Delegitimasi Pidana Penjara

Ketua Mahkamah Konstitusi lagi-lagi menginspirasi perubahan hukum. Setelah mengelindingkan isu “jual beli” pasal di Senayan, dan mengetuk petitum MK yang mempertahankan pasal-pasal tembakau dalam UU Kesehatan, kini Mahfud MD mengusulkan agar koruptor dipermalukan di hadapan publik. Salah satunya dengan ditempatkan dalam sebuah kebun bagi koruptor yang serupa dengan kebun binatang.

“Saya usul agar koruptor jangan dibikin takut, tapi dipermalukan. Misalnya, dibuat kebun bagi koruptor,” kata Mahfud seusai acara Silaturahim Antikorupsi di Gedung Juang, Jakarta, Minggu (27/11/2011). Menurut Mahfud, pelaku korupsi tak ubahnya seperti hewan. Dengan adanya kebun bagi koruptor itu, maka sebaiknya dipertontonkan kepada publik. Cara ini juga dapat dilakukan untuk mendidik para siswa agar tidak meniru budaya korupsi.

Pandangan itu adalah kritik dan sekaligus dekonstruksi terhadap efektifitas pidana penjara. Tatkala mengajukan pengujian material alias judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, saya pun menggunakan dalil itu, bahwa penjara tidak efektif untuk perbaikan anak didik pemasyarakatan.

Saat itu, selaku kuasa hukum Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Pusat Kajian dan Perlndungan Anak (PKPA), saya menggugat keabsahan 5 pasal dalam UU Pengadilan Anak. Hasilya, dikabulkan sebagian. Usia tangggungjawab pidana anak ditingkatkan menjadi 12 tahun. Mencegah periode 4 tahun usia anak-anak dari jerat pidana.

Sebelum Putusan MK itu, usia tanggungjawab pidana anak (the age of criminal responsibility) adalah 8 tahun, seperti diatur dalam UU Pengadilan Anak Pasal 4 ayat (1). Batas usia versi UU Pengadilan Anak itu memang tertalu rendah (too short). Bandingkan saja dengan perlindungan anak yang bekerja atau pekerjaan yang dilarang sama sekali pada anak. Singkatnya, batas usia tanggungjawab pidana anak terlalu rendah dibandingkan usia boleh bekerja dan lebih rendah dari usia anak boleh melakukan pekerjaan ringan. Anak dapat melakukan perbuatan hukum diperbolehkan bekerja pada bentuk pekerjaan ringan (light work) berdasarkan UU Ketenagakerjaan yakni pada usia 13 s.d 15 Tahun, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 69 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.

Bahkan jauh lebih lebih rendah dari usia larangan pekerjaan terburuk. Larangan melakukan pekerjaan berbahaya atau bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak (the worst form of child labor), berdasarkan Pasal 74 UU Ketenagakerjaan yakni pada usia dibawah 18 tahun.

Belum lagi situasi buruk yang dialami anak di penjara. Makanan masih menjadi persoalan yang belum berkesudahan. Akibatnya, pemenjaraan anak mengancam hak atas makanan sebagai hak tumbuh kembang anak. Pernah diwartakan, Pemerintah berhutang Rp.80 Miliar untuk makan napi di seluruh LP di Indonesia.

Padahal, Minimum Standar Rules tentang Perlakuan terhadap Narapidana, masalah hak atas makan menjadi perhatian, termasuk cara menyajikannya. Dalam Pasal 20 ayat (1) dikemukan, “setiap orang yang dipenjarakan harus diberi oleh pengelola penjara pada jam-jam yang bisa makanan yang bergizi cukup untuk kesehatan dan kekuatan, bermutu menyehatkan dan disiapkan serta disuguhkan dengan baik”.

Kritik atas efektifitas pidana penjara dikumandangkan juga oleh ahli hukum pidana R.M. Jackson. Menurut dia, Pidana penjara termasuk jenis pidana yang relatif kurang efektif, dalam hal menekan tidak berulangnya suatu perbuatan pidana. Angka rata-rata residivis (bagi yang pertama kali melakukan tindak pidana) berbanding terbalik dengan usia pelaku.

Pada anak-anak mencapai 50%, untuk mereka yang pernah dipidana berusia 21 tahun ke bawah, mencapai 70%, residivis, lebih tinggi daripada yang bukan residivis setelah dijatuhi pidana penjara daripada pidana lainnya.

Ahli hukum pidana Barda Nawawi Arief mengemukakan, pidana penjara membawa pengaruh lebih jahat, sehingga sering dikatakan bahwa rumah penjara adalah perguruan tinggi kejahatan atau pabrik kejahatan. Richard Posner melihat tidak efektif pidana penjara dari segi ekonomi, karena pidana denda mengandung nilai yang tidak ditemukan pada pidana penjara sehingga lebih menguntungkan daripada pidana penjara. Biaya sosial pidana penjara lebih besar.

Bahkan ada pakar yang tak percaya lagi sama lembaga penara seperti Phil Dickens. Dia mengemukakan bahwa “The idea that prisons serve to reform criminals is a nonsense.

Pendapat itu sejalan dengan hasil Fifth United Nations Congress on The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders Report: Pada umumnya diakui mekanisme peradilan dan kepenjaraan (the judicial and prison mechanism) mempunyai pengaruh yang kondusif untuk timbulnya kejahatan dalam hal tertentu menciptakan karir-karir penjahat.

Penjara anak juga demikian, tak efektif mengubah keadaan anak. Lebih baik digantikan dengan perawatan dan pengembagan anak. ”Akan lebih baik apabila penjara anak digantikan dengan lembaga pengembangan kreativitas anak yang berkonotasi positif,” kata Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Seto Mulyadi, yang didampingi Wakil Ketua Komnas PA Muhammad Joni. Ia mengemukakan hal itu dalam paparan Catatan Akhir Tahun 2009 Komnas PA.

Menurut Seto Mulyadi, selama ini citra penjara anak negatif sehingga begitu keluar dari penjara anak dicap kriminal. ”Dengan mengubah nama menjadi lebih positif—seperti lembaga pengembangan kreativitas anak, dengan aneka kegiatan kreatif di dalamnya—anak diharapkan akan menjadi lebih kreatif,” kata Seto Mulyadi.

Perlakuan yang tepat pada anak yang berhadapan dengan hukum, bukan penjara, melainkan tindakan. Sayangnya, tindakan belum menjadi prioritas. Pidana penjara masih mendominasi putusan pengadilan (diatas 70 persen), walaupun Hakim bisa saja menjatuhkan vonis Tindakan yang lebih mampu merestorasi anak berkonflik dengan hukum. Oleh karena itu, perlu ada reformasi pada sistem peradilan anak yang diawali dengan mengubah batas usia tanggung jawab pidana anak.

Undang-Undang Pengadilan Anak justru tak mengandung norma yang mengutamakan Tindakan (maatregelen) namun memberi peluang yang sama dikenakan Pidana. Padahal anak bukan pelaku tindak kejahatan yang otentik. Anak melakukan perbuatan terlarang bukan karena maunya, tetapi karena ada setting sosial, ekonomi, dan hukum sehingga anak menjadi pihak yang dikriminalkan.

Keraguan pada pidana penjara sebagai sistem hukuman juga terlihat dalam politik hukum saat ini. Jika melakukan telaah sistem hukuman dalam Pasal 69 ayat 1 huruf a, b, c, d RUU Sistem Peradilan Pidana Anak (RUU SPPA), yang secara limitatif menentukan jenis pidana pokok yakni pidana peringatan, pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat (social services), latihan kerja sosial, pidana pengawasan, pembinaan dalam lembaga sebagai bentuk pidana pokok.

Dengan makin diperluasnya jenis hukuman selain pidana penjara, indikasi nyata tidak efektifnya pidana penjara dan menguatkan dugaan delegitimasi pidana penjara dalam sistem hukuman.

Kendati demikian, jenis pidana dalam Pasal 69 ayat 1 huruf a, b, c, d RUU SPPA itu tak tepat jika dikualifikasi pidana (straft). Semestinya, pidana peringatan, pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat (social services), latihan kerja sosial, pidana pengawasan, pembinaan dalam lembaga, dikualifikasi sebagai Tindakan (maatregelen) bukan Pidana. Pasal 69 ayat 1 huruf a, b, c, d RUU SPPA salah kaprah. Mengapa? Karena sanksi pidana itu secara kua-teknis-sosiologis sebenarnya tidak lain adalah Tindakan, bukan Pidana (straft).

Sejalan dengan itu, perkembangan pemikiran hukum pidana dewasa ini mengarah pada abolisi pemidanaan untuk menderitakan pelakunya. Lihat saja bagaimana RUU KUHP dengan sadar memasukkan Tujuan Pemidanaan (Pasal 50) dan Pedoman Pemidanaan (Pasal 51) yang diarahkan untuk memandu penegak hukum memahami falsafah pemidanaan yang tidak bermaksud menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Pemidanaan bukan nirkemanusiaan.

Pemidanaan bukan balas dendam. Sistem hukuman dalam RUU KUHP mengadopsi hukuman pidana kerja sosial, pidana pengawasan, denda, yang melengkapi alternatif pidana penjara. Perkembangan pemikiran itu mengarah kepada delegitimasi pidana penjara.

Leave a Reply