Dari BLT Menuju Jaminan Sosial?

Saat itu 2 Januari 2006. Program penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) kompensasi bahan bakar minyak (BBM) tahap pertama tahun ini diluncurkan lagi. Untuk 2006, BTL dikucurkan tiga kali: 2 Januari, 1 Maret, dan 1 Juni. BLT 2006 menyedot dana Rp. 17 triliun dan cadangan Rp. 2 triliun lagi.

Konon skema BTL ini dianggap baik dan sukses, dan karenanya patut dilanjutkan. Yang diperbaiki hanya soal teknis, seperti menyediakan loket khusus bagi lanjut usia. Adakah korelasi BTL dengan hak konstitusional rakyat atas realisasi sistem jaminan sosial nasional (SJSN)?

Dari pengalaman perdana program BLT, masih adanya masalah penyaluran yang menyisakan konflik, protes warga miskin yang berhak, dan penyalahgunaan data warga, dan pemotongan dana BLT. Kendatipun kasus-kasus itu masih dinilai berskala lokal dan dianggap tidak mempengaruhi konsep besarnya. Selain itu, basis data keluarga miskin versi Badan Pusat Statistik (BPS) yang tidak berbasis lapangan, dan sudah diakui tidk valid sehingga akan direvisi lagi.

Namun, yang belum terangkat adalah memaksimalkan potensi dana BTL kompensasi subsidi BBM itu, sebagai “modal” awal dan momentum menuju sistem jaminan sosial nasional seperti amanat Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945.

Dari penjelasan Menko Kersejahteraan Rakyat, agaknya, BLT belum diarahkan secara sistematis untuk membangun SJSN untuk seluruh rakyat (social insurance for all) yang merupakan amanat konstitusi dan Pasal 5 ayat (1) UU No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. BLT berlanjut dengan sedikit saja perbaikan teknis. Namun, belum diarahkan untuk membangun SJSN.

Kalau di satu sisi kelangsungan dana pembangunan negeri ini harus diamankan dengan menaikkan harga BBM sesuai harga pasar dunia, bukankah jaminan sosial yang menjadi hak konstitusional rakyat tidak boleh diabaikan? Sudahkah BLT diintegrasikan dan harmonis dengan skema jaminan sosial – yang merupakan hak setiap rakyat? Jika belum, berarti eksistensi SJSN belum dihiraukan.

Putusan MK

Pada 31 Agustus 2005 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan Nomor 007/PUU-III/2005, yang mencabut dan menyatakan Pasal 5 Ayat (2), (3), (4) UU No.40/2004 bertentangan dengan UUD 1945, dan karena itu tidak berlaku lagi.

Putusan MK ini mencabut dasar berlaku dan landasan yuridis bagi perusahaan asuransi profit yakni Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen), Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri), dan Perusahan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (Askes) sebagai badan penyelenggara jaminan sosial.

Selain pertimbangan putusan MK, keberadaan empat Perusahaan Perseroan BUMN asuransi itu secara kelembagaan memiliki resistensi yuridis menyelenggarakan jaminan sosial – sebagai hak konstitusional bagi seluruh rakyat. Bukan eksklusif hak konstitusional rakyat hanya di sektor formal saja. Jika jaminan sosial hanya menggarap sektor formal saja, maka terjadilah penundaan keadilan dan hak konstitusional rakyat (delayed justice and constitutional right).

Implikasi

Paska putusan MK yang mencabut Pasal 5 ayat (2), (3), (4) UU No. 40/2004, maka tidak terdapat legitimasi bagi empat Perusahaan Perseroan untuk menyelenggarakan jaminan sosial. Yang masih absah hanyalah Pasal 5 ayat (1) UU No.40/2004 yang mengandung norma pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). BPJS dapat dikembangkan secara secara tunggal seperti maksud Pasal 5 ayat (1) UU No.40/2004 – yang tidak ikut dibatalkan dalam Putusan MK. Artinya, tidak absah jaminan sosial dikelola oleh perusahaan profit, sekalipun BUMN.

Dalam hal departemen kesehatan yang apabila menggunakan UU No. 40/2004, khususnya Pasal 5 ayat (3) sebagai landasan yuridis melaksanakan program asuransi kesehatan masyarakat miskin, maka dengan putusan MK itu harus dihentikan dan, sangat mungkin untuk diintegrasikan ke dalam SJSN.

Jika dielaborasi lebih dalam, tafsir atas pendapat MK tersebut adalah bahwa SJSN dikembangkan dalam skala menasional atau bukan terserak-serak dikembangkan masing-masing daerah. Namun, jaminan sosial yang sudah berkembang di daerah dapat diintegrasikan sebagai sub sistem jaminan sosial – yang menasional tersebut. Untuk mengembangkan sistem jaminan sosial versi Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2004 itu, beberapa agenda membangun SJSN dapat dijalankan.

Pertama, mengembangkan sistem jaminan sosial yang memberi fokus kepada asuransi sosial (social insurance), dan bukan masuk pada program bantuan sosial (social assistance); Kedua, mengonsolidasikan program-program jaminan sosial yang terserak-serak atau berada pada sektor dan instansi terkait. Termasuk program sporadis dan sementara yang dilakukan secara ad hoc, seperti BLT kompensasi subsidi BBM, ataupun asuransi kesehatan masyarakat miskin (Askeskin).

Ketiga, mengonsolidasikan program jaminan sosial lokal yang sudah dikelola oleh Pemerintah Daerah; Keempat, memberikan proritas atau perhatian khusus kelompok sasaran warga miskin dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang belum tersentuh dan mengintegrasikannya masuk ke dalam sistem jaminan sosial. Kelima, membangun kerjasama, partisipasi dan pengawasan secara transparan dan akuntabel bersama masyarakat.

Oleh karena jaminan sosial adalah hak konstitusional setiap rakyat yang absah dalam UUD 1945, namun hingga kini penyelenggaraannya terfokus pada sektor formal, dan belum mencakup sektor informal, buruh pasar, pedagang mikro, miskin perkotaan, buruh tani, pencari kerja, pengangguran, dan warga miskin lain.

Sebagai realisasi kewajiban konstitusional dan yuridis kepada seluruh rakyat, Pemerintah mestilah menyiapkan BPJS – sebagaimana perintah Pasal 5 ayat (1) UU No.40/2004. Untuk itu, perlu mendorong Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-undang untuk pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Untuk merealisasikan SJSN untuk semua dan menasional, maka berbagai kebijakan Pemerintah yang terserak-serak dan adhoc, seperti program BLT ataupun askeskin, atau bentuk lain yang sudah ada bisa dikonsolidasikan dan dijustifikasi sebagai program jaminan sosial dalam SJNN yang tunggal dan untuk semua rakyat. Harapannya, tidak terdengar lagi efek BLT yang muncul sebagai kegagalan memetakan rakyat miskin penerima, kekisruhan dalam penyediaan data pendukung, dan berbagai efek turunan lainnya.

Single Player

Dengan “modal” dana kompensasi BBM, ataupun program askeskin ataupun sumber dana di luar dana kompensasi subsidi BBM, dapat diakumulasi menjadi setoran yang dibayarkan Negara melalaui Pemerintah untuk membangun SJSN yang diselenggarakan oleh BPJS –seperti diamanatkan konstitusi dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2004. Andaikan pelaksanaan Pasal 5 ayat 3 UU No.40/2004 segera direalisasikan dalam suatu lembaga tunggal (singgle payer), maka konsolidasi program secara horizontal dengan sektor yang selama ini mengelola jaminan sosial mutlak diperlukan.

Inilah momentum untuk konsolidasi dan harmonisasi program jaminan sosial seperti BLT, askeskin, dan jaminan sosial lokal ke dalam SJSN yang terintegrasi. Kendatipun bukan pengambilalihan dan sentralisasi program jaminan sosial yang sudah dijalankan selama ini.

Dalam format dan jumlah alokasi dana untuk BLT sekarang, sesungguhnya sudah tinggal selangkah lagi untuk membangun SJSN dengan membentuk BPJS yang menyelenggarakan asuransi sosial untuk semua (for all) dan pro poor.

Dengan begitu, SJSN versi Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2004 dapat terbentuk, amanat konstitusi Negara terpenuhi, deleyed of justice bisa dihentikan, dan kebijakan diskriminatif jaminan sosial tidak terjadi.

Leave a Reply