Developer of Happy Land, Ada Apa Dengan Kota?
Pernah dengar konsep franchising realestate yang membangun miniatur kota London? Naga-naganya, konsep realestate tak lagi hanya pembangunan properti, tetapi model bisnis yang mencetak konsep realestat itu sendiri.
Mungkin terpengaruh Wallace D. Wattles yang mengemakan bagaimana “zat dasar” bernama pikiran (konsep) bekerja “mencetak” diri menjadi benda nyata, maka membangun perumahan, permukiman dan kota mandiri sarat dengan anasir non material: konsep dan spirit serta “skill ruhani” yang membimbingnya. Tak usah sungkan jika menyebut developer bak seniman lukis yang mengukur presisi dan menyisipkan rasa untuk setiap sapuan kuasnya, dengan sehamparan lahan sebagai kanvasnya. Mungkin juga bak “generator” kreatifitas yang tak cuma melukis, namun membangun “galeri lukisan” properti.
Majalah Indonesia Housing Edisi 32 lalu mengulas anasir non materil yang mengerakkan dan menjadi kredo developer, seperti motto “Build Home with Pride and Passion” yang diusung Hongkong Kingland yang membangun rumah sebagai gairah dan kebanggaan. Idemditto Lukman Poernomosidi, Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) 2004-2007 dan founder Eureke Group (“EG”) pun meyakini dan menggeliatkan visinya dengan 3 gagasan dasar (basic idea) pengembangan bisnis properti: Value Preposition, Positioning, dan Selling Point (sebut saja “VP, P-ing, dan SP”).
Agaknya, konsep University Resort (U-Resort) yang dirancang untuk Institut Pertanian Bogor (IPB) adalah salah satu VP, P-ing, dan SP yang diandalkan EG dengan memadukan lingkungan akademis dan iklim pendidikan dan riset yang unggul dengan prinsip Eco Friendly, Student Friendly, Reseach Friendly.
Bagi yang suka menelisik jejak-jejak “konsep” kota di Indonesia, pasti paham mengapa kota Bandung dielu-elukan sebagai “Parijs van Java”. Kota Garut dijuluki “Switzerland van Java”, sedangkan Batavia disebut “Venetie van Java”. Rudolf Mrazek, penulis buku “Engineers of Happy Land” berujar kawasan Menteng yang nyaman disamakan dengan kawasan Baarn atau Hilversum, berjarak sekitar satu jam dari Amsterdam. Pertama kali M.W.F Treub menjejakkan kaki di Hindia Belanda tahun 1922, dan sempat pergi ke kota Pematang Siantar, Simalungun, Sumatera Utara, dia berpikir telah tiba di sebuah kota replika Bussum, di Belanda Utara. Itu seperti kota sinonim dengan perjodohan lingkungan alam dan fisik yang saling “klik”.
Konsep “perjodohan” apa yang anda bayangkan kala memasuki batas kota Bandar Lampung disambut gaba-gaba besar alias gerbang kota yang menjunjung kalimat “shahadatain”? Apa pikiran anda setakat ke kota Tanjungpura, ibu negeri (dulu) Kesultanan Langkat, di Sumatera Timur, tampak menjulang Masjid Azizi seluas 18.000m2. Situs paling megah, molek dan besar dibanding properti apapun di kota kelahiran penyair Tengku Amir Hamzah yang didirikan Sultan Tengku Abdul Azizi Abdul Djalil Rahmat Syah 1897-1927 M.
Tak salah jika esai ini mengambil tesa bahwa ada anasir spirit non material dalam pergumulan konsep yang menjodohkan perumahan, permukiman dan perkotaan. Jadilah kota sebagai wadah proses dialektika tanpa batas, proses sosial yang berlanjut-lanjut dimana warga menerima wajah kota dan mempresentasikannya dalam bentuk simbolik, seperti pandangan Lavebre, 1974, yang dikutip Hikmat Budiman, dalam bukunya “Kota-Kota Di Sumatera”.
Rudolf Mrazek mengutip van Doesburg yang berujar kota adalah “ketegangan dalam kepanjangan dan ketegangan dalam ketinggian”. Mungkin maksudnya ketegangan atas spasial ruang, dan tak keliru pula jika menyebutnya perebutan ruang. Masih dari van Doesburg, tiap penduduk kota mencoba menemukan titik tengah dimana ketegangan itu berjodoh. Maksudnya mungkin titik tengah yang menjadi harmoni, walau tetap terus dinamis. Persis takrif “dialektika tanpa batas” versi Lavebre.
Terbukti majemuk dan berkembangnya gagasan-gagasan itu sebagai proses dialetika tanpa batas yang memperkaya wajah kota. Termasuk memosisikan pepohonan yang diberi peran sebagai bintangnya, dan “skema pepohonan” menjadi anasir bintang bagi pembangun kota maupun penghuni/pengguna kota. Masuknya anasir hijau “skema pepohonan” itu untuk mewakili wawasan ramah lingkungan dan berkelanjutan, untuk menyempurnakan raut kota sebagai mesin kebahagiaan (engine of happiness) untuk semua. Yang menegasikan cara penggusuran dan penyingkiran tetapi konsolidasi ruang.
Penghuni kota tak tinggal di jalan atau menara, mereka tinggal di rumah. Perhimpunan rumah menjadi perumahan dan selanjutnya permukiman. Tersebab itu, rumah, perumahan, permukiman dan perkotaan menjadi alur tak terpisahkan. Itu “zat” pikiran yang menjadi “perjodohan” antara perumahan dan pembangunan perkotaan (housing and urban development). Rezim hukum di negeri ini sudah memosisikan saling bertemalinya rumah, perumahan dan permukiman yang inheren setarikan nafas dituangkan dalam UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (“UU PKP”).
Periksalah dokumen universal yang diikuti bangsa-bangsa beradab semisal Sustainable Development Goals (SDGs) yang menjadikan “sustainable cities and communities” sebagai kesatuan tak terpisahkan. Menjadi skema perjodohan. Sama-sama menjadi faktor kohesi dan tak saling menyisihkan, apalagi “konflik” antara cities dengan communities.
Karena itu jangan memisahkan apalagi menggusur konsep perumahan hanya sebagai unit hunian, tetapi unit permukiman seperti paparan Parwoto, pakar perumahan komunitas di pentas diskusi HUD Institute. Dalam kasus konkrit menggusur rumah warga, tak impas hanya dengan relokasi mengganti unit hunian tetapi unit permukiman bahkan unit kehidupan. Begitu juga membangun rumah dan perumahan baru, idemditto membangun permukiman baru bahkan kehidupan baru.
Lantas apa relevansinya bagi developer? Tentu saja sangat kuat. Sebab, pembangunan perumahan, permukiman atau proyek “kota baru” mandiri yang dibangun swasta, tak cuma produksi bangunan properti serba fisik, namun dengan terencana menjual “zat” konsep realestat.
Demikian pula pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang sudah diamanatkan UU PKP, tak lepas dari pertemalian konsep perumahan dan permukiman. Munculnya konsep lingkungan hunian berimbang, prasarana dan sarana dan utilitas (PSU) yang memenuhi syarat ekologis (selain syarat administratif dan teknis) kini sudah menjadi norma yang mengikat. Pun kosa kata “tata bangunan dan lingkungan yang terstruktur”, jurus “rancang bangun ramah lingkungan”, dan “kearifan lokal”, sudah menjadi norma dalam UU PKP yang mesti menjadi subyek dalam merancang dan reproduksi konsep realestate ataupun hanya properti.
Norma, konsep dan kosa kata itu tentu saja kua yuridis mengikat developer manapun, termasuk Meikarta sang meteor kota baru yang berazam dengan “the most beautifull metropolitan city”. Developer seeloknya mengadopsi kearifan lokal nan geulis dalam konsep realestate gaya parahyangan, dengan sensasi properti bak tempat para rahyang yang luhur dan suci di tanah bahagia yang tercipta ketika Tuhan “tersenyum”.
Pembaca, di titik inilah diperlukan gagasan, inovasi, dan mengiatkan VP, P-ing, dan SP seperti yang diusung EG. Yang membangun dengan sikap mental seperti seniman lukis dan melakoninya dengan gairah dan kebanggaan. Disempurnakan dengan kepatuhan regulasi dan melindungi hasil karya hak milik intelektual produk properti. Yakni hak milik intelektual yang mempunyai nilai ekonomis, bisa digandakan dan diperjualbelikan.
Relevansi lain? Developer menjadi kreator yang inovatif ikhwal “zat” konsep realestate, loyal dalam menjamin mutu, yang inheren perlindungan konsumen dan ikhtiar literasi properti kepada publik. Menuju ke sana, seperti halnya perusahaan hendak “going public”, perusahaan realestate perlu profesi penunjang yang melakukan audit dan memberi opini, termasuk profesi hukum.
Melakoni itu perlu figur mumpuni merancang model bisnis, melakukan rekayasa value preposition yang menentukan channels, customer relationship dan membangun trust customer terhadap jasa dan produk properti. Jurus itu mendekati tiori hukum dari Roscoue Pound yang ajarkan hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social egineering) untuk ciptakan keadaan baru yang adil, pasti, bahagia. Tersebab itu, developer tak hanya melulu berlakon bak mesin “pencetak uang”, tetapi membangun reputasi menjadi “Developer of Happy Land”.
# Muhammad Joni, S.H., M.H.: Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Ketua Dewan Pembina Lembaga Perlindungan Konsumen Properti dan Keuangan (LPKPK).