Dari Teladan Abadi Bunda Hajar: Patriot Perlindungan Anak!
Seorang kakek muda yang pendiam dan berparas lugas, sontak eksis di media sosial. Acap memamerkan aura bahagia mendekap bayi: cucu pertama dari surgawi. Seperti melewati critical window. Etape baru usia kronologis ke usia bahagia.
Anda hendak panjang usia bahagia? Lebih dini usia bahagia? Hendak dialiri pahala abadi? Bekerjalah pada perlindungan anak!
Dari satu penelitian, kakek/nenek yang akrab peduli cucu, bisa menurunkan resiko alzheimer. Resiko kematian 37% lebih rendah dari yang tak peduli, seperti diwartakan situs brightside yang mengutip peneliti Universitas Oxford.
Narasi itu ajakan memupuk tumbuh-kembang anak. Etape yang teramat penting dan krusial. Agar anak tak hanya sekadar konsepsi, janin dan lahir bayi. Tak hanya hidup dan bertahan hidup (life and survival).
Jika jiwa dan tubuh anak kurang bertumbuh. Didera malnutrisi kronis dan stunting, pasti anak kalah bersaing. Menjadi statistik generasi hilang (lost generation).
Bekerja untuk perlindungan anak idemditto menjaga sang hidup. Agar anak berisi jiwa insaniwi yang terbaik, dan berkembang dan bertumbuh dengan potensi penuh. Bekal berlelaku sholeh optimal pada sesama dan lingkungannya.
Sebab itu perlindungan anak adalah pertimbangan paling puncak. Terlibat itu, anda menambah usia amaliah. Jerih kebaikannya tak henti. Pahala mengalir abadi bersalut rizki.
Bergelimang advokasi dunia anak, anda pasti gembira! Awet muda. Dan, surplus tenaga. Walau sudah kakek-nenek, tetap disapa kakak. Dunia anak tak hanya taman bermain dan ruang sekolah, pun “taman” canggih dan “ruang” penuh kasih sebelum masa kelahiran.
Apa sebab gembira? Karena anak zona penuh gembira. Walau hanya melihat kerlingnya. Sunggingnya. Bola matanya yang tersenyum. Pun bau hawa pori-porinya. Damai rasanya. Siapa tak suka kepada si ‘buah hati sibirang tulang’, ‘intan payong’, kata orang Melayu, ‘tondiki’ bagi orang Tapanuli, pun ‘qurrata a’yyun’ dari panduan suci.
“Robbanaa hablanaa min azwajinaa wadzurriyaatinaa qurrota a’yun waj alnaa lil muttaqiina imaamaa”.
Kalau sebab bergelimang tenaga? Saya mengilhami perlindungan anak dari kisah lama ini. Dari teladan sang Nabi. Dari tulus Bunda Hajar yang dikenang jamaah umroh dan haji hingga kini. Yang kasihnya tak kikis sekulit ari, pun musti berlari-lari kecil dipeluk sunyi. Sendiri. Di lembah kerontang dan sepi. Tak berkawan, hanya dibimbing eling rabbani.
Hanya bunda Hajar saja, dan Ilahi Rabbi –Tuhan Yang Maha Penjaga Hidup– saja. Lalui dua bukit berbatu terjal dan –sekali lagi– kerontang bertubi-tubi. Tak hanya sekali. Hajar berlari-lari abadi. Yang setelahnya menjadi sha’i, rukun umroh dan haji.
Hajar tabah diuji. Hajar berlari tujuh kali. Hajar tak bisa menunggu lagi. Tak menunda lari demi Ismail, sang bayi. Can not wait. But, to day. Hajar bergelimang tenaga.
Seperti teladan Nabi Ibrahim Alaihis Salam. Ibrahim menjadi ayah-cum-mubaligh kepada Ismail kecil. Ayah-lah mubaligh pertama pada anak. Tugas ayah memandu dan mengarahkan (guidance and direction). Itu dua tugas kembar orangtua otentik, jika mengacu ‘Implementation Handbook on the Rights of the Child’ terbitan UNICEF.
Seperti teladan Bunda Hajar. Sebagai ikhtiar tulus lari-lari kecil di bukit bersejarah: Safa-Marwa. Dua bukit paling dicari setakat umroh dan haji. Seperti kausal hentak kaki Ismail kecil, yang musabab hausnya mencairkan zam-zam suci. Air tiada akhir. Air kehidupan paling bergizi.
Bagi saya, begitulah makna rahasia, pun “pahala” amaliah perlindungan anak. Sesiapa saja yang loyal pada takdir sosial perlindungan anak, bahagialah! Moga kiranya pahala setara sha’i. Mabrur sepanjang usia. Agenda melindungi anak, anda melakoni jejak Rasul-rasul: Ibrahim, Ismail, dan meneladani perempuan taat yang istimewa-mulia: Hajar. Anda ialah pengikutnya. Kiranya se-koum dengan trah Rasul-rasul.
Mereka teladan yang ajarkan akhlak cerah. Dari Makkah al-Mukarramah, dari bukit Safa-Marwa bersejarah. Dari sumur zamzam airnya meruah, bahwa perlindungan anak itu tinggi mulia kadar amaliah.
Sejak dulu pun kini, kita tidak defisit kaum yang bergerak pada perlindungan anak. Pembela hari-hari pertama kehidupan dimula sampai menjadi manusia muda belia. Menjadi penjaga sang hidup. Penjaga putra-putri kehidupan, meminjam diksi Kahlil Gibran. Terlahir dengan ruh suci, anak tak bisa membelah diri sendiri ataupun dipabrikasi, sebab itu bagi John Gray “Children are from heaven”. Bekerja untuk anak seperti menyerap aura bahagia surgawi.
Pangkalan dunia perlindungan anak tak hanya ketika lahir ke dunia dan menjadi warga peserta badan penyelenggara jaminan sosial, namun lebih dini semenjak prakonsepsi, konsepsi, janin dalam rahim, bayi baru lahir, batita, balita, remaja, sampai orang muda belia. UU Perlindungan Anak mendefenisikan anak sejak sampai belum usia 18 tahun, termasuk janin dalam kandungan. Kahlil Gibran, John Gray, dan UU Perlindungan Anak berada dalam satu pangkalan pemikiran.
Ikhtiar demi putra putri kehidupan dari surga itu jangan ecek-ecek. Kepentingan terbaik bagi anak itulah pertimbangan paling puncak (paramount consideration). Selain terlahir suci, tak ada anak lahir terbelit hutang dan miskin karena dijamin negara dalam konstitusi: Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Saya menyebutnya kostitusi hak anak. Mana ada hal ikhwal ecek-ecek masuk konstitusi.
Dari kelompok rentan (vulnerable group) yang membutuhkan perlindungan khusus, hanya anak masuk dalam konstitusi. Patut digemakan, konstitusi bukan dokumen hukum dan politik belaka. Bukan seperti metafora ‘buku menu restoran’ di negeri Eropah Timur dulu, yang tertera ada namun tak tersedia di meja, dikutip dari satire Ewa Latowska, sang perempuan juris-konstitusionalis Polandia.
Di lahirkan di negara beridiologi apapun, pada anak melekat hak yang utuh dan lengkap yan mencakup hak hidup, hak bertahan hidup, hak tumbuh kembang, dan hak perlindungan yang dikemas sebagai KHA (Konvensi Hak Anak). Mengintegrasikan hak sipil dan politik (sipol), dengan hak ekonomi sosial dan budaya (ekosob) serta hak atas pembangunan.
Negara bertanggungjawab konstitusional menjaga 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Mencegah lost generation. Menjadi mubaligh bagi anak Indonesia. Perlindungan anak dilakoni negara dengan ikhtiar luar biasa: progresively and full achievement. Bukan upaya biasa saja (ordinary effort), walau tidak sedang dilanda pandemi atau bencana.
Mengapa? Sebab “Many think can wait. Children can not. To them we can not say tomorow. Their name is today”, gubahan Gabriella Mistral penyair asal Chile.
Jika mengabaikan 1000 HPK, diprediksi menabung bencana lapisan generasi, turunnya produktifitas dan indeks kecerdasan anak. Bonus demografi pun bukan modal namun himpitan beban. Kebanggaan apa hendak diraih dengan mengabaikan konstitusi hak anak?
Lantas apa usulannya? Proposal advokasi saya, turunkan angka stunting anak yang indeksnya 1 dari 3 anak. Jadikan combating stunting sebagai gerakan masyarakat yang otentik, bukan parsial dan formal seremonial. Menjadi program strategis nasional, tak cuma proyek strategis nasional.
Hentikan kekerasan anak. Jadikan kejahatan anak itu delik pidana serius. Misi ‘Penjara Bukan Tempat Anak’, musti diteruskan. Masukkan perlindungan anak menjadi Asas Proteksi versi Pasal 5 RUU KUHP, sehingga kejahatan pada anak Indonesia di luar negeri bisa dijerat di yurisdiksi dalam negeri. Ketika kartu kredit terbitan bank domestik masuk ke dalam Asas Proteksi RUU KUHP, apakah kartu kredit lebih berharga dilindungi negara daripada anak Indonesia?
Kekerasan anak –fisik, psikis, seksual, keyakinan, pikiran– pastikan zero tollerance, terlebih dalam balutan kebijakan berdimensi publik. Kekerasaan bagian luar pendidikan. Kekerasan bahkan anti pendidikan. Ramah tamah kepada anak adalah defenisi sekolah.
Edukasi moral terpuji sepaket literasi-numerasi pada anak jangan berhenti. Pendidikan anak jangan didangkalkan hanya melek sains dan teknologi informasi. Bukan robot, anak itu insan berjiwa-cum-nurani. Absurd jika disepadankan dengan kecerdasan buatan.
Misi penting ‘anak belajar, negara membayar’ sampai perguruan tinggi ayo konkritkan, meniru negara-negara Skandinavia yang bisa membuktikan. Percayalah duhai Pemerintah, ketika fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara, maka negara berkah sentosa!
Kepentingan terbaik bagi anak ambil-alih menjadi pertimbangan paling puncak, yang mengalahkan kalkulasi fiskal berburu pajak.
Demi investasi Indonesia sehat, segera padamkan asap rokok. Larang total seluruh iklan, promosi dan sponsorship rokok. Juga, segera aksesi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control), jangan kalah sama jiran Timor Leste dan sekawasan ASEAN.
Menuju Indonesia Layak Anak (IDOLA) 2030, Kota Layak Anak ayo diroketkan, lebih dari tren kebijakan yang difestivalkan. Portopolio perlindungan anak diutamakan, ayo masukkan dalam daftar urusan konkuren bersifat wajib pusat dan daerah. Demi konstitusi hak anak dan nasib IDOLA, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Pasal 12 ayat 1) patut diubah dengan menambah urusan perlindungan anak.
Kota adalah pabrikasi gizi. Tak ada vonis terlambat menyokong otoritas kota menanami sebagian ruang terbuka hijau (RTH) –yang diwajibkan 30% dari luas kota— dengan kebun kota. Ditanami buah dan sayuran bergizi yang berguna memerangi polusi, malnutrisi dan stunting. Menyulap warga slum area menjadi milioner urban farming. Duplikasi dan adaptasilah inisiatif urban food street (2009) di Buderim, kota Sunshine Coast, Australia. Kiranya warga kota lebih dini dan lama mereguk usia bahagia. Meremajakan kota tak hanya biautifikasi fisik saja. Warga kota bahagia, meningkatkan kinerja produktif ekonomi kota.
Duhai daulat pemerintah bermartabat/ Mari menggelar teladan abadi bunda Hajar/ Alamat pahala sha’i sepanjang hayat.
Selamat berbahagia di hari raya idul adha 10 Zulhijjah 1442 H. Selamat Hari Anak Nasioal, 23 Juli 2021. Bahagiakan anak Indonesia. Mabruk sepanjang hayat. Mabruk alfa mabruk: مَبْرُوْكْ اَلْفَ مَبَرُوْكْ. Bahagia menjadi patriot perlindungan anak. Allahu’alam. Tabik.
*) Muhammad Joni, SH.,MH: Advokat, dan aktifis perlindungan anak.