Dari Rumah Negeri Digenah (2 & 3): Catatan Buku ‘Ayat Perumahan Rakyat’
Segala jurus dan kebijakan dioptimalisasi untuk pemenuhan hak hunian itu, ya… sebut saja pembiayaan perumahan, tata kelola penyelenggaraan, sistem kelembagaan, penyediaan tanah dan ruang (termasuk reklamasi), rasionalisasi perijinan, prasarana, sarana dan utilitas umum (PSU), hunian berimbang dan perumahan swadaya, infrastruktur dasar, serta segenap bantuan dan kemudahan. Berikut peran nonpemerintah dan masyarakat, dengan 5 Komponen Dasar Hak Bermukim (5 KDHB), total football bergerak ke satu titik dan mendorong pemenuhan hak bertempat tinggal khususnya bagi MBR.
Baik MBR formal lebih-lebih lagi MBR nonformal, baik perumahan umum/formal, maupun perumahan swadaya yang justru pemilikan, pembangunan dan penghuniannya jauh lebih banyak lagi: lebih 70%. Rumah formal hanya menyumbang bagian kecil dari konsfigurasi perumahan nasional.
Selain Program Sejuta Rumah (PSR) sebagai pencapaian, justru momentum PSR musti sekaligus mengokohkan sistem penyediaan perumahan rakyat. Ini catatan ke-2 dari buku AAPR.
Ayat 68 dan 69 mengulas pentingnya perumahan swadaya, yang dari skala dan komposisinya berpeluang menjadi masa depan pembangunan perumahan itu sendiri.
Tersebab itu, tak elok dan rugi jika kebersamaan dan gotong royong stakeholder pembangunan permahan itu bergesekan sebagai hambatan normatif, dan gap peran Pemerintah-Pemda, Pemerintah-nonpemerintah-lembaga pembiayaan, dan tentu saja dengan masyarakat, baik sebagai MBR maupun sebagai konsumen.
Pemenuhan perumahan MBR itu tak lepas dari peran MBR itu sendiri, dan karenanya edukasi dan literasi perumahan menjadi isu yang patut diupayakan.
Ayat ke 71, 72, dan 73 mengulas betapa perlunya melibatkan MBR dan konsumen dengan literasi. Tepat jika PSR memberi perhatian perlindungan konsumen MBR atas produksi perumahan MBR, dan tentu bukan hanya normatif dan gimmick namun membangun standar operasional perlindungan hukum konsumen/MBR.
Tersebab itu, pemenuhan hak hunian itu tidak begitu saja lepas dari kewajiban (dan tanggungjawab) Pemerintah Daerah (Pemda), walaupun ada disparitas regulasi UU No 23 Tahun 2014 (UU Pemda) yang membatasi tata kelola urusan Pemda hanya perumahan dalam situasi darurat dan peningkatan dan penataan kawasan kumuh.
Patut penulis bersukaria memetik pemikiran Bapak Agung Mulyana bahwa kebuntuan itu bisa diatasi dengan Peraturan Presiden (Perpres).
Setarikan nafas, mendorong pembangunan perumahan rakyat sebagai program strategis nasional (sebut saja “PSN”) yang dimungkinkan dengan UU Pemda. Kepala Daerah dan Wakilnya berkewajiban melaksanakan PSN, malah dengan ancaman diberhentikan (vide Pasal 67, 68 UU Pemda).
Soal ini disitir dalam ayat 10, 11, 12 dan 77 buku AAPR, agar segenap potensi Pemerintah dan Pemda bisa berlomba-lomba berbuat yang terbaik dan optimal bagi pembangunan perumahan rakyat.
Dengan jurus perumahan rakyat sebagai PSN dijamin segenap potensi dan mesin Pemerintah dan Pemda bisa bergeliat sinergis dan total menggerakkan pembangunan perumahan rakyat, tak hanya mengatasi backlog, kawasan kumuh dan rumah tidak layak huni, lebih dari itu menciptakan sistem penyediaan perumahan rakyat yang stabil, tak mengalami “turbulensi” kebijakan, program dan anggaran.
Berharap pada perumahan sebagai PSN bukan tanpa alasan dan justifikasi. Ini catatan ke-3 dari buku AAPR.