Demokrasi Kulineri (1)

Saban almanak bulan puasa tiba, pemandangan sudut lekuk kota menyeruak elok etalase serba makanan. Pembeli pun antri di sana sini takut kehabisan ragam kulineri idaman yang hanya muncul parlente kala ramadhan. Suara riuh rendah lalu lintas interaksi penjual dan pembeli berusia panjang, riuh itu menerobos sampai jelang kumandang ebang. Paragraf itu hendak menuturkan suasana, seperti republik tengah helat festival “demokrasi kulineri”. Pun kulineri yang tak pernah tiba dicipta hari biasa, keluar meramaikan “demokrasi kulineri”.

Rupanya soal “demokrasi kulineri” bagi Deli tak hanya perihal ragam dan teknik olah mengolah makanan memanjakan rongga rasa, tapi bertemali dengan geliat sosial budaya. Seluruh rakyat Deli seperti euforia terlibat dalam sukaria atraksi-indikasi sensasi kulineri. Bisa jadi “demokrasi kulineri” itu kosa kata yang bersemi dalam hati yang terbaca dari karya cipta selera Deli.

Tahukah anda rahasia mengapa berlimpah semangat dan selera setakat makan di Medan? Medan tidak sekadar melanjutkan Deli, dengan segenap gemerlap kejayaan masa lalu sebagai glory history,  yang menyisakan banyak situs baheula jejak kota niaga ternama di Asia.

Pun Medan kaya dengan kulineri sedap bergizi. Jangan mengaku anak Medan jika gagap menjelaskan tempat sedap melepas selera asli Deli. Ketahuilah wooi, orang Medan sangat sensitif rasa, mengabdi kepada selera dan bisa mendadak sontak menjadi komentator orator bahkan kritikus jenius soal makanan bertekstur cita rasa enak, atau hambar “miskin” bumbu dan solek sajian alakadarnya sahaja. Sahabat dan senior saya, Zahrin Piliang, aktifis perlindungan anak dan tokoh HMI Medan, salah satu yang totok dalam hal mengabdi kepada keaslian selera.

Bagi “Medaners” sejati, mereka tak akan asal-asalan dan amatiran perihal kinyam atau baham. Kitab “demokrasi kulineri” Deli dari dulu hingga kini, jika diibaratkan buku alkisah, ceritanya bertema megah meriah. Walaupun bahannya lazim alias biasa-biasa yang bisa dibeli di pasar mana saja bukan kedai rahasia, namun alur alkisahnya senantiasa menuturkan begitu berwarna dan detail mewahnya citarasa, sajian yang membangkitkan selera ala “raja-raja”, dengan takaran bumbu yang pas namun jelas kosakata “asam garam”-nya.

Tak sampai di situ, disempurnakan dengan simpul pertemalian sosial dan corak budaya, yang acap kali pula tempus dan lokus saat menyajikannya menjadi ciri kapan sang kulineri tersedia, dan setakat program acara apa saja disediakannya. Ringkasnya, kulineri Deli bukan hanya unit panganan, bukan cuman unit aksesori, akan tetapi unit kehidupan dan bahkan unit peradaban.

Romansa peradaban demokrasi olah rasawi itu, bisa diwakili dengan membincangkan racikan khas kulineri Melayu  yang satu ini, yang dalam beberapa belas kalimat lagi anda akan mengetahui nama menunya. Yang berhasil menyuguhkan paduan  racikan sempurna  dengan juru masak bertalenta yang fasih mengolah bahan biasa menjadi luar biasa dalam detail cita rasa.

Beberapa kali menyicipinya, tak sendirian namun bersama keluarga dan teman, hemat patik tak lengkap perjalanan tandang ke Medan jika melewatkan kulineri yang satu ini: Sop Kambing Datuk yang disingkat “SKD”. Pertama kali mencoba “SKD” hasil bujukan sahabat saya Hidayat Anshari, pengusaha pengembang yang memimpin APERSI. Lokasi kedainya strategis di kawasan @Ringroad Medan. Sedap poll. Itu bukan hanya kesimpulan otoriter dari patik sendiri, tapi idemditto dirasakan serupa anggota keluarga dan teman yang dibawa serta. Soal menguji rasa memang perlu demokrasi. Alahai, sekali lagi “demokrasi kulineri”.

Pembaca, patik berani bertaruh. Cobalah menikmati semangkok “SKD”, anda seketika makmur dalam tenaga dan bertambah kaya wawasan dalam hal ikhwal selera “raja-raja” Asia.

Leave a Reply