Derita Azka dan Bilqis: Dimana Jaminan Sosial untuk Anak?

Azka, 4 tahun, penderita penyakit langka Guillain Barre Syndrome (GBS). Penyakit langka itu biasanya terjai satu kasus dari 100 ribu orang per tahun. Azka menderita auto immune, karena daya munitas yag berlebihan yang menyerang sistim syaraf utamanya syaraf tepi. Untuk Azka, Menteri Kesehatan berjanji membiayai sepenuhnya dengan Asuransi Kesehatan (Kompas, 1/08/2011). Ini pelajaran betapa abainya jaminan sosial untuk anak.

Azka bukan kasus pertama. Nasib serupa pernah dialami Bilqis Anindya Passa, bayi usia 17 bulan ini mengidap penyakit dimana saluran empedu tidak terbentuk atau tidak berkembang secara normal (Atresia Bilier). Untuk menyembuhkannya harus dilakukan operasi transplantasi hati yang membutuhkan dana sekitar Rp 1 miliar. Terinsiprasi gerakan Koin Keadilan untuk Prita Mulyasari, Ibunda Bilqis, Dewi Farida (37) mencoba menggalang gerakan Koin Cinta untuk Bilqis.

Lantas dimanakah kehadiran Negara? Dimanakah jaminan sosial untuk anak? Bukankah jaminan sosial Negara saat ini diselengarakan cuma untuk sektor formal saja? Bagaimana keluarga yang bekerj di sector informal seperti petani, pengrajin, pedagang mikro? Seperti apakah jaminan sosialnya? Khususnya anak-anak krang beruntung. Bayangkan jika yang jatuh sakit adalah anak jalanan, anak korban kekerasan, atau anak dengan HIV/AIDS.

Jaminan sosial: Formil?

Setiap tahun anggaran negara lewat APBN maupun APBD digelontorkan, termasuk untuk perlindungan anak. Namun di depan mata kita, anak-anak masih didekap kemiskinan, kekerasan, eksploitasi, dan kebodohan.

Biaya sekolah masih tinggi bagi anak, dan menarik mereka menjadi drop out sekolah yang akhirnya masuk ke sektor publik menjadi buruh anak, anak jalanan dan berbagai varian masalah sosial-ekonomi lainnya.

Di negeri ini, anak-anak adalah segmen warga masyarakat yang paling rentan dari siklus kemiskinan struktural. Krisis ekomomi membawa anak-anak semakin lemah dalam perlindungan sosial.

Usia anak memang rentan dan memerlukan topangan dalam menjalani evolusi kapasitasnya. Anak-anak adalah pihak yang paling merasakan dampak masalah sosial-ekonomi. Faktanya, anak-anak yang terpukul paling keras akibat kemiskinan (children are often hardest hit by poverty). Kemiskinan menjadi kausal yang merusak perkembangan tubuh dan pikirannya. Penghapusan kemiskinan mesti dimulai dengan anak-anak (poverty reduction begins with children).

Menurut data yang kami himpun, dalam bidang pendidikan terdapat sekitar 1,6 juta anak-anak usia 7-12 tahun tidak bersekolah. Angka anak-anak usia 13-15 tahun yang tidak sekolah jumlahnya tiga kali lipat (300%), yakni sekitar 4,8 juta. Sementara itu, pada tahun 1997-1998 misalnya, pendaftaran anak masuk SLTP menurun 6 %. Pada era dimana Indonesia dilanda krisis ekonomi, dalam waktu relatif pendek telah menimbulkan dampak buruk dan permananen kepada anak-anak.

Dalam hal anak yang membutuhkan perlindungan khusus, BPS mendata sejumlah 1,8 anak pada tahun 1998 menjadi buruh anak. Data lain mencatatkan sekitar 8 juta buruh anak. Hasil survey SUSENAS (Agustus 1999), 10 % anak usia 10-14 tahun bekerja.

Anak-anak jalanan di 12 kota propinsi sekitar 50.000. Anak terlantar pada tahun 1997 sejumlah 3 juta anak. Anak cacat (10-14 tahun) sejumlah 2 juta anak. Sekitar 40.000 s/d 70.000 anak-anak menjadi korban eksploitasi seksual. Sejumlah 400.000 pengungsi anak domestik (internal displaced person – IDP) tersebar pada berbagai wilayah di Indonesia. Anak-anak yang diadili sejumlah 4.000 anak. Sekitar 30 % dari sekitar 40.000 s/d 70.000 pekerja seksual komersial adalah anak yang mengalami eksploitasi seksual komersial.

Yuridis Konstitusional

Kua-yuridis konstitusi, jaminan sosial adalah mandat Negara. Menurut Pasal 28 huruf H ayat (3) UUD 1945, “Setiap orang berhak atas Jaminan Sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat“. Diperkuat dengan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945: “Negara mengembangkan sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan“.

Sebagai hak asasi, jaminan sosial diakui dalam Pasal 41 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahwa “Setiap warga Negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak, serta perkembangan pribadinya secara utuh. Dalam Pasal 8 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, “Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial.

Selain itu, jaminan sosial juga dijamin dengan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (”SJSN”).

Berbagai peraturan, sudah kuat landasan untuk menyiapkan jaminan sosial – yang diperuntukkan bagi seluruh rakyat. Namun dengan dinyatakan tidak berlakunya Pasal 5 ayat (2), (3), (4) UU SJSN dengan Putusan MK Nomor 007/PUU-III/2005, maka secara yuridis formal tidak ada lagi norma hukum yang mengikat yang memosisikan JAMSOSTEK, TASPEN, ASABRI, ASKES, sebagai badan penyelenggara jaminan sosial.

Implikasinya?  Keempat BUMN penyelenggara asuransi sektor formal itu berada di luar konteks sistem jaminan sosial versi Pasal 5 ayat (1) UU SJSN.

Kua yuridis, pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sudah tidak ada halangan apapun. Dari sisi finansial tidak menyulitkan APBN karena dapat mengonsolidasi dan efisiensi dana pembangunan kesejahteraan sosial misalnya skema Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga arapan (PKH), Jamkesmas, Beras Mskin (Raskin), dllsb. Sumber-sumber itu modal penyelenggaraan jaminan sosial yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial versi Pasal 5 ayat (1) UU SJSN.

Secara konstitusional, MK menegaskan pentingnya memastikan (to ensure) bahwa sistem jaminan sosial yang dikembangkan untuk menjangkau seluruh warga masyarakat. Dari pendapat MK itu dapat ditafsirkan bahwa sistem jaminan sosial yang dikembangkan adalah sistem jaminan sosial yang berskala nasional, tidak terbatas untuk kelompok tertentu, seperti lingkup usaha JAMSOSTEK, TASPEN, ASABRI, ASKES. Mengelola program asuransi kesehatan masyarakat miskin (Askeskin) yang dikelola ASKES misalnya, tidak mengandung landasan konstitusional dan yuridis.

Jika dielaborasi tafsir pendapat MK, sistem jaminan sosial dikembangkan dalam skala menasional atau bukan terserak-serak dikembangkan masing-masing daerah. Akan tetapi, jaminan sosial yang sudah berkembang di daerah dapat diintegrasikan sebagai sub sistem jaminan sosial.

Dimana Jaminan Sosial Anak?

Berbagai bentuk dan lembaga yang sudah menjalankan program jaminan sosial, dapat berintegrasi sebagai totalitas sistem jaminan sosial nasional – yang dikembangkan berbasis kepada Pasal 5 ayat (1) UU SJSN. Kedudukannya dapat mengisi sub sistem jaminan sosial nasional, dan dalam kegiatan tertentu dapat pula bertindak untuk mengerjakan atau menjalankan program yang disiapkan Badan Penyelenggara – baik yang bersifat program inti jaminan sosial, maupun program turunan mendukung program jaminan sosial.

Untuk mengembangkan sistem jaminan sosial seperti Pasal 5 ayat (1) UU SJSN itu, dikemukakan beberapa agenda berikut ini.

Pertama, mengembangkan sistem jaminan sosial anak yang memberi fokus kepada jaminan sosial (social insurance) bagi anak-anak, namun mengombinasikannya dengan program bantuan sosial (social assistance) atas anak-anak yang membutuhkan perlindungan sosial secara khusus.

Kedua, mengonsolidasikan program-program jaminan sosial anak yang terserak-serak atau berada pada sektor dan instansi terkait. Termasuk program bantuan sosial yang sporadis, temporer dan ad hoc, seperti kompensasi subsidi BBM dalam bentuk cash money, Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Ketiga, mengonsolidasikan program jaminan sosial yang sudah dikelola oleh Pemerintah Daerah.

Keempat, memberikan proritas atau perhatian khusus kelompok sasaran anak-anak warga miskin dan anak-anak penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) – sebagai segmen masyarakat yang belum tersentuh dan mengintegrasikannya masuk ke dalam sistem jaminan sosial.

Kelima, membangun kerjasama, partisipasi dan pengawasan secara transparan dan akuntabel bersama masyarakat.

Jaminan sosial adalah hak konstitusional setiap rakyat. Namun penyelenggaraannya selama ini tersegmentasi kepada kelompok tertentu dan hanya menjangkau sektor formal, seperti pekerja (buruh), pegawai negeri sipil (PNS), TNI, dan pensiunan PNS saja. Bagaimana dengan sistem jaminan sosial rakyat di sektor non formal? Misalnya, petani kecil, nelayan tradisional, buruh kasar, janda, anak-anak terlantar, anak yang membutuhkan perlindungan khusus, dan seterusnya. Sehingga, jika jaminan sosial hanya menjangkau sektor formal saja, maka kebijakan dan regulasi terjebak isu diskriminasi dan penundaan keadilan bagi seluruh rakyat.

Untuk membayar kewajiban konstitusional dan yuridis kepada seluruh rakyat, maka Pemerintah mesti segera menyiapkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.. Jika berjalan, maka berbagai kebijakan Pemerintah seperti kompensasi BBM dengan BLT atau bersyarat dikonsolidasikan sebagai sistem jaminan sosial nasional.

Sehingga, tidak terdengar lagi efek bongkar pasang model bantuan sosial seperti BLT yang dalam pelaksanaannya justru terkesan tidak salah paham dalam memetakan rakyat miskin, rancunya penyediaan data pendukung, dan berbagai efek turunan BLT lainnya.

*) Muhammad Joni, H., MH: Ketua Perhimpunan Advokasi Anak Indonesia; Advokat/Managing Partner Law Office Joni & Tanamas

Leave a Reply