Dinar Dirham dan Kriminaliasi UU Mata Uang: Konstitusional?
UU Mata Uang No. 7 Tahun 2011 telah disahkan bulan Juni 2011 lalu. Salah satu pasalnya. mewajibkan penggunaan uang Rupiah untuk transaksi, pembayaran kewajiban, dalam wilayah Indonesia. Jika tidak akan dikenakan sanksi alias kriminalisasi (Pasal 33).
Larangan dan kriminalisasi hal yang biasa dalam hukum, namun sekuat apa urgensinya untuk mengawal norma? Lebih dari itu, secerdas apa larangan dan kriminalisasi tidak menistakan norma kepada perkembangan zaman dan justifikasi sejarah pengunaan uang oleh manusia?
Ahistoris dan melawan zaman
Itu frasa yang tepat menggambarkan kriminalisasi UU Mata Uang. Saat ini, beberapa negara bagian pada negera sekelas Amerika Serikat justru kembali menggunakan uang emas sebagai alternatif dolar. Negara bagian Utah, USA menyiapkan regulasi kembali menggunakan uang koin emas dan perak sebagai alternatif mata uang dolar.
Dinar dan Dirham juga dipraktikkan beberapa negara bagian di Malaysia, diantaranya Kelantan. Bahkan Kelantan mengajak Aceh menggunakannya dalam transaksi. Datuk Haji Husam Musa selaku ahli Majelis Musyuarat Kerajaan Negeri Kelantan (Exco) Negara Bagian Kelantan Darul Naim Malaysia menawarkan mata uang dinar emas kepada Pemerintah Aceh sebagai salah satu transaksi perdagangan di daerah itu.
Tawaran tersebut disampaikan Husam yang juga Pengurus Jawatan Kuasa (ketua) Perancangan ekonomi, keuangan dan kesejahteraan Kelantan saat bertemu Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar.
Fakta ini adalah bentuk ketidakpercayaan pada uang kertas menjadi kenyataan masa kini yang tak terbantahkan, dibalik penggunakan alternatif uang kertas.
Di Indonesia? Lihat transaksi menggunakan Dinar dan Dirham di Al-Azhar, penggunaan dirham dan dinar memang sudah biasa. Apalagi pada saat Festival Hari Pasaran Dirham-Dinar. Sepanjang Desember 2010 lalu, festival itu sudah digelar berkali-kali. Ahad tiga pekan lalu, festival itu menyedot ratusan pengunjung
Di Medan, majalah Inside Sumatra dijual dengan tarif Dirham. Majalah itu menerakan tarif seharga Nisfu dirham coin and coin daniq di bagian bawah sampulnya. ‘We still sell the magazine in dollars but is now more fun when you receive in the form of a silver dirham coin,’ said Mr. Tikwan Siregar, the Chief Editor.
Masyarakat Aceh Inginkan Dinar Dirham Segera Kembali. Meski telah banyak yang melupakannya, masyarakat Aceh mendambakan Dinar dan Dirham segera kembali.
Jadi: Penggunaan D&D sudah menjadi perilaku sosiologis yang nyata. Bukankah hukum adalah produk zaman yang tak melawan zaman? Kalau fakta dan logika ini diteruskan, artinya larangan dan kriminalisasi UU Mata Uang justru melawan zaman dimana dia hadir di tengahnya.
Selagi Negara masih terseok-seok dan sepanjang sejarah tak kuasa menurunkan laju inflasi dan tergerusnya nilai uang yang tertulis dari kertas bernama uang, ya jangan salahkan rakyat yang menggunakan uang emas. Bahkan, diakui “Inflasi itu jahat karena membuat daya beli turun,” kata Agus Martowardojo dalam sambutan pelantikan eselon I Kementerian Keuangan, 16 Februari 2011.
Inflasi adalah kejahatan yang sistematis dan dianggap terhormat. Menurut Tikwan Raya, Uang itu diproduksi oleh otoritas moneter-dalam hal ini Bank Sentral-tanpa berpatokan lagi pada suatu nilai yang nyata, kecuali nilai menurut otoritas mereka sendiri. Adalah sifat uang kertas (fiat money) untuk tidak bisa menambah nilai apa-apa. Semakin banyak ia dicetak, semakin ia tak berguna. Semakin banyak ia beredar, maka ia semakin jadi sampah.
Bank Sentral dapat mengurangi atau menambahi nilai uang lewat instrumen pencetakan uang baru dan permainan penentuan bunga bank. Dengan cara yang unik ini, maka mereka telah merampok secara langsung dan legal nilai uang kertas rakyatnya tanpa disadari dan dimengerti sebagian besar rakyat itu. Populernya disebut inflasi. Tamsil Tikwan, kalau sebelum krisis moneter 1998 harga beras masih Rp 1.000 per kg, dan sekarang menjadi Rp 8.000 per kg, maka telah terjadi inflasi 800%.
Padahal cara kerjanya, masih menurut Editor majalah Insde Sumatera itu, bank-bank telah kolaps, lebih karena pondasi kejahatannya sendiri. Lalu Bank Sentral melalui persekongkolan dengan pemerintah mem-bail out (menalangi) bank-bank itu, dengan memberikan mereka dana segar lewat utang pemerintah yang harus ditanggung rakyat. Pencetakan uang baru dilakukan.
Atau dengan kata lain, nilai uang rakyat dirampok secara sah dan terhormat.Kalau begitu, relakah kita menjadi pecundang? Bukankah melindungi hak milik dan harta kekayaan adalah hak konstitusional dan hak asasi manusia?
Lha, kalau menggunakan D&D justru untuk menghindari jahatnya inflasi, dimana logikanya kriminalisasi penggunaan D&D untuk transaksi?
Kalau begitu, dimanakah rasio legis kriminaisasi Pasal 21 dan 33 UU Mata Uang? Tak hanya itu, pasal krinalisasi ini justru diragukan dan harus diuji keabsahan yuridis-konstitusionalnya. Kita harus menakar tangguh tidaknya justifikasi juridis-konstitusioal UU Mata Uang.
Kalau fakta dan logika serta hak-hak konstitusioal harus dipertahankan, tak ada alasan tidak ke Merdeka Barat.
Ini dia, norma yang dipertanyakan itu:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 2011
TENTANG
MATA UANG
BAB V
PENGGUNAAN RUPIAH
Pasal 21
(1) Rupiah wajib digunakan dalam:
a. setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;
b. penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau
c. transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara;
b. penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri;
c. transaksi perdagangan internasional;
d. simpanan di bank dalam bentuk valuta asing; atau
e. transaksi pembiayaan internasional.
PENJELASAN
Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “transaksi keuangan lainnya” antara lain meliputi kegiatan penyetoran uang dalam berbagai jumlah dan jenis pecahan dari nasabah kepada bank.
KETENTUAN PIDANA
Pasal 33
(1) Setiap orang yang tidak menggunakan Rupiah dalam:
a. setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;
b. penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau
c. transaksi keuangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
(2) Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1(satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 48
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Juni 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Juni 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.