Child Rights Indicator Dalam Isi Siaran Dan Produk Film

Anak mempunyai hak konstitusional atas kelangsungan hidup (rights to life and survival), hak tumbuh dan berkembang (rights to development), dan hak perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hak atas tumbuh kembang anak mencakup bukan saja aspek fisik, namun juga psikis, mental, moral, spiritual, sosial, dan alam pikiran anak.

Dari pendataan dan pengamatan, berbagai bentuk kekerasan, tahayul, mistik dalam berbagai variannya, teru menerus menggejala pada siaran televisi dan produksi film nasional. Temuan dan hasil pengamatan yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menunjukkan betapa penyiaran masih mengandung informasi yang tidak sehat bagi anak-anak. Siaran televisi yang mengandung informasi tidak sehat, bukan saja dalam bentuk sinetron, warta berita, iklan, atau materi acara lainnya.

Dalam pengamatan, televisi nasional masih kerap menyiarkan iklan SMS ramalan nasib, seperti ”Manjur” yang mengiklan ”Penafsir Ahli” dengan menggunakan anak-anak, ramalan ”Mama L”, dan beberapa paranormal lain yang menggunakan iklan layanan SMS tarif premium. KPI mencatat berbagai sinetron anak yang dinilai mengandung tahayul (”Si Eneng”, ”Si Entong”). Sepertinya, tema tahayul dan mistik mengandung daya tarik bagi produser sinetron dan televisi nasional. Jauh sebelumnya dan sudah cukup lama ditayangkan sinetron bertitel ”Jin dan Jun”, dan lain-lain.

Warta berita juga kerap mengambil gambar/wajah anak yang berkonfilk dengan hukum, anak korban kekerasan seksual, perkosaan, tanpa menutupi nama dan wajahnya dari tontotan publik. Sebelum dihentikan, siaran ”Smack Down” jga menelan korban kalangan anak-anak. ”Smack Down” sudah menjadi idola dan diduplikasi anak-anak. Menurut versi data Komisi Nasional Perlindungan Anak, lebih duapuluhan anak menjadi korbannya. Diantaranya meninggal, patah tangan, pundak atau paha, engsel pinggul lepas, jidat sobek, dan pingsan. Umur mereka beredar mulai dari 4,5 tahun sampai 15 tahun.

Film remaja “Buruan Cium Gue” (“BCG”) menuai protes dai kondang AA Gym. Bersama tokoh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sejumlah artis, AA Gym menyalurkan protes dengan mendatangi Lembaga Sensor Film (LSF). Tuntutannya, BCG ditarik dari panggung edarnya. Memang, argumen yang diusung adalah moralitas dan norma agama. Untuk membentengi anak-anak dan remaja generasi muda dari permisifisme pornografi. Namun, argumentasi itu relevan dan konsisten dengan UU Perlindungan Anak, yakni melindungi anak dari informasi yang tidak sehat.

Dalam posisi ini, para anak-anak yang memainkan peran ”syur” atau pornorafi, sudah mengalami eksploitasi. Demi keuntungan industri film dan hiburan, anak-anak dan remaja dibawa ke dalam eksploitasi ekonomi dan seksual. Para pemodalnya mengeduk keuntungan berlipat ganda diatas eksploitasi birahi atas anak dan remaja. Dalam konteks itu, anak dan remaja yang terjebak dalam industri itu, tidak lagi relevan dipahami hanya dalam konteks hak pribadi mengekspresikan diri. Dari fakta dan data diatas, beralasan dan absah jika Negara melakukan perlindungan kepada anak-anak dari informasi idak sehat.

PERLINDUNGAN ANAK VS KEBEBASAN BEREKSPRESI?

Landasan Konstitusional

Ada yang beranggapan, bahwa kekebasan dalam berekspresi yang diberikan oleh hukum (Undang-undang), menjadi dasar dan argumentasi untuk membenarkan “seni” pornografi. Kebebasan berekspresi, kerap dipakai sebagai pembenar bagi pelaku dalam memiliki, menguasai, memproduksi, ataupun membiarkan pornografi anak. Demikian pula mencetak atau menyiarkannya secara terbuka kepada masyarakat melalui media. Mahkamah Putusan Konstitusi (MK) yang penah mengeluarkan putusan menolak uji materil atas UU No. 8/1992 tentang Perfilman, sehingga UU No. 8/1992 itu masih absah berlaku. Walaupun sepanjang memenuhi sifat conditionally constitutional (konstitusional bersyarat) sebagaimana pertimbangan hukum Majelis Hakim MK [Republika, 2 Mai 2008].

Apakah persyaratan konstitusional itu? Dalam perspektif hak anak, tidak pula melangar hak konstitusional anak, yang antara lain dijamin dalam Pasal 28B ayat 2 UUD 1945. Berdasarkan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, ”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan dikriminasi”;

Anak mempunyai hak konstitusional atas kelangsungan hidup (rights to life and survival), hak tumbuh dan berkembang (rights to development), dan hak perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hak atas tumbuh kembang anak mencakup bukan saja aspek fisik, namun juga psikis, mental, moral, spiritual, sosial, dan alam pikiran anak; Pasal 28J UUD 1945, dalam menjalankan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Dalam UUD 1945 dijamin adanya pembatasan hak dan kebebasan dari setiap orang sehingga hak berekspresi bukan bebas secara liberal dan total tanpa batasan-batasan dengan/menurut Undang-undang. Kebebasan berekspresi bukan hal yang mutlak, oleh karena kebebasan berekspresi itu berhadapan dengan berbagai bentuk norma hukum atau larangan, bahkan kebebesan berekspresi dapat dipidana seperti dalam hal terjadinya perbuatan pornografi, misalnya yang diatur dalam KUHP pasal 282, pasal 283, pasal 532, pasal 533;

UU Penyiaran

Secara kua-normatif, berbagai peraturan perundang-undangan sudah mengakui adanya kausalitas antara efek isi siaran maupun film dan informasi yang tidak sehat, destruktif, dan mempengaruhi pertumbuhan mental, sosial, moral dan alam pikiran anak. Hal itu dapat ditunjukkan dengan adanya fakta-fakta kua-normatif antara lain:

(a) Pasal 36 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran (selanjutnya disebut ”UU Penyiaran”), yang mewajibkan isi siaran memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada anak-anak dan remaja;
(b) Pasal 36 ayat (5) UU Penyiaran yang melarang isi siaran yang:
• Bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
• Menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang;
o Mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.

Dengan demikian, secara kua-normaif absah dan diakui adanya pembatasan penyiaran untuk perlindungan anak dan remaja. Selain itu, dalam beberapa instrumen/konvensi internasional ditentukan bahwa jaminan kebebasan berekspresi bukan merupakan hal yang mutlak. Dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) ditentukan bahwa beberapa hak tidak dapat dihempang (non derogable right), namun bukan dan tidak termasuk hak berekspresi. Dalam yurisprudensi internasional, kebebasan berekspresi ataupun kebebasan berbicara tidak bersifat multak. Harus diseimbangkan dengan hak anak dari kekerasan seksual dan privasi anak.

Beberapa rujukan yang mendukung perlunya menjaga anak dari informasi tidak sehat dan pornografi, misalnya Pasal 34 KHA yang diratifikasi dengan Keppres No. 36/1990, Optional Protocol KHA tentang Penjualan Anak, Pelacuran Anak, dan Pornografi Anak, dan Konvensi Kejahatan Komputer (Convention on Cyber Crime), serta pengalaman interpol dalam dalam kasus Wonderland Club dan situs pornografi anak di Moskow.

IMPLIKASI DAN PENGARUH BURUK: BERBAGAI FAKTA DAN SITUASI

Untuk menjamin pelaksanaan tumbuh kembang anak, maka sepertinya dapat disepakati adanya implikasi dan pengaruh penyiaran yang tidak sehat terhadap anak-anak. Siaran ataupun film yang sebagai informasi yang tidak sehat termasuk namun tidak terbatas pada isi siaran, film, ataupun produk telematika yang destruktif, porno, kekerasan, tahayul, dalam bebagai jenis atau bentuknya. Pengaruh dari informasi yang tidak sehat, isi siaran, film, ataupun produk telematika yang destruktif, porno, kekerasan, tahayul, dalam bebagai jenis atau bentuknya itu, memiliki kausalitas terhadap anak sebagai subyek yang secara berhak atas perlindungan dari kebebasan berekspresI orang lain;

Landasan konstitusional itu, kontekstual dengan fakta dan data situasi sexual abused pada anak dapat ditilik dari beberapa studi dan laporan.

• Studi UGM (1999) mengenai penyalahgunaan anak (child abused) di 7 kota (Medan, Palembang, Semarang, Surabaya, Makassar, Kupang), diperoleh data penyalahgunaan seksual (sexual abused) sebanyak (3,98%). Sedangkan physical abused sebanyak (60,33%), emotional abused sebanyak 1.902 kasus (35,69%).
• Studi Hamid (2002) atas berita media massa, bahwa selama periode 1992-2002 mencatat 3.969 kasus child abused. Yang tertinggi adalah sexual abused sebesar 65,8%. Korban sexual abused yang tertinggi berusia antara 6-12 tahun (33,0%), dan terendah usia 0-5 tahun (7,7%). Pelaku sexual abused yang tertinggi berusia 19-25 tahun (33,5 %). Tempat sexual abused yang tertinggi adalah di rumah (48,7%), dan di sekolah (4,6%), dan tempat umum (6,1%), tempat kerja (3%).
• Data ini senada dengan studi PKPA (2002) atas kasus incest di Sumatera Utara periode 2000-2001, pelaku incest terbesar adalah ayah kandung, dan ayah tiri. Data monitoring PKPA (Januari-Mei 2002), kasus kekerasan terhadap anak terbesar adalah pemerkosaan.

PLATFORM PERLINDUNGAN ANAK DALAM ISI SIARAN DAN PRODUKSI FILM

Untuk melindungi anak dari sisi siaran dan produk film yang tidak sehat, maka perlu didorong agar KPAI sebagai lembaga yang berdasarkan UU No 23 Tahun 2002 mengambil peran penting dan strategis beberapa gagasan progresif dan tindakan konkrit, yakni:

1. Integrasi dan Harmonisasi prinsip Kepentingan terbaik bagi Anak (the best interest of the child) ke dalam Isi Siaran dan Produk Film. Oleh karen itu, Lembaga Sensor Film (LSF) maupun Komsi Penyiaran Indonesia (KPI) terikat kepada UU No 23 Tahun 2002, bukan hanya UU yang secara teknis dan sektoral menjadi pegangan, seperti LSF mengacu kepada UU Perfilman, dan KPI hanya mengacu UU Penyiaran saja. Karena itu, KPI dn LSM penting melakukan inegrasi dan harmonisasi prinsip Kepentingan terbaik bagi Anak (the best interest of the child) ke dalam Isi Siaran dan Produk Film –yang menjadi objek pengawasan atau penyensorannya.
• Prinsip yang diadopsi dari Pasal 3 ayat 1 KHA, dimana prinsip ini diletakkan sebagai pertimbangan utama (a primary consideration) dalam semua tindakan untuk anak, baik oleh institusi kesejahteraan sosial pada sektor publik ataupun privat, pengadilan, otoritas administratif, ataupun badan legislatif.
• Prinsip the best interest of the child menjadi pertimbangkan utama, memberikan prioritas yang lebih baik bagi anak-anak.
• Menurut Pasal 2 Deklarasi Hak Anak prinsip the best interest of the child diposisikan sebagai paramount consideration . “The child shall enjoy special protection, and shall be given opportunities and facilities, by law and by other means, to enable him to develop physically in a healthy and normal manner and in conditions of freedom and dignity. In the enacment of laws for this purpose, the best interests of the child shall be the paramount considerations”.
• Lord McDermont, “paramountcy means more than that the child’s welfare is to be treated as the top item in a list of terms relevan to be matter in question…”.
• Kepentingan kesejahteraan anak adalah tujuan dan penikmat utama dalam setiap tindakan, kebijakan, dan atau hukum yang dibuat oleh lembaga berwenang. Semestinya, LSF mengintegrasikan perspektif hak anak dan analisis kritis atas setiap produk film dengan mengacu kepada prinsip Kepentingan terbaik bagi Anak (the best interest of the child). Instrumen praktis-teknisnya perlu disiapkan LSF dengan melibatkan stakeholder perlindungan anak, sehingga tugas penyensoran LSF justru tidak bias hak-hak anak.

1. Mendorong KPAI agar mendesak Pemerintah menyusun regulasi dan tindakan affirmatif yang diarahkan untuk membentuk/menciptakan Pasar Edukatif, dengan mengembangkan mekanisme appresiasi, reward, ataupun event festival berkala.
2. Mendorong Pemerintah membuat regulasi yang mengatur Kuota bagi Materi Siaran yang ramah hak-hak anak (child rights friendly). Oleh karena frekuensi gelombang elektromagnetik yang dipakai untuk menyebarluaskan produk penyiaran bukanlah area bebas, namun merupakan ”public goods” yang dengan demikian semestinya diatur agar menjamin dan mengendalikan materi/isi siaran yang bermanfaat bagi edukasi publik, khususnya kaum anak-anak muda belia yang dalam situasi rentan dari informasi tidak sehat. Bukan justru mengeksploitasi anak dan destruktif hak anak, aai berkiblat kepada ‘rating’ semata. Produser film dan lembaga penyiaran bukan cuma badan usaha, atau hanya pengemban hak berekspresi, tetapi ’center of child view and immitation’ bagi membangun pandangan, watak, dan kualitas otentik anak-anak Indonesia sebagai generasi pelanjut bangsa.
3. Pemerintah dan/atau Badan otonom harus diadvokasi agar mengambil peran seperti halnya “orangtua” bagi anak-anak dari serangan informasi tidak sehat. Sehingga perlu mendorong dan mengembangkan ”Mekanisme Pengawasan dan Pengendalian Siaran yang Tidak Sehat bagi Anak”. Sebagai ”orangtua” bagi anak-anak Indnesia, maka Pemerintah berkewajiban melindungi anak-anak dari informasi tidak sehat. Berikut ini beberapa argumenasi pendukungnya?
• Wujud kewajiban Pemerintah dengan membentuk regulasi yang memberikan pengarahan (direction) dan panduan (guidance) pelaku usaha, industri dan stakateholder penyiaran dan perfilman agar menjamin perkembangan kemampuan anak (evolving capacities of the child).
• Anak-anak rawan dari informasi tidak sehat. Meminjam Pasal 5 KHA yang menentukan peran orangtua, yakni memberikan pengarahan (direction) dan panduan (guidance) guna pelaksanaan hak anak dalam HKA, sesuai dengan perkembangan kemampuan anak (evolving capacities of the child).
• Pemerintah sebagai “orangtua” dari anak-anak Indonesia, mengandung peran ”parental direction and guidance” pada anak-anak adalah tidak tak terbatas (not unlimited) hanya membuat regulasi tetapi juga pelaksanaan perlindungannya secara langsung.
• Pasal 12 KHA, menjamin hak anak berpendapat (dan memperoleh informasi) secara bebas dalam segala masalah (all matters), namun pandangan anak itu dilakasanakan dengan mempertimbangkan 2 kriteria kembar (twin criteria), yakni: umur (age) dan kematangan anak (maturity). Sehinga perlu panduan dari Pemerintah. Karena itu, Pemerinah selaku ‘the prime actor of child protector’ mestinya secara proaktif membuat regulasi dan instrumen perlindungan anak dari informasi tidak sehat dan pengarahan kepada anak (provide direction the child) dalam memperleh informasi sehat sesuai perkembangan kemampuan anak (evolving capacities of the child). 4. Mengembangkan Child Rights Indicators and Check List Complience dalam penyiaran dan perfilman.

Dalam hal ini, perlu mendorong LSF membuat dan mengembangkan Child Rights Indicators and Check List Complience. Hal ini bisa menjadi panduan bagi stake holder perfilman dalam mengembangkan seni dan kreatifitasnya dalam membuat film yang sensitif hak anak. Sepatutnya, secara yuridis formil setiap lembaga Pemerintah dan Badan otonom membuat Indikator Pemenuhan Hak Anak dalam setiap tugas, fungsi dan urusan yang diembannya. Termasuk dalam tugas, fungsi dan urusan di bidang siaran ataupun film.

Setelah ratifikasi KHA, negara peserta (state party) wajib melaporkan kemajuan dalam pelaksanaan KHA. Untuk mengukur kemajuan itu, Komite PBB tentang hak anak menyiapkan General Measures for Implementation of the Convention yang ditetapkan Committee on the Rights of the Child [4]. Beberapa indicator adalah:
• Mengembangkan strategi nasional & agenda berbasis KHA – yang terinci, dan komprehensif ;
• Mengembankan mekanisme koordinasi, monitoring dan evaluasi implementasi KHA;
• Adanya proses sistematis untuk menilai dampak pada anak (child impact assessment) untuk berbagai isu anak;
• Membangun kesadaran atas hak anak pada orang dewasa (dan anak-anak);

Atas dasar itu, beralasan LSF dan KPI bersama dengan KPAI mengembangkan kemampuan dan instrumen teknis mengendalikan informasi kepada anak, termasuk isi siaran dan produk film. Disinilah urgensi dan argumentasi ‘Child Rights Indicator’ and ‘Check List Complience’

PENUTUP

Melindungi anak hari ini adalah menginvestasikan masa depan. Investasi yang pasti dan mengharukan. Untuk mereka kita mesti menyiapkan ’hari ini’ yang baik bagi anak-anak.

Anak-anak iu, saat ini tumbuhnya sedang tumbuh. Kerusakan sedikit saja dalam totalitas pertumbuhan anak mengakibatkan dampak yang nyata bagi anak. “Many thinks can wait. Children cannot. Right now their hip bones are being formed, their blood is being made, their senses are being developed. To them we can not say tomorrow. THEIR NAME IS TO DAY”

Wassalamualaikum Wr Wb.
Muhammad Joni, SH., MH: Pernah Komisioner dan terakhir Wakil Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (2000-2010); Tim Ahli Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) [2007-2010]; Ketua Perhimpunan Advokasi Anak Indonesia (PERAN INDONESIA); Advokat dan Managing Partner Joni & Tanamas;

Leave a Reply