Dana Haji Milik Jamaah, bukan Hak Pemerintah (2)
Akumulasi dana setoran awal haji bertambah terus tiap tahun dalam jumlah jumbo, karena niat beribadah haji tidak pernah berhenti. Jika terhimpun, untuk apakah patut dimanfaatkan dana titipan milik jamaahitu?
Pernah ada wacana menggunakan dana haji untuk pembangunan infra struktur. Presiden Joko Widodo sudah mengoreksi rencana penempatan Keuangan haji untuk infra struktur. Diwartakan detik.com (30/07/2017), “Soal Ide Dana Haji Buat Infrastruktur, Jokowi: Saya Hanya Beri Contoh”.
Namun, kua normatif perlu membedah konstitusionalitas norma Undang-undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan haji (“UU PKH”).
Dengan UU PKH melahirkan lembaga baru yakni Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Kua normatif memang substansi hukum hanya jalan jika disempurnakan dengan struktur hukum (legal structur) sebagai “mesin” pelaksanaan hukum.
Pertanyaannya, apakah entitas BPKH itu? Jika merujuk kembali UU PKH, kua normatif BPKH adalah badan hukum publik (Pasal 20 ayat (2) UU PKH). Artinya bukan badan hukum privat, sehingga BPKH terikat dengan hukum publik termasuk UU PKH itu sendiri. Lebih dari itu BPKH terikat dengan konstitusi.
Kelembagaan BPKH mandiri dan bertanggungjawab kepada Presiden (Pasal 20 ayat (3) UU PKH). Arti diksi mandiri itu berimplikasi kuat dan kontras kepada BPKH, karena dikonstruksikan sebagai lembaga yang membiayai diri sendiri. Maksudnya, tidak dibiayai Pemerintah dengan APBN ataupun APBD.
Mengapa? Sebab dalam UU PKH tidak menyebutkan penerimaan Keuangan Haji berasal dari APBN dan APBD. Penerimaan BPKH utamanya dari setoran dana BPIH dan atau BPIH Khusus yang dibayarkan melalui Bank Penerima Setoran (BPS).
Relasi antara bank dengan BPS adalah setoran penitipan biaya penyelenggaraan ibadah haji. Pasal 7 ayat (1) UU PKH mendefenisikan setoran itu sebagai dana titipan jamaah haji. Kepada siapa? Jika membaca Pasal 7 ayat (2) UU PKH, dana titipan jamaah haji dititipkan kepada BPKH. Bukan dititpkan kepada Kementerian Agama.
Namun dalam UU PKH, setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan/atau BPIH Khusus dari jamaah haji itu diposisikan sebagai penerimaan BPKH yang masuk ke dalam kualifikasi Keuangan Haji.
Siapakah membiayai belanja pegawai BPKH dan belanja operasional kantor BPKH? Bukan dari APBN, namun diambil dari bagian porsi (persentase) dari nilai manfaat Keuangan Haji. Besarannya? Diusulkan oleh BPKH dan ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan dari DPR (vide Pasal 12 ayat (2) dan (3) UU PKH). Itu masih belanja pegawai dan belanja operasional kantor.
Untuk kepastian hukum, mustinya porsi nilai manfaat itu ditetapkan dalam UU PKH sendiri. Bandingkan UU Tabungan Perumahan rakyat (UU Tapera) yang menormakan tarif kewajiban Tapera kepada pekerja dan pemberi kerja dalam UU Tapera.
Adakah biaya lain? Perlu dicermati dengan jeli, apakah pengeluaran operasional BPKH versi Pasal 12 ayat (1) UU PKH sama dengan atau malah berbeda dengan ketentuan Pasal 25 UU PKH berikut ini? Sebab merujuk Pasal 25 UU PKH, dinormakan BPKH berhak memperoleh dana operasional untuk penyelenggaraan program pengelolaan Keuangan Haji yang bersumber dari nilai manfaat Keuangan Haji.
Untuk fungsi apa? Fungsi pengelolaan Keuangan Haji, yakni perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan, pelaporan dan pertanggungjawaban. Dalam Penjelasan tidak ada penjelasan tambahan yang menjelaskan lebih jelas, karena dituliskan “Cukup jelas”.
Pun demikian, tidak ada diatur berapa hak BPKH dari porsi (persentase) nilai manfaat Keuangan Haji, apabila jika pembuat UU berkelit dengan memaknai berbeda antara beban Pasal 12 ayat (1) dengan hak BPKH versi Pasal 25 UU PKH.
Jika berbeda, bisa jadi alasannya untuk membedakan antara beban belanja (cost) gaji pegawai dan belanja operasional kantor dengan hak (rights) sebagai porsi (persentase) atas fungsi pengelolaan Keuangan Haji. Mirip seperti konstruksi institusi fund manager yang lazim mendapatkan pengembalian beban biaya dan hak atas nilai manfaat investasi. Setidaknya, keraguan ikhwal norma Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 25 UU PKH ini beralasan dimintakan tafsir kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dengan menguji norma tersebut.
Dari uraian di atas, jelas bahwa BPKH hanya bertumpu kepada Keuangan Haji yang utamanya bersumber dari setoran jamaah haji berupa BPIH dan atau BPKH Khusus, tidak ada sumber dari APBN dan APBD. Dengan demikian, kua materil dan formil, Keuangan Haji bukan milik BPKH. Bukan pula milik Pemerintah. Bukan keuangan negara.
Lantas, apa justifikasinya Pasal 1 angka 1 UU PKH mendefenisikan Keuangan Haji sebagai hak (dan kewajiban) Pemerintah? Bukankah merujuk defenisi Keuangan Haji dan sumber penerimaan Keuangan Haji dalam UU PKH, sama sekali tidak ada sumber Keuangan Haji dari keuangan negara? Tidak ada dari APBN dan APBD?
Dengan tafsir sistematis, jika penerimaan Keuangan Haji meliputi (a) setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus; (b) nilai manfaat Keuangan Haji; (c) dana efisiensi Penyelenggaraan Ibadah Haji; (d) Dana Abadi Umat/DAU; dan/atau (e) sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Akankah itu bermakna segenap jenis penerimaan huruf (a) sampai huruf (e) di atas adalah idemditto hak (dan kewajiban) Pemerintah?
Padahal, BPKH sendiri berbeda dan bukan Pemerintah. Bukan Kementerian Agama. Karena BPKH badan hukum publik yang kelembagaannya bersifat mandiri. Justru, kehadiran UU PKH dengan membentuk BPKH hendak memisahan Pemerintah cq Kementerian Agama dengan BPKH. Sekali lagi, mengapa Keuangan Haji didefenisikan sebagai hak (dan kewajiban) Pemerintah?
Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU PKH ini “jantung” UU PKH, karena berimplikasi ke seluruh pasal dan sistem UU PKH. Patutkah secara juridis konstitusional menormakan Keuangan Haji sebagai hak (dan kewajiban) Pemerintah?
Perlu dilakukan pengujian materil atas ketentuan Pasal 1 angka 1 UU PKH. Mengapa? Karena menyangkut konstitusionalitas norma UU PKH. Batu ujinya? Rujuklah hak konstitusional atas perlindungan harta kekayaan dan hak milik warga negara.Periksalah Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, yang menjamin hak konstitusional atas perlindungan harta benda dibawah kekuasaannya. Yang dalam setarikan nafas inheren dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang menjamin hak atas hak milik pribadi.
Karena itu, UU PKH patut untuk diuji konstitusionalitasnya. Demi kemaslahatan penyetor pemilik dana yang menitipkannya, juga kebaikan Pemerintah.
#Muhammad Joni, S.H., M.H. adalah Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI).