Cukai Rokok Untuk JKN Dikaut, Abaikan Tobacco Control Berlanjut?
Isu cukai rokok untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menarik, walau ada banyak soal besar tak teratasi. Soal yang justru paling perlu diintervensi. Peraturan Presiden (Perpres) yang alokasikan duit cukai untuk JKN itu seakan hanya utak atik fiskal atasi “pendarahan” defisit JKN. Namun tak sentuh soal esensial dan mendasar penanggulangan tembakau sebagai bagian kebijakan kesehatan nasional.
Kosa kata kaut artinya raup. Kaut duit cukai rokok yang diraup dari rakyat perokok, jangan abaikan grand policy pengendalian tembakau yang isunya mengglobal.
Soalnya, apakah ikhtiar Negeri ini hanya atasi defisit duit JKN? Atau demi sebenar-benar menyehatkan anak bangsa? Pun demikian, JKN terkesan hanya jaminan perobatan nasional, karena abai layanan kesehatan preventif dan kesehatan promotif.
Apa pangkal soal cukai rokok yang disalurkan untuk JKN itu? Bukannya itu bagus? Belum tentu. Perlu dikritisi.
Konkritnya begini. Ikhwal uang hasil cukai rokok untuk JKN dianggap bisa atasi defisit cash flow JKN yang konon program strategis nasional.
Namun ada beberapa soal paradigmatik yang patut terus menerus dikritisi:
Pertama: Cukai rokok alias Sin Tax (pajak dosa) adalah uang ditarik dari rakyat alias kaum perokok. Bukan uang dari pengusaha rokok atau uang ikhtiar usaha pemerintah atau korporasi negara bernama BUMN. Cukai bukan Pajak. Jika hendak konsisten, Pemerintah mustinya lugas dan inheren dengan adanya Perpres JKN, juga setarikan nafas menaikkan tarif cukai rokok, karena UU 39/2007 tentang Cukai yang memungkinkan tarif cukai sampai 57% dari HJE: Harga Jual Eceran.
Mengapa dinaikkan? Tarif cukai rokok di Indonesia rendah, hanya 37% saja. Rendah sekali dibanding standar global: 70%. Paling rendah dibandingkan tarif cukai negara kawasan Asia Tenggara: Filipina (55%), Thailand (75%),
Kedua: Mengapa cukai rokok musti naik? Apa keuntungannya? Dengan naikkan cukai rokok, Indonesia raih untung pada 5 aspek: (1) uang dana cukai naik signifikan; (2) kala cukai rokok naik maka semakin besar bisa dipakai untuk apapun termasuk JKN; (3) prevalensi perokok bisa ditekan karena rokok mahal (memang musti mahal dan tak terjangkau anak dan keluarga miskin) (4) sehingga beban biaya kesehatan akibat deraan penyakit terkait rokok turun drastis; (5) mencegah pertumbuhan perokok pemula yang sengaja didorong –dengan boleh iklan, promosi dan sponsor rokok; rokok murah dan cukai rendah–, menjadi perokok pengganti (substitution) dari perokok yang tobat dan meninggal.
Ketiga.Karena cukai rokok bukan Pajak dan bukan dari usaha komersil karena transaksi usaha atau devisa hasil usaha korporasi negara alias BUMN. Artinya penyumbang dana JKN adalah rakyat perokok bukan Pemerintah dengan penambahan dana segar APBN yang dialokasikan untuk JKN.
Lantas, “pendarahan” dana JKN itu bebannya ditumpukan lagi-lagi kepada rakyat. Lagi, bahkan ditumpukan pada rakyat perokok yang menurut data yang ironisnya termasuk perokok rumah tangga miskin.
Menurut data kesehatan: Biaya pengeluaran bulanan keluarga untuk rokok (tembakau) terbesar kedua (7,12%) setelah belanja keluarga untuk beras (padi-padian) (10,82%).
Keempat. Cukai rokok dipakai untuk JKN hanya policy “hit and run” dan sangat amat parsial. Jika konsisten Pemerintah mustinya segera larang iklan, promosi dan sponsor rokok yang picu orang merokok, dan segera Aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Apalagi kini cuma Indonesia di kawasan Asia Pasific belum aksesi/ratifikasi FCTC. Sangat ironis.
Kelima. Cukai rokok yang dipakai untuk JKN yang tidak diikuti dengan perubahan UU Cukai dan lemahnya pengawasan cukai rokok dan masih adanya rokok ilegal, maka kebijakan cukai rokok untuk JKN hanya utak-atik di hilir dan simptom soal JKN. Jika intervensinya hanya sebatas itu saja, policy itu tak ada kaitannya dengan grand policy penanggulangan tembakau (tobacco control) yang masih lemah di negeri ini. Padahal penanggulangan dampak tembakau adalah isu global dari segenap bangsa di dunia. Semakin tak terkait grand policy on tobacco control karena masih saja Pemerintah belum aksesi FCTC. Pun belum bersikap lugas menolak masuknya pasal iklan rokok dalam RUU Penyiaran, dan belum menolak inisiatif DPR ajukan RUU Pertembakauan. Hajab karena asap.
Yoo ayoo yo. Sehatkan Indonesia tanpa asap rokok. Lewat sini, usulan patik yang patut digencarkan:
(1) NAIKKAN CUKAI ROKOK & MAHALKAN HARGA ROKOK. (2) HAPUS IKLAN, PROMOSI DAN SPONSOR ROKOK. (3) AKSESI FCTC.
Pembaca yang bersemangat. Kala menyiapkan paragraf paling akhir esai ini, patik teringat pendapat yang bertenaga dari Hakim Konstitusi Dr. Ahmad Sodiki saat putusan judicial reviu pasal iklan rokok UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi (MK). Katanya, “Kebanggaan apa hendak diraih jika negara gagal memadamkan puntung rokok?”. Pun demikian masih ada asa tobacco control dimaju-majukan.
#MUHAMMAD JONI, S.H.,M.H.
Ketua Indonesia Lawyer on Tobacco Control (ILATC).