Dari Masjid Azizi Tanjungpura: Kota dan Hukum yang (Tak) Rabun Jauh Sejarah

Sahabat saya, Zulfikar Ramly, advokat yang berdomisili di Bali memberi kabar sempat melancong ke Tanjungpura, hari lebaran 1438 lalu. Dia sukaria mengirimkan foto-fotonya di depan masjid Azizi, yang tampak tegak megah, tabah sebagai saksi sejarah mewartakan kejayaan negeri Melayu Langkat, era masjid itu dibangun.

Akankah itu hanya kabar situs masjid cantik yang bersejarah? Tentu tidak. Tegaknya masjid megah, besar dan indah itu mentransmisikan betapa kuatnya pengaruh gagasan dan budaya pemikiran pun demikian ikhwal tegaknya syariat Islam yang inheren pada negeri Melayu Langkat, dengan Tanjungpura sebagai ibukotanya.

Dengan berkendaraan mobil dari Medan ke arah Aceh, pas kilometer 60, sekitar  2 jam pelancongan dari kota Medan, anda menemui kota dengan Masjid Azizi sebagai ikon. Masjis Azizi itu  bangunan paling besar, paling megah dan paling indah di Tanjungpura. Tak ada yang boleh melebihi Masjid Azizi, kiranya begitu kaidah yang diikuti.

Singgah sekejap di sana, sempatkan melepas pandangan menikmati inci demi inci seni bangunan berselera tinggi dengan arsitektur bercorak campuran Timur Tengah, Persia dan India dengan banyak kubah, yang besar dan kecil, berikut sebuah menara menjulang di sudut kanan-depan.

Colo-lah serambi dan terasnya berpilar-pilar dengan lengkungan khas Timur Tengah dihias dengan kaligrafi, bentuk bentuk geometris dan ukiran bunga-bunga. Memelototi Masjid Azizi anda pasti takjub pada indah dan megah masjid yang didirikan Sultan Tengku Abdul Azizi Abdul Djalil Rahmat Syah (1897-19 27 M). Letak Masjid Azizi seluas 18.000 M2 yang berjarak sekitar 200 meter dari (dulu) istana Sulthan Langkat, yakni Istana Kota Baru dan Istana Darul Aman. Hanya sekitar 50 meter dari Madrasah Maslurah dan Madrasah Aziziah yang merupakan sekolah.

Sempurna dengan gaya arsitektur selera seni tinggi yang menjadi ikon tata kota negeri melayu kala itu. Masjid Zahir di negeri Kedah Malaysia penguasa di sana menduplikasi masjid Azizi ini, yang menjadi fakta ada “hubungan internasional” Sulthan Langkat dengan Sulthan Kedah. “Dari Masjid Azizi, begitu besar sejarah Melayu dan Islam”, tutur Zulfikar Ramly yang pernah bersekolah di Tanjungpura.

Sempatkan menerobos ke pekarangan bagian sisi belakang, ada kampus maktab “puteh” Jamaiyah Mahmudiyah yang tak kalah megah, yang dihubungkan jalan beton yang lumayan lebar di kiri kanannya, juga bagian belakang terhampar pemukiman warga. Kawan saya Erwin Fadli Mukhtar dan Syarifah Adlina Kamil, masa kecil samai remaja pernah tinggal di kawasan lingkar satu masjid itu, suara ebang panggilan sholat nyaring terdengar sampai ke bilik-bilik warga. Disebut maktab “puteh” karena bangunnya dicat putih (‘puteh’) bersih. Selain maktab Jamaiyah Mahmudiyah, pernah dibangun madrasah Maslurah (1912) dan madrasah Aziziah (1914).

Masjid Azizi dan maktab “puteh” mengonfirmasi ikhwal pertemalian masjid dan kampus. Bukan hanya itu sebab Tanjungpura pernah dielukan sebagai kota pendidikan, namun kuatnya gagasan yang menjalin pendidikan dan agama Islam yang tak berbeda inti orientasi.

Dari kampus Jamaiyah itu telah mencetak jamak  tokoh nasional diantaranya penyair Tengku Amir Hamzah, mantan Wakil Presiden Adam Malik, pendiri ICMI Bang Imaduddin “Bang Imad” Abdul Rahim, ahli fiqih Abdullahsyah. Sejarawan Ichwan Azhari menyebut Jamaiyah Mahmudiyah yang didirikan tahun 1912, sepuluh tahun sebelum Taman Siswa berdiri (1922), lebih hebat dari sekolah Belanda dan sekolah misionaris Jerman.

Dalam memoar tentang Adam Malik yang pernah bersekolah di sini, Jama’iyah Mahmudiyah termasuk lembaga yang mempunyai bangunan bagus dan modern menurut ukuran zaman, tulis Ichwan Azhari.  Pendirian maktab dengan nama lengkap Jamaiyah Mahmudiyah Li Thalabil Khairiyah (“Perkumpulan Terpuji Untuk Mendapatkan Kebajikan”) itu   mendapatkan peresmian dari Sultan Langkat dengan SK (Besluit) No. 102 tahun 1912 dan bertanggal 31 Desember 1912 atau pada tanggal 22 Muharam 1330 H, yang dibentuk hsil kesepakatan Sulthan dengan alim ulama Langkat yang menggelar mufakat di masjid Azizi (Fahruddin Ray, dkk, Sejarah Jamaiyah Mahmudiyah Li Thalabil Khairiyah, 1994).

Apa pelajaran lain? Rupanya gagasan menata kota Tanjungpura menjadikan masjid dan maktab sebagai sepasang anasir cirinya, bukan lapangan pertemuan atau alun-alun, seperti jamak ciri kota-kota di Jawa.  Fakta itu menjelaskan betapa semenjak tempo dulu masjid menjadi sentral kota, menjadi “magnet” titik tuju pendidikan dan permukiman warga. Setiap hari Jumat, adalah hari pekan yang ramai berjualan. Sulthan Langkat sekarang ini T.Azwar Abdul Djalil Rahmatsyah Al-Haj  pernah berkisah, tempo dulu sulthan acapkali memberi uang kepada warganya yang tak mampu sebelum hari Jumat agar bisa berbelanja di hari pekan Jumat. Mengapa hari Jumat? Adakah berlaku mata uang (emas dan perak) Langkat sendiri?

Mengapa kampus “maktab puteh”  berada sehasta di belakang masjid, dan bersisian dengan permukiman penduduk? Ini pasti direncanakan dan menyimpan alasan, ikhwal yang menarik dalam kajian sosiologi perkotaan dan penataaan kota. Betapa terbangun postulat upaya pendidikan dan kegiatan agama berantai serencengan.

Kota Tanjungpura terbuka dengan pendatang, karena memang negeri Melayu yang jaya dan kaya kala itu dengan hasil minyak dan kebun karetnya. Permukiman warga kota dengan gaya arsitektur khas rumah tingkat dua yang berderet-deret sepanjang jalan dengan selasar kaki lima bagian atasnya, berbentuk melengkung setengah lingkaran seperti kong liong  panjang-panjang yang teratur dan terhubung  menjadi trotoar yang bisa dilewati khalayak umum. Beratapkan lantai atas rumah tingkat, seakan selasar di bawah kolong rumah itu sengaja diarsiteki memainkan fungsi sosial  untuk pedestrian pejalan kali, yang kini acap dimanfaatkan pedagang kaki lima. Umumnya dihuni warga etnis tionghoa, lantai dasar untuk berdagang dan lantas atas sebagai hunian, menjadi kawasan perdagangan. Kaki lima rumah tingkat berderet itu langsung berhampiran jalan besar kota, dengan riol lebar setengah meter yang terhubung ke saluran induk bawah tanah. Gaya arsitektur rumah tingkat deret, dengan empat pilar ukuran kubus setengah meret dengan selasar kaki lima terhubung itu, mirip rumah sejenis kota-kota tua di Batavia, pun demikian Pineng dan Singapura.

Penting dicatat, sulthan Langkat juga kemudian membangun rumah sakit yang kini menjadi rumah sakit daerah Tanjungpura. Nyaris sempurna sebagai kota.

Anasir Sentral

Memetik hikmah direlung isi gagasan situs masjid Azizi dan maktab “puteh”, mengujarkan betapa tempo dulu masjid menjadi sentral dalam tata kota, dan demikian pula relasi tata sosial. Seperti anasir “hijau” untuk green city yang jamak diusung urban planner kontemporer, ataupun seperti agenda Suistanable Development Goals (SDG’s) membuat pembangunan perkotaan berkelanjutan (suistainable cities and human settlements). Idemditto tema ‘Kota Bahagia’ yang tak terpisahkan dari indeks mengukur  ‘Negara Bahagia’ yang difestivalkan organisasi negara sedunia (PBB).

Dari Tanjungpura, Masjid Azizi sebagai sentral tata kota menasbihkan apa arti kota bagi warganya, yang tak hanya penjumlahan fisik bangunan bendawi saja. Kota menjadi raut ciri warga penghuninya, yang berubah dan berkembang sesuai aras pemikiran yang diikuti dan kaidah (hukum) yang diyakini, serta tindakan yang dilakoni.

Ringkasnya, menata kota dengan tema dan dipengaruhi diskursus persilangan alam pikiran sosiologisnya. Itu menjelaskan bahwa raut kota yang dibangun adalah alibi dan bukti pengakuan kepada gagasan, nilai dan hukum yang dipatuhi. Ada koeksistensi antara fisik bangunan dan norma hukum yang berlaku dan diakui. Kaidah apa yang mempengaruhinya?

Bagaimana dengan Langkat? Sejarah gemilang Tanjungpura tak lepas kejayaan Kesulthanan Melayu Islam Langkat.  Islam dan Melayu tak terpisahkan, termasuk dalam penataan kota berbasis Islam. Apakah alam pikiran alias kitab ikhwal kenegaraan yang mempengaruhinya? Dengan hipotesis kesulthanan adalah dengan syariat Islam, maka pengaruh syariat Islam lekat-lekat dalam kehidupan tata sosial dan tata pembangunannya, termasuk tata kota sebagai bagiannya.

Menengok Jauh Setting Syariat

Melayu adalah tempatnya berlaku dan kepatuhan syariat Islam, hal itu frasa yang tentu memiliki fundamen kuat dalam pikiran dan sejarah. Melayu adalah transmisi dan tumbuhnya syariat Islam, menjelaskan berlakunya syariat kepada masyarakat bangsanya, sebagai hukum yang dipatuhi (living laws). Dimana negeri dipimpin sulthan, di situlah syariat Islam tegak. Itu bukti bahwa syariat lebih dahulu eksis, diakui dan dipatuhi, sebelum datang importasi sistem hukum Eropah.

Mencermati itu tentu dengan mengubak helai demi helai sejarah dan tentu kitab-kitab monografi yang menjelaskannya, yang berusia lebih lama dari kedatangan takat kedatangan bangsa Eropah. Menarik untuk menelusuri lagi kitab-kitab yang menjadi rujukan kesulthanan, seperti Bustan as Salatin (taman para sulthan) karya Nuruddin Ar Raniri, asal Ranir (India), yang mendapat perintah dari Iskandar Thani, seperti dilaporkan Denys Lombard, 2014, dalam buku “Kerajaan Aceh”.

Kitab monografi agama, sejarah, dan kaidah pemerintahan itu isinya lengkap, mulai dari bab kejadian langit dan bumi, bab rasul-rasul dan raja-raja, bab raja-raja yang ‘adil dan pmbesar-pembesar yang cakap, sampai kepada bab akal dan ilmu. Kitab Bustan as Salatin itu meluas dan berpengaruh kepada kebudayaan Melayu.   Kitab Bustan as Salatin itu banyak merujuk sumber lebih tua yakni Taj as Salatin (Mahkota Sulthan) yang berisi nilai keagamaan, pedoman raja memerintah, dan kaidah ketatanegaraan. Pengarangnya Bokhari al Jauhari.

Taj as Salatin terdiri 24 pasal, diantaranya pasal 5 menulis ikhwal kebesaran atau kemuliaan seorang raja, kekuasaan dan kedaulatan kerajaanya. Dikemukakan syarat syarat menjadi raja, diantara syaratnya raja adalah pemimpin memiliki ilmu pengetahuan yang memadai mengenai masalah etika, pemerintahan politik, dan agama.

Dalam Pasal ke-9, menceritakan raja-raja yang zalim dan kepada orang-orang yang menambahkan peraturan yang telah ditentukan. Nabi Muhammad tidak akan memberikan syafaat, perlindungan, pertama kepada raja-raja yang lalim dan kepada orang-orang yang menambah-nambah akan peraturan yang telah ditentukan. Pasal ke-15 menerangkan tentang pemimpin yang bijaksana.yang terpenting dalam pasal ini ialah pendidikan ketinggian budi yang menuju kepada kepuasan batin. Pasal ke-20 tentang hubungan rakyat yang beragama Islam dengan dengan raja. Pasal ke-21 hubungan rakyat yang tidak beragama Islam dengan raja. Pasal ke-22 mengenai kedermawanan dan kemurahan hati. Pasal  ke-23 tentang menepati janji dan perjanjian. Yang sangat terpuji adalah raja yang dapat memenuhi janjinya. Maka rakyatnya pun akan tetap terikat dan pertjaja kepadanya (Sejarah dan Isi Kitab Taj As Salatin).

Kitab Taj as Salatin diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda olleh Roosda van Eijisinga dan ke dalam bahasa Prancis oleh A, Marre untuk pembaca Eropah. Begitu kuat pengaruh Taj as Salatin yang meluas kepada sulthan-sulthan Melayu. Seperti kata Rafless, pada zamannya sulthan Singapura memerintah dengan terus terang mengacu kepada kitab Taj as Salatin (Danys Lombar, 2014).

Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, sekretaris Rafless, sangat menyanjung Taj as Salatin (Amin Sweeney, “Karya lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Jilid 2, 2006). Dia mengaku memahami jalan berfikir alias watak (politik) Raffles dengan asas-asas ilmu filsafati yang ditemukannya dalam kitab Taj as Salatin (Danys Lombar, 2014).   Pada abad ke-19, adaptasi-adaptasi masih dibaca di kraton Yogyakarta dan Surakarta dalam versi Jawa yang disebut Serat Tajus Salatin.

Narasi di atas hanya sebuah setting syariat pada saat itu yang diperkirakan turut mempengaruhi kepatuhan hukum yang berlaku di negeri Melayu.

Usah ‘Rabun Jauh’ Sejarah

Adakah pengaruhnya kepada kepatuhan hukum yang berlaku pada Kesulthanan Melayu Langkat? Merujuk buku Sejarah Melayu, sampai abad ke-19 Kesultanan Langkat berada dalam pengaruh Aceh (Ahmad Dahlan, 2014), dan begitu meluasnya pengaruh kitab syariat yang berisi ajaran ketanagaraan seperti Bustan as Salatin dan Taj as Salatin, hal ini menjadi “lahan” mengubak sejarah Melayu Langkat dan kitab-kitab hukum apakah yang berlaku dan diikuti?

Dimanakah ditemukan kitab klasik yang otoritatif dan otentik yang bisa menjelaskan alam pikiran melayu Langkat saat itu? Apakah ada semacam qawaid yang diberlakukan Kesulthanan Siak? Konstitusi tertulis Kesultanan Siak Sri Indrapura bernama al-Qawaid atau Babul Qawaid. Babul Qawaid berarti pintu segala pegangan, yang merupakan kitab undang-undang setebal 90 halaman yang menguraikan tentang hukum yang dikenakan pada orang Melayu, maupun bangsa lain yang berhubungan dengan orang Melayu.

Ini soal yang menarik ditelaah dengan menemukan sumber rujukan. Semakin berwarna dengan berbagai persintuhan hukum yang belakangan juga diakui.

Mari melompat ke masa lebih muda, tatkala pernah pada masanya T. Amir Hamzah diangkat menjadi Kepala Mahkamah Kesulthanan Langkat yang situs gedung mahkamah masih tegak berdiri di Tanjungpura, walau kini kurang terawat Pemerintah Daerah Langkat. Alih-alih membangun masjid, maktab, dan rumah sakit seperti yang dilakoni kesulthanan Langkat tempo dulu yang membangun kota (publik), maka ikhwal ketabahan merawat situs dan kota bersejarah itu janganlah kiranya diabaikan Pemda.

Sejarah terus berlangsung, seperti air mengalir, pantha rei. Zaman bergerak demikian pula hukumnya. Corak konstruksi hukum dan pergeseran tata hukum yang tersajikan semakin beragam, jika membaca Djohar Arifin Husein, yang pada tahun 2011 menulis “Tengku Amir Hamzah – Tokoh Pergerakan Nasional, Konseptor Sumpah Pemuda, Pangeran Pembela Rakyat”, yang menorehkan kesan bagaimana Amir Hamzah peduli rakyat kecil. Membela rakyatnya yang terjerat masalah hukum. Di paparkan dalam buku Djohar Arifin itu, “Sebagai Kepala Mahkamah Kerajaan banyak rakyat kecil yang dibelanya, jika bukan kejahatan pembunuhan, pencurian atau perampokan terdakwa tidak akan melaksanakan hukuman badan atau masuk penjara, cukup dengan didenda dan lucunya dendanya secara diam-diam dibayarnya dari kantongnya sendiri, terkadang pinjam dari bendahari pengadilan”.

Mutu ijtihat T.Amir Hamzah itu begitu maju melampaui zaman, yang kini disukai dan diambil alih menjadi konsep restorative justice dan non penal punishment yang belakangan diperkenalkan hukum barat.

Tatkala Belanda memberlakukan peraturan membayar rodi (pajak paksa) kepada rakyat sebesar 6 (enam) perak atau setara satu goni besar dalam setahun, Amir Hamzah diam-diam melunasi pajak paksa rakyat Langkat Hulu. Seluruhnya. Dibayar dari gajinya. Tak ada rakyat Langkat Hulu yang dilaporkan abai membayar pajak paksa itu. “Rakyatnya tak tahu pajak rodinya dilunaskan selama ini (oleh) Tengku Amir”, tulis Djohar Arifin lagi.

Memang perjalanan sejarah yang bertutur runtut menjelaskan perkembangan historis yang begitu kompleks. Namun, dengan memahami setting syariah dan kepatuhan hukum yang diikuti, berikut situs-situs utama yang masih bisa ditemukan, seperti Masjid Azizi dan maktab “puteh”, secara faktual tak bisa menafikan adanya pengaruh dan kepatuhan hukum berdasarkan syariat.

Penelusuran kitab-kitab lama dan dokumen hukum yang berkembang pada era kejayaan kesulthanan Langkat, sangat menarik dicermati isi kaidahnya, dari mana ikhwal pengaruh alam pikiran dan teks syariatnya, bagaimana kelembagaan peradilan bekerja dan isi pertimbangan hukumnya, bentuk dan tampilan dokumennya, menjadi kajian sejarah hukum yang memiliki arti yang penting dalam memahami setting pemberlakuan syariat dalam hukum nasional kini. Ini soal yang musti dirancang lebih khusus dan serius sampai menemukan kitab dan pustaka lama sampai ke sumber asli penyimpanannya.

Seperti pernah dilakukan Soetandyo Wignjosoebroeto yang dikirim 4 bulan ke Belanda menelusuri pustaka-pustaka lama zaman kolonial pada Agustus-Nopember 1988 yang kemudian menuliskannya menjadi buku “Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional – Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia”.

Penelusururan sejarah hukum mustinya tidak “rabun jauh” sejarah, karena hanya mematok dimulai dengan masuknya kolonial yang membawa hukumnya dan bertransformasi kepada hukum nasional. Mustinya meneluri sejarah hukum lebih jauh lebih asli sebelum masuknya kolonial, karena sudah ada dan dipatuhinya syariat Islam pada kesulthanan (melayu) nusantara yang diakui dan berdaulat sebagai negara. Yang dikenal sebagai Melayu identik Islam. Hukum nasional tidak bermula dari hukum kolonial, tapi jauh lebih mendalam diakui dan diikutinya syariat Islam. Zaim Saidi menyebut kesulthanan selalu identik dengan syariat Islam ketika menulis pengantar editor penerbitan ulang buku Shaykh Dr.Abdulqadir as-Sufi, “Sultaniyya”, 2014.

Banyak informasi menerangkan pendatang Eropah awalnya justru mengikuti hukum yang diterapkan sulthan/raja dalam perdagangan dengan penguasa atau warga, sehingga bisa dibangun postulat pendatang Eropah seperti Belanda justru menyerap hukum setempat, transaksi menggunakan mata uang setempat, kiranya seperti tiori hukum resepsio in complexu yang kemudian diterapkannya kepada bumi putera.

Lagi, seperti pengakuan Raffles, bahwa sulthan Singapura memerintah dengan terus terang mengacu kepada kitab Taj as Salatin. Idemditto, kraton Yogyakarta dan Surakarta mengadaptasi Taj as Salatin dalam versi Jawa sebagai Serat Tajus Salatin.

Hukum syariat Islam dipandang sebagai hukum yang hidup dan berlaku (the living law). Teori ini didasarkan pada keyakinan Van den Berg bahwa “Islam telah diterima secara baik oleh sebagian besar, jika tidak semua, umat Islam setempat.” Teori Van den Berg ini kemudian diresmikan melalui Aturan Pemerintah Kolonial Belanda Nomor 152 tahun 1882.

Van den Berg bukanlah orang pertama yang berpendapat bahwa hukum Islam adalah hukum yang berlaku bagi umat Islam di Indonesia. Telaah-lah Reglement op het beleid der Regeering van Nederlandsch Indie (R.R.), Stbl. Nomor 129 tahun 1854 dan Nomor 2 tahun 1855, terutama pasal-pasal 75, 78, dan 109, (2). Pada masa Daendels dan Raffles, hukum yang berlaku bagi umat Islam adalah hukum Islam. Van den Berg adalah orang pertama yang merumuskannya dalam bentuk teori yang kemudian dikenal secara luas.

Kembali ke situs masjid. Kota Tanjungpura dengan situs Masjid Azizi dan maktab “puteh” tidak terbantah sebagai bukti historis-sosiologis yang  valid dan absah untuk menerima dengan jujur fakta syariat Islam sebagai hukum yang hidup (living laws) di negeri Langkat. Yang diakui, diikuti dan dipatuhi dengan sebab kepatuhan bukan hanya keberlakuan.  Namun, penting pula menemukan dokumen dan rujukan kitab hukum apakah yang diterapkan Mahkamah Negeri Langkat, adakah jejak-jejak berkas, dokumentasi, berita acara peradilan ketika mahkamah menjalankan fungsi kenegaraanya?

Mengungkap itu, besar sumbangannya bagi ilmu hukum dan sejarah hukum jika memperoleh sumber rujukan, dan selanjutnya membuat telaah hukum doktrinal atas norma/kaidah yang berlaku, dengan mencermati konten normatif, struktur kelembagaan hukumnya, dan suasana kepatuhan serta budaya hukum yang berkembang saat itu. Menjadi alibi bagi menata hukum yang berkeadilan masa kini.

Epilog: Kota dan Hukum

Pun demikian, situs bangunan bukan tak berguna sebagai sumber rujukan hukum yang berlaku. Membaca perkembangan kota bukan hanya dari fisiknya namun juga dokumen hukum yang berlaku, apa kaidah risalah yang dibuat. Kota dan hukum berkembang hampir paralel, walau ada pasang surut dan pergulatan dinamikanya.

Kiranya postulat pertemalian situs bangunan kota dengan hukum dapat dimulakan, untuk menelusuri sejarah dan kaidah hukum yang tak rabun jauh. Pertama: situs bangun bersejarah adalah bukti penerimaan dan kepatuhan hukum yang berfungsi “mencatatkan” pemikiran dan norma hukum yang dianut. Kedua: situs bangunan bersejarah tak hanya benda fisik semata, namun ada anasir filosofi, jiwa, pikiran, norma, dan kepatuhan hukum yang inheren melekat padanya. Ketiga: membaca hukum tak hanya lewat kitab, naskah atau qawaid saja tapi situs bangunan dan kota bisa diajak “berbicara” sebagai narasumbernya.

Tersebab itu, tak keliru esai ini memahami postulat dari situs Masjid Azizi Tanjungpura yang menjelaskan sentalnya mesjid dalam riwayat tata kota dan tata hukum yang berlaku. Melalui kemolekan situs bangunan masjid, menjadi cara yang lebih mudah dan kasat mata untuk mengambil pintu masuk menjelaskan betapa syariat Islam memiliki akar yang kuat dan dipatuhi warga negeri.

Selain pada bahasa ada hukum yang paling tua, pada karya cipta benda bersejarah inheren terkandung hukum yang tak kalah tua. Seperti halnya kini fashion, benda properti, dan kegiatan lawatan yang lebih mudah menjadi pintu masuk transmisi gagasan dan menjelaskan budaya pikiran, maka deskripsi mendalam dan otentik terhadap situs (properti) bersejarah seperti Masjid Azizi, menjadi medium transmisi pemahaman betapa syariat Islam menjadi “alam pikiran” yang eksis dan dipatuhi negeri Melayu berdaulat.

Yang sekaligus juga menjelaskan betapa budaya bendawi sekalipun inheren gagasan dan budaya pemikiran keagamaan yang sudah mengakar lama, dengan rujukan otoritatif dan otentik, yang memiliki daya berlaku dan mengusahkan kepatuhan warganya. Patuh terhadap hukum, kaidah, qawaid, yang dikenali sebagai syariat Islam. Wawlahualam.

 

# Muhammad Joni, S.H., M.H.: Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Managing Partner Law Office Joni & Tanamas.

1 Response

Leave a Reply