Dari The Concept of Law H.L.A. Hart: Nalar Hukum ‘Kapal bisa Melayang’ dan ‘Kedokteran Tak boleh Buta’

Oleh: Advokat Muhammad Joni

Sebagai konsep, buku adalah perangkat lunak. Perkakas ringan yang melesat ke penjuru dunia, tanpa pasport pun ijin menetap. Buku The Concept of Law dari H.L.A Hart itu “berat”, pun sejak dari judul. Membacanya perlu sedikit perlahan. Lebih banyak khusuk. Siapkan nafas panjang. Melayang dan tak buta membaca tanpa aksara. Usah tergopoh tak ada presisi seperti metode ombibus.

Pun, aktivasikan perangkat intelektual yang tergesa menuduh atawa membela, dan ehem.., tanpa asap rokok yang berbahaya, adiktif dan karsinogenik.

Sengaja memilih kata ‘The Concept’, karya klasik The Concept of Law dari Pak H.L.A Hart itu berat, jika membaca hukum tak dari dasar. Tak bisa lansung melompat ke MH (magister hukum). ‘The Concept’ dari H.L.A Hart berisi 10 bab dirancang fenomenal. Membaca buku ini idemditto diajak menalar cermat. Berpikir abstrak. Tersebab “sorot sinar” pemikiran dari pemilik nama lengkap Herbert Lionel Adolphus Hart itu, via buku ini tersebar ke nalar sehat peminta di seantero jagat, termasuk pemilik esai ini. Menu ‘The Concept” dikunyah-dicerna, dilihat dan dicermat ahli hukum sedunia.

Mengapa perlu cermat? Hart itu sosok yang tertib. Dia terbiasa mengulas hukum mulai dengan cermati kata-kata. Hart tak segan mengulas beda kata ‘diwajibkan’ dengan ‘memiliki kewajiban’, pada Prakata buku yang ditorehkan di Oxford, Februari 1961.

Mengapa pembahasan kata-kata itu perlu? Hart menjawab sendiri. Katanya, untuk “…menjernihkan kata-kata yang dipahami secara keliru”. Hart menyebut perlunya pembahasan hukum secara sosiologi deskriptif. Walau buku melesat tanpa pasport, Hart mengakui adanya “jurang” pemisah dalam pemahaman, yang menjadi biang perbedaan nalar hukum. Konsep adalah titik temunya. Hukum tanpa konsep, bukan hukum yang pasti. Bisa terombang ambing seperti sabut kelapa di lautan Natuna.

Dengan analogi cerdas, Hart bertanya apakah sebuah ‘kapal layang’ masih bisa digolongkan sebagai ‘kapal’? Apakah masih bisa disebut permainan ‘catur’ bila kurang salah satu raja? Namun Hart juga piawai pembahasan analitis. Hart memilah antara antara Law (hukum), Coercion (paksaan) dan Morality (moralitas) –yang acap dicampur-adukkan orang amatir hukum.

Anda penasaran mencari jawaban perbedaan yang abstrak (dan konkrit) antara Law (hukum), Coercion (paksaan) dan Morality (moralitas) [sebut saja ‘LCM’) –seperti tujuan H.L.A. Hart menulis buku itu? Bersiaplah untuk sukaria. Dan, mengekpresikan sorot mata tercerahkan. Ketika berhasil lepas dari terpaan “badai nalar” akbat kekusutan teori hukum. Hart berhasil mencerahkan para pembaca –lagi-lagi dimulai dengan deskripsi kata-kata dan contoh konkrit— perihal perbedaan pada tiap-tiap anasir ‘LCM’

Hart bukan hanya mengoreksi konsep hukum yang sering disampaikan dengan fasih dan bersemangat, seolah wahyu yang benar tentang hukum. Namun Hart mengeritik bahwa penjelasan ‘nature’ hukum itu telah dikaburkan. Dan, penyampaian hakikat esensial yang jauh menyimbang. Akibat tersorot “sinar” penjelasan hukum yang bukan hanya menyinari gelap, namun sorot “sinar” itu (bisa) membuat buta dan mata tak mampu melihat obyek (hal-hal) selebihnya, oleh karena terpapar banyak sinar. Terpana, namun tanpa pandangan jelas dan menyeluruh. Begitu analogi a la Hart mengingatkan pembaca.

Seru dan gaharnya buku Hart terkesan dari pilihan judul Bab I: Persistent Question (‘Persoalan-persoalan yang Terus Muncul’). Pun, ketika dia tembak langsung memberi porsi Bagian I bertitel: Perplexities of Legal Theory (‘Kekusutan Teori Hukum’). Eh.., malah Hart pada paragraf pertama menjadi panggung menyanjung ilmu hukum. Hart memuja ilmu hukum dibandingkan ilmu kimia dan bahan ilmu kedokteran.

Tuan Hart memilih frasa “Few Question”, yang membuktikan sanjungannya pada ilmu hukum –yang kata-katanya seolah-olah “wahyu”. Hart –tokoh yang peduli kata-kata walau menyingkat initial nama depan dengan H.L.A saja– menuliskan kalimat begini: “Few questions concerning human society have been asked with such persistence and answered by serious thinkers in so many diverse, strange, and even paradoxical ways as the question ‘What is law?’

Pertanyaan ‘Apa itu Hukum’ bagi Hart layaknya “pertanyaan sepanjang masa” mengenai masyarakat manusia [human society]. Pertanyaan yang diajukan begitu gigih, dan dijawab bukan hanya orang awam, namun para pemikir serius. Dengan berbagai cara yang aneh [strange] maupun yang paradoksal [paradoxical].

Saya mencatat pertanyaan ‘Apa itu Hukum’ itu adalah dimensi ontologis daripada hukum. Hart membandingkan dengan ilmu kimia dan ilmu kedokteran, yang hanya dikaji beberapa baris pada pembuka buku. Beda dengan ‘Apa itu Hukum’, yang tak ada satu sarjana hukum yang satu pendapat.

Sampai 150 tahun terakhir pembahasan teori hukum, kajian ‘hakikat’ [‘nature’] hukum adalah situasi tidak ada bandingannya [not paralleled] dari pokok bahasan lain yang dikaji sistematis sebagai disiplin akademis sendiri. Dengan sadar mengambil sub judul ‘Kekusutan Teori Hukum’, saya terkesan Hart hendak menunjukkan misteri belantara hutan lebat ilmu hukum, yang tidak bisa dipelajari sambil lalu, dan bukan dipikirkan kecuali yang memang ahlinya saja.

Membaca kata perplexities (kekusutan) itu sekilas perwajahan hukum itu ada getar kengerian. Ya.., seperti kesan pertama saya memasuki pekarangan dan menelusuri selasar dari kompleks Fakultas Hukum USU (1985). Gamang. Begitu tersentak faktor wah..!, gaya arsitektur art-deco, perkasa dan “angkuh”-nya sekolah hukum ini. Aura dan hawa ‘LCM’ terasa dari pori-pori gedung kampus hukum yang maskulin dan berwibawa.

Agaknya, filsafat ilmu yang mengajarkan dimensi ontologis, perlu diajarkan pada semester awal. Untuk bisa lebih tajam menalar “kapal layang” dan permainan “catur” yang disodorkan H.L.A Hart dalam ‘The Concept of Law’. Memiliki haluan yang jelas pun bekal sorot cahaya yang memadai. Untuk bekal memasuki lorong-lorong gelap pembelajaran ilmu hukum. Yang musti berpikir abstrak dan konseptual, sementara musti menghadapi kasus konkrit dan kompleks, saling bertautan –erat tak mudah begitu saja lepas– dengan jamak soal masyarakat manusia.

Tanpa konsep, tidak bermakna hukum. Without the concept, wha’s the meaning of law? Tanpa adanya pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, nihil kompetensi, maka tak ada akar organisasi profesi kedokteran. Tanpa ada kode etik dan sumpah profesi, bukan organisasi profesi! Walau punya surat keputusan Ditjen AHU, belum tentu sebenar organiasi profesi. Hukum boleh berubah, tapi etika itu stabil. Tanpa etika, kedokteran buta.

Menurut Yang Amat Terpelajar H.L.A Hart, ilmu hukum itu lebih lengkap dan [kadang kusut!] dari ilmu kimia yang bisa diurai dengan rumus unsur-unsur dengan diagnosa dari ruang laboratorium nir-manusia. Beda sekali dengan ilmu hukum, ruang laboratoriumnya seluas semesta yang kerap berlaga dengan kekuasaan yang hendak menyamar menjadi hukum. Hukum menjadi penyamaran kepentingan politik: law is politics in disguise. Bahkan menyamar dan bersembunyi hanya pada satu kata: “dapat”, seperti Pasal 311 ayat (1) UU Kesehatan. “Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dapat membentuk organisasi profesi”.

Tak hanya karena kombinasi antara abstrak dan konkrit. Antara konkrit yang jamak dan berkait-kaitan, dimana satu kasus konkrit pun tak mudah dan sederhana lagi karena berkai-kaitan. Satu kasus bukan hanya kasus tunggal saja. Karena pertemaliannya, yang sangat mungkin membelah dan membiak; meruyak dan merebak menjadi kasus berdimensi jamak.

Tak pula mudah disetop dan “lock-down”, namun berlangsung terus dan terus menerus tidak berhenti. Kasus beranak pinak. Dalam kasus ada kasus. Dalam satu kasus sengketa tanah, ada kasus perdata, kasus sengketa administrasi negara, bahkan kasus pidana biasa, banyak juga menjadi kasus pidana tindak korupsi pula. Karenanya, tanyakan ke ahlinya, agar mengerti konsep hukumnya.

Kiranya beralasan jika Hart memberi judul bukunya The Concept of Law, yang dimulai dengan ‘Persoalan-Persoalan yang Terus Muncul’, yang dengan sadar dan sengaja menerakan kata “terus (menerus) muncul” [persistent]. Yang memberikan penekanan pada dinamisnya hukum yang hidup, tumbuh, berkembang –evolutif, bahkan kritis, sampai analisa “revolutif”. Yang melekat dan lestari. Sebab itukah Hart memulai ulasan bukunya dengan judul Bagian I ‘Kekusutan Teori Hukum’?

Akankah ketika tamat membaca, mencerna dan mengulas buku Hart itu akan memberikan jawaban, pencerahan dan bahkan tanggapan atau anti tesis? Kalau buku ini adalah pemikiran (ide), wajar jika ada ide terhadap ide. Kalau ada Pro H.L.A Hart, wajar saja Kontra H.L.A Hart, dalam aras konsep hukum, bukan sengketa personal.

Jika pemikiran yag berada dalam “ruang pemikiran” maka dari satu ruang itu akan muncul ruang, sebagai “ruang dalam ruang”? Kalau paragraf pertama dari buku Hart ini mencakup pertanyaan ‘Apa itu hukum”, maka hal ikhwal ‘Yang-Ada’ (Being) hakikat hukum itu adalah dimensi ontologis apakah itu hukum. Akankah ada ‘ontologis dalam ontologi’ pada ‘Apa itu hukum’?

Aha, mungkinkah ada ‘The Concept of Law within The Concept of Law’? Adakah ‘LCM dalam LCM’? Esai ini dibuat saat Indonesia juncto Jakarta pendemik Covid-19, dibulatkan saat menguji UU Kesehatan.
Patik patut ajukan pertanyaan tunggal kepada Pak H.L.A Hart: apakah kaidah ‘di rumah saja’ itu Law (hukum), Coercion (paksaan) atau Morality (moralitas)?

Apakah masih permainan catur tanpa raja? Apakah masih lembaga ilmiah kalau hasil kerja ilmiah kolegium (academic body) bisa diutak-atik penguasa dengan PP 28/2024 Pasal 707? Kekusutan apa hendak dibanggakan hendak mengutak atik norma yang membatalkan efek merokok itu berbahaya, adiktif dan karsinogenik. Majelis pembaca yang baik budi, menyehatkan nalar hukum itu adalah alasan esai ini disiapkan! Esai yang sempat mengendap, namun tak bisa dibungkam. Tabik. (Advokat Muhammad Joni, pembelajar hukum, Ketua Perhimpunan Profesi Hukum dan Kesehatan Indobesia; Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Sumatera Utara).

Leave a Reply