokus pada relativitas kebebasan ekspresi versus etika dan moral. Wacana tersebut belum memasuki wilayah dan substansi perlindungan ekses pornografi pada anak, dan mengabaikan urgensi kriminalisasi perbuatan dalam pasal-pasal RUU APP.

Perdebatan itu juga masih abai untuk membahas alasan ambisiusnya RUU APP membentuk Badan Anti Pornografi dan Pornoaksi Nasional (BAPPN). Terkesan pula, RUU APP hanya mengesahkan kriminalisasi perbuatan pornografi dan pornoaksi, dan dengan banyak pasal mengatur legalisasi pembentukan BAPPN -yang belum dinilai urgensi, fungsi, dan landasannya.

Abainya RUU APP mengintegrasikan perlindungan terhadap anak dari pornografi (child pornography), terbukti dengan tidak diintegrasikannya prinsip dan esensi hak anak korban eksploitasi seksual komersial ke dalam RUU APP. Pasal mengenai child pornography hanya ditempelkan pada kriminalisasi perbuatan orang dewasa.

Padahal, de facto, penggunaan anak sebagai pelaku model pornorafi sudah menggelisahkan. Sudahkah terbayangkan bagi pembentuk undang-undang jika para pedofili (penderita kelainan yang menyalurkan hasrat seksualnya kepada anak-anak) yang bisa menikmati gairah seksualnya dengan melihat gambar bugil anak-anak, seluruhnya ataupun sebagian? Jadi, bukan lagi hanya berhubungan seksual dengan anak dan sodomi anak.

Dengan media internet, perlindungan child pornography makin penting dan mendesak. Beberapa waktu lalu, praktik eksploitasi seksual komersial anak di Batam disiarkan sebuah televisi swasta di Singapura. Salah satu bentuk eksploitasi seksual komersial anak –menurut konvensi internasional hak anak– adalah praktik penyiaran atas pornografi anak.

Di Indonesia, industri penyiaran dan hiburan belum bebas dari praktik yang bisa dikualifikasi sebagai child pornography itu. Jika mengikuti standar internasional, media penyiaran tidak boleh menampilkan anak dengan mempertontonkan bagian tubuhnya yang sensitif, gerakan yang erotis, dan ciuman bibir. Itulah sebabnya, tatkala heboh film remaja ‘Buruan Cium Gue’, Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak setuju menarik peredarannya dengan dasaradanya child pornography.

Mafia yang mendunia

Kasus pornografi anak pernah terbongkar di Tanjung Morawa, Sumatera Utara. Beberapa warga negara asing ditangkap dalam kasus pedofilia, dan ditemukan banyak foto bugil anak-anak. Erat sekali kaitan pedofilia dengan pornografi anak. Bisa sebagai kelanjutan hasrat seksualnya, dan bisa pula cara mempromosikan, memperdagangkan, dan mengemas child pornography mempergunakan media cyber kepada jaringan pedofilia internasional.

Hasil studi Rohman, beberapa sindikat pedofili yang diketahui seperti Rene Goyon Society (RGC) beranggota 5000-an orang dengan motto, ‘seks sebelum delapan tahun, setelah itu sudah terlambat’. Ada juga Sekte VI Free (We Free), NAMBLA (The North American Man/Boy Love), The Huddings, dan Smile of Children (1997) di Bali.

Menurut sebuah sumber, di Moskow, ditemukan 50 ribu foto pornografi anak pada sebuah server yang berbasis di Eropa Timur. Diinformasikan foto-foto itu dikirim melalui email dari Amerika Serikat (AS). Sudah pasti sang eksploitator anak yang menjadi pemilik server itu mengeduk keuntungan. Dia memberlakukan tarif biaya langganan 1.000 dolar AS per bulan bagi para penikmat foto-foto pornografi anak.

Di Inggris ada Wonderland Club yang memperdagangkan pornografi anak. Kelompok itu mengoleksi sekitar satu juta foto pornografi anak. Setiap anggota wajib membayar iuran sebesar 100 dolar AS kepada klub untuk mengakses data-data melalui saluran internet relay chat (IRC). Bayangkan, betapa besar keuntungan kelompok eksploitator child pornography itu. Dari informasi itu, jelaslah adanya praktik, pengguna, pasar, sindikat, dan jaringan child pornography.

Posisi korban

Dengan karakteristik perbuatan child pornogrphy seperti itu, maka kedudukan anak-anak yang dieksploitasi dalam hukum itu adalah korban. Seluruh korbanchild pornography mesti dilindungi dan memperoleh pelayanan khusus seperti korban eksploitasi seksual komersial anak lainnya. Karena itu, salah besar jika dalam RUU APP dilakukan kriminalisasi atas pornografi anak, yang semestinya justru membuat norma untuk melindungi anak-anak. Secara yuridis, pihak yang dituntut bertanggungjawab adalah eksploitatornya.

Pasal 34 Konvensi PBB tentang Hak Anak (KHA) yang diratifikasi dengan Keppres No 36/1990, Optional Protokol KHA tentang Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak, dan Konvensi ILO Nomor 182 (yang diratifikasi dengan UU No. 1/2000), dapat dipergunakan sebagai acuan dalam merumuskan norma perlindungan pornografi anak dalam RUU APP. Menurut Optional Protokol, pornografi anak didefenisikan sebagai segala tampilan, dengan cara apapun, tentang anak yang dilibatkan dalam aktivitas seksual baik yang nyata maupun dalam bentuk simulasi, atau segala tampilan organ seksual anak yang sifat dominannya adalah penggambaran atau tujuan seksual.

Secara eksplisit, UU nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak tidak mengatur pornografi anak. Hal ini merupakan kesalahan para pembentuk undang-undang. Mereka mengabaikan masalah pornografi anak. Karena itu, Komnas Perlindungan Anak berkepentingan untuk mengintegrasikannya dalam RUU APP.

Memang dalam UU nomor 23/2002 itu sudah ada jaminan perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi dan seksual (pasal 66), dan disertai dengan ancaman hukuman pidana (pasal 88 UU). Namun dalam pasal 66 dan 88 undang-undang tersebut tidak dinyatakan secara eksplisit rumusan delik tentang melakukan eksploitasi pornografi anak. Namun, kekosongan hukum itu bisa sedikit tertolong dengan tafsir hukum atas Konvensi ILO 182 (UU No 1/2000) yang menentukan pornografi anak sebagai salah satu bentuk eksploitasi seksual komersial anak.

Aspek turunan

Selain mengintegrasikan perlindungan pornografi anak dalam RUU APP, yang penting dirumuskan secara lebih lengkap ke dalam RUU itu adalah aspek apa saja yang menjadi lingkup kriminalisasi pornografi anak. Dengan mengacu kepada Optional Protocol, maka pembentuk undang-undang mestilah menegaskan kewajiban pemerintah menjamin (to ensure) bahwa kriminalisasi perbuatan pornografi anak meliputi produksi, distribusi, penyebaran, impor, ekspor, penawaran, penjualan, atau pemilikan pornografi anak dianggap sebagai kejahatan.

Yang juga tidak jelas adalah pembedaan antara penikmat pornografi dengan pihak yang melakukan komersialisasi pornorafi. Dalam konteks perlindungan dari pornografi, tentunya karakter perbuatan eksploitator berbeda dengan penggunanya.

Oleh karena itu, dalam hal pelakunya, RUU APP mesti bisa membedakan kualitas delik berdasarkan karakteristik apakah pelakunya adalah individual (personal), atau korporasi yang terorganisir. Apakah perbuatan itu dilakukan secara domestik ataupun melewati batas negara (transnasional). Hal ini perlu dirumuskan dengan lengkap dan berbeda untuk pemberatan hukuman dalam ancaman sanksi pidananya.

Kebebasan berekspresiJika masuk dalam wacana kebebasan ekspresi versus etika moral, maka dalam konteks perlindungan anak atas pornografi, wacana itu tidak relevan untuk isu anak. Artinya, terhadap anak mutlak diberikan perlindungan atas pornografi. Walaupun esensinya bisa mengacu kepada hukum nasional yang sudah ada. Secara yuridis, kebebasan berekspresi bukan hal yang mutlak.

Menurut instrumen/konvensi internasional, diperoleh rujukan bahwa jaminan kebebasan berekspresi bukan merupakan hal yang mutlak. Dalam InternationalCovenant on Civil and Political Rights (ICCPR) memang ditentukan adanya beberapa hak yang tidak dapat dihempang (non derogable right), namun bukan dan tidak termasuk hak berekspresi. Yurisprudensi internasional menentukan bahwa kebebasan berekspresi ataupun kebebasan berbicara tidak bersifat multak. Akan tetapi diseimbangkan dengan hak anak dari kekerasan seksual dan privasi anak.

Kepentingan publik untuk bebas dari informasi yang tidak sehat, dan hak masyarakat untuk memperoleh kualitas acara penyiaran yang tidak vulgar dan bebas porno, satanic dan tahayul, secara normatif masuk dalam domain publik. Lebih-lebih lagi, masalah destruksi integritas pikiran dan moral anak-anak dari produk penyiaran dan nonpenyiaran perlu perlindungan khusus. Dengan demikian maka cukup kuat alasan mengapa sepatutnya RUU APP versi DPR harus dirombak dengan mengintegrasikan aspek child pornography demi kepentingan terbaik anak. (saat itu Muhammad Joni, Ketua Komisi Advokasi dan Hukum pada Komisi Nasional Perlindungan Anak, kini Tim Ahli KPAI) (dimuat Republika, Kamis, 02 Februari 2006)

Leave a Reply